Bab 152. BANGKAI TAK BISA DISEMBUNYIKAN

Start from the beginning
                                    

glek!

Orang gila macam apa dia mau membawaku ke puncak? Apa dia gak mikirin kondisi kekasihnya kalau tahu? Da....Aida mengingat sesuatu

Apa telepon tadi pagi itu yang pas diangkat, dia bilang mau berangkat ke puncak, kan?

Aida mengingat ini. Tapi dia memilih diam karena masih ada obrolan antara Reiko dengan dokter Alif.

"Oh, selama tidak banyak jalan dan tidak dipaksakan jalan, tidak masalah. Kalau bisa kakinya tidak usah terlalu lama menggantung juga, takutnya bengkak, ngaruh nanti ke jahitan dan lukanya."

"Baik dokter, saya paham."

Aida masih belum puas dengan jawaban yang didengarnya. Dia ingin bertanya.

"Kalau begitu kami berdua pamit dulu!" tapi diurungkan saat Alif bicara begini.

"Oh, baik."

Reiko bicara sambil mendekat pada Alif dan Silvy, lalu dia ke mejanya sebentar, menaruh obat dan mengambil laptop juga beberapa berkas sebelum melirik Aida

"Mas keluar dulu sebentar."

Ada anggukan kepala dari Aida tapi dia belum sempat bertanya apapun karena Reiko sudah buru-buru mengejar Alif dan Silvy yang sudah keluar lebih dahulu.

"Padahal tidak apa-apa kok Pak Reiko, tak di antar."

Alif yang sudah sampai ke pintu apartemen dia pun menjawab cepat di saat Reiko menimpali dengan senyum di bibirnya.

"Gak masalah. Saya juga memang mau keluar kamar dan mau ada zoom. Paling di ruang tamu ini."

"Oh, bukannya lebih baik di ruang kerja?"

"Tidak dokter Silvy. Ruang kerja di lantai atas." Reiko menimpali dan memang betul sih sebetulnya lebih enak kalau di ruang kerja untuk kabel-kabel dan semua perlengkapan lainnya sudah siap di sana! Lagi pula tidak perlu disetting apapun dan memang seperti suasana kerja dia bisa duduk di kursinya dengan semua kebutuhan kalau butuh papan tulis, proyektor atau segalanya itu juga sudah disetting ada di ruang kerja Reiko.

"Istri saya sendirian di bawah. Takutnya dia butuh apa-apa nanti jauh."

Reiko punya alasan sendiri dengan jawabannya ini yang membuat Silvy hanya bisa tersenyum dan mengangguk.

"Kalau begitu kami pamit dulu! Selamat bekerja pak Reiko."

Alif, tak berpanjang lebar lagi setelah ucapannya barusan Pria itu sudah merangkul istrinya untuk segera keluar dari apartemen Reiko.

"Sudah yakinkan kalau dia suami yang baik?" seru Alif, yang melirik pada wanita di sampingnya yang masih tersenyum sinis.

"Baik?" wajah itu sepertinya menentang apa yang dikatakan suaminya.

"Iyalah baik! Kamu lihat tidak di samping, di nakasnya ada makanan tadi? Sepertinya itu snack untuk Aida yang disiapkan oleh Pak Reiko."

Tidak ada jawaban dari Silvy. Hanya cibiran saja di bibirnya yang terlihat sambil tangannya bersedakep, masih menolak.

"Hey ayolah, see the positive side, honey. Aku lihat juga dia lebih bersih dan lebih terawat. Beda dari saat pertama kali kita datang dan aku rasa yang merawatnya itu pak Reiko."

"Suami yang baik katamu? Kita tadi diam dulu dan bersembunyi sebentar sebelum belok dan sudah jelaskan dia mengantar seseorang yang katamu mobilnya kamu kenal itu adalah mobilnya Brigita, kekasihnya kan? Bukan emaknya?" senewen Silvy menjawab ini dengan emosinya.

Silvy juga tersenyum sinis sambil mengerucutkan bibirnya dan tentu saja obrolan ini tidak terdengar oleh Reiko karena Silvy bicara dengan suaminya di depan lift sambil menunggu lift tersebut terbuka.

Keduanya melihat jelas yang terjadi tapi memang mereka tidak melihat ketika Reiko saling mengecup satu sama lain dengan Brigita. Hanya dari belakang mobil itu saja dan memang Alif mengenali mobil itu.

Namun karena itu bukan urusan keduanya Alif meminta Silvy untuk tidak membahas masalah ini dan profesional.

"Yah, tapi kan kita tidak tahu apa urusan mereka? Mungkin karena mereka dulu kekasih kita pikir mereka berhubungan lebih dari sekedar apa yang kita lihat. Tapi bisa jadi dia hanya sekedar mampir untuk menanyakan pekerjaan? Bisa jadikan?"

"Aida tidur bukan di kamar utama, is it too difficult to figure it out?"

Tapi Silvy hanya menggelengkan kepalanya menolak saat dia melangkah masuk ke dalam lift.

"Ayolah kita inikan orang dewasa dan kita paham sesuatu yang tidak dipahami oleh anak kecil dan tabu."

"Silvy, kita ini dokter bukannya Hakim. Dan kita bukan orang yang harus menjudge satu kejadian dan menentukan apakah itu adalah benar atau salah."

"Tapi kita manusia dan kita punya hati!"

Lagi lagi jawaban Silvy menggatalkan telinga Alif yang baru memencet tombol di lift menuju ke basement.

"Iya kita memang punya hati tapi kita tetap memiliki batas pada mereka. Ada dinding yang membuat kita tidak bisa masuk ke dalam sana. Kamu ngerti maksudku?"

Pria itu bicara sambil menatap wajah istrinya yang mengangguk pelan sambil menghempaskan napas.

"Aku hanya kasihan aja padanya. Dan kepikiran sama khawatirnya seperti dulu yang terjadi sama Denada Aprilia. Like nightmare harus mengurus pasangan yang gak sehat."

Lagi-lagi sebuah jawaban yang membuat Alif merangkul istrinya sambil berbisik.

"Sekarang lihat bagaimana bahagianya Denada Aprilia!" Alif mengingatkan satu hal penting.

"Tidak ada bangkai yang bisa disembunyikan selamanya. Dan Tuhan tidak tidur melihat perlakuan tidak adil manusia pada seseorang yang sangat disayanginya."

"Tapi beda! Dulu Radit menduakan dengan istrinya. Wanita itu belum dinikahi, Alif."

"Ya iya. orang prosesnya berbeda-beda sayang. Biarin ajalah, yang penting kita bantu mereka dengan perawatan medis terbaik dan sertakan saja doa terbaik untuk keduanya."

Silvy pun mengangguk tak mau mendebat lagi dengan orang se-sabar Alif. Sambil mereka berdua berjalan keluar dari lift Silvy kembali bicara

"Semoga saja Tuhan bertindak dan ada keadilan untuk Aida juga."

Bidadari (Bab 1-200)Where stories live. Discover now