Tepuk tangan menggema dari si pria misterius di dalam ruangan tempat pembantaian. Sejurus, pria berpakaian serba hitam itu balik badan. Sebelum benar-benar pergi, ia berkata, "Ada gadis lain yang harus kamu selamatkan dari tempat ini. Namanya Veronica Wong. Keturunan Chinese. Wanita yang menjadi korban pernikahan politik dan berakhir menjadi budak owner Rumah Bordil."

"Konyol." Bara berdecak, "aku nggak akan membahayakan satu-satunya nyawaku untuk menyelamatkan jalangmu."

"Asal kamu tahu, wanita itu bisa menjadi kunci untuk melancarkan beberapa agendamu."

Bara tertawa sumbang. "Omong kosong darimana itu?"

"Kalau kamu nggak percaya ... baiklah. Hanya kebenaran yang nantinya akan terbuka cepat atau lambat. Pesanku tidak banyak, cukup berhati-hati dengan sekitarmu."

Senyap.

Si pria misterius pergi tanpa perlu menunggu jawaban Bara. Ia hanya perlu percaya dan yakin jika setidaknya Bara mempertimbangkan tawaran darinya. Tawaran yang tak sebanding dengan resiko kematian, yang jika bergerak bermodalkan nyali tanpa kalkulasi, jiwanya bisa terisolasi.

***

Di bawah terang sinar bulan purnama, bukan perkara mudah tuk dapat memecahkan misteri gelap gempita Kota Anggur bertajuk resapan darah bertahtakan dosa. Darah yang takkan pernah bisa mengering milik entitas yang mati karena butanya hati terdistraksi ambisi.

Sudah terhitung sebanyak lima kali Bara menghembuskan nafas panjang. Bosan. Rokok pun sama sekali tak membantu mengusir sepi. Apalagi tumpukan mayat berserakan di ruangan tempat ia dijamu oleh Kuro. Kuro? Lelaki berdarah Jepang yang juga ikut dihajar Bara itu masih hidup. Mungkin.

Jika tadi Bara diganggu oleh orang gila sok misterius, sekarang di depan Bara ada Berto dan seseorang yang mengenalkan diri bernama Mada. Dari wajahnya, Bara bisa menebak jika umur lelaki itu kurang lebih sama dengan Tiga Serangkai Rantai Hitam.

Setelah sebelumnya Bara secara singkat menjelaskan tujuannya datang ke mari kepada Mada, tak ada lagi obrolan basa-basi ketika Mada memerintahkan ajudannya melakukan sesuatu yang berhubungan dengan tujuan Bara.

Kebekuan belum cair sampai kedatangan pasukan bersih-bersih. Menggotong mayat para samurai. Membopong Kuro yang masih ada sisa nyawa. Sampai di mana beberapa pekerja bagian pembersih sisa pertempuran di dalam ruangan tersebut mengepel lantai sampai kinclong.

"Kamu beneran mau nebus gadis Jepang itu, Mas?" Mada membuka obrolan. Sembari menghisap cerutu dalam-dalam, ia menatap Bara tajam.

"Aku nggak suka mengulangi ucapanku, Mas. Bagiku, itu sama sekali nggak keren." Bara menyahut ketus.

"Kalau aku boleh ngasih saran, masih ada yang lebih baik dari dia, Mas. Satu miliar terlalu mahal untuk ukuran gadis blesteran yang banyak bertebaran di Kota Anggur. Kalau mau, aku bisa tawarkan blesteran yang anti-mainstream." Mada mulai mengutak-atik tablet miliknya. Menunjukkan urutan para PSK di Rumah Bordil dimulai dari halaman pertama yang memuat 10 PSK terbaik yang dimiliki tempat ini.

Bukannya senang, Bara justru tersinggung. Ia melirik tak minat tablet di tangan Mada, lalu mengambil rokok. Membakarnya. Sebelum akhirnya berkata mengancam, "Yang butuh itu aku, Mas. Bukan kamu. Kalau kamu masih memaksa, aku beli juga lama-lama top sepuluhmu." Seraya menghembuskan asap rokok, berikut helaan nafas panjang tanda malas melanjutkan obrolan. "Jangan membahas di luar topik. Tujuanku si cewek Jepang itu. No debat!"

"Waduh. Iya, iya. Santai aja, Mas. Nggak usah ngegas. Aku cuma nawarin. Siapa tau kamu minat kan kita berdua saling diuntungkan."

"Diuntungkan jempolmu bosok. Nggak lihat apa, manajer sama anak buahmu baru aja bikin orang lemah sepertiku ketakutan di pojokan. Mana ditodong pedang lagi." Bara membeo, "untung aja aku berhasil menendang kepala mereka dengan mudah."

Hak Asasi Money 21+ [On Going]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin