38 - Aku Pacarnya Akbar

Start from the beginning
                                    

Males banget.

"Oke besok. Tapi besok kalau gajian, gaji kamu saya potong ya!"

"Berchandyaaa!!" sahutku antusias dengan nada bicara seseorang yang aku dengar di internet. "Asti ke sana sekarang ya Om Ganteng. Tolong gajinya tetap utuh, kalau bisa dilebihin, hehe."

"Gitu dong. Buruan saya tunggu ya. Jangan sendirian, bawa temen siapa kek. Mamah sama Bapak saya mau ngasih sesuatu buat kamu. Jangan cewek ya, barangnya berat!" Setelah itu panggilan berakhir dengan suara seorang wanita paruh baya di akhir yang bertanya tapi tidak tahu soal apa karena cepat dimatikan.

Mengeluh lewat napas nyatanya tidak cukup membuat tenang, mau tidak mau aku harus ke sana. Sekarang. Begitu kembali ke dalam, para penghuni tampak asyik dengan dunianya masing-masing. Aku tidak mungkin meminta bantuan si Wahyu karena jujur saja hubungan kami belum membaik sepenuhnya, aku juga tidak mungkin meminta bantuan si Hana karena dia cewek, Om Diyat bilang tidak boleh. Si Malik? Ah, dia sibuk mengerjakan tugas. Akbar? terdengar lebih cocok.

"Ada apa, Sti?" tanya Akbar di sela-sela kegiatannya menjadi pemberi saran untuk si Malik.

Ih posesif banget, kayak ke pacar sendiri. Ungkapku dalam hati. Ditanya begitu saja aku salah tingkah. Dasar hati gembel. Tapi kalau untuk Akbar rasanya aku mau mengemis setiap hari.

"Ini Om Diyat nyuruh gue ke sana sekarang, bete banget mana baru beres hujan," keluhku sembari cemberut dan bersilang tangan.

"Tumben banget, bakal lama gak?" tanya si Hana bangkit dari sandaran sofa.

"Gak tahu. Di suruh ngebabu kayaknya gue. Katanya mamah sama bapaknya baru dateng dari kampung. Gue juga gak dikasih tahu sebelumnya. Mendadak bener kayak tahu bulat."

"Bukan kayak tahu bulat, mendadak kayak pengumuman calon wakil presiden. Ngagetin," sahut si Malik di tengah-tengah ketikan laptop yang langsung mendapatkan sikuan oleh Akbar dan lemparan kacang polong dari si Hana.

"Goblok lu!" serapah si Hana yang belum puas. Kami semua di sini meski tidak ada persetujuan yang disuarakan secara terang-terangan sudah seperti sepakat bahwa menyinggung hal-hal politik adalah mengerikan. Kadang juga tidak mengerti di mana letak kengeriannya, tapi mengerikan saja.

"Mau ditemenin gak, Sti?" tawar si Hana.

Menimbang perkataan Om Diyat tadi, si Hana kurang memenuhi syarat karena dia cewek. Berat hati aku harus menggeleng dengan harapan ada cowok dalam ruangan ini yang bersedia menemaniku ke Yang Kusayang. Namun, belum juga hal itu kulakukan Akbar sudah berdiri duluan.

"Gue temenin ya."

"Serius?" tanyaku heran, ini di luar dugaan tapi aku senang. Peka banget calon pacar.

Cowok itu lalu mengangguk lucu dan menyuruhku untuk menunggu sebentar karena dia masuk ke dalam kamar dan mengambil sweater cokelat yang sangat cocok melekat di tubuhnya. Di antara kejadian itu si Malik tampak gelisah kehilangan konsultan akan tugasnya.

"Gue ikut juga ya!" ucapnya sambil berdiri.

Apa sih, ganggu orang mau berduaan aja!

Dasar si Malik, tidak bisa sekali membiarkan aku berdua saja dengan Akbar. Akan tetapi kali ini aku tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk menghardiknya karena Akbar sudah mengangkat tangannya untuk melarang. Artinya Akbar setuju untuk jalan denganku, berdua saja.

"Kerjain dulu itu tugas yang bener. Bukannya besok harus dikumpul?" ucap Akbar di sela-sela ajakanku untuk turun ke bawah.

"Tapi gue butuh pendapat lo buat isi essaynya. Kalau lo gak ada gimana gue ngerjainnya? Lo kan tahu otak gue lagi gak berfungsi dengan baik sekarang!! Mana tugasnya juga banyak."

KOSAN CERIAWhere stories live. Discover now