Tiga Puluh Delapan

Start from the beginning
                                    

Pria itu kini sedang bergerak mengambil pisau yang sempat terlepas dari tangannya. Orang-orang di sekitar mulai memandang ke arah mereka, tepatnya memandang pria itu. Beberapa saling berbisik, beberapa yang lain tampak menghubungi bantuan, dan sisanya hanya menonton, bahkan sibuk mengambil video apa yang tengah terjadi.

“Kita pergi aja,” usul Zita.

Reinaldi menggeleng. “Di sini banyak orang. Di sini lebih aman.”

Zita mengernyit tak mengerti. Bukankah pergi dari pria itu adalah cara teraman?

“Aku udah telepon Theo. Kita tunggu sampai Theo datang,” lanjut Reinaldi.

Zita semakin dibuat bingung. Untuk apa?

Meski sudah menjadi tontonan orang banyak, pria tadi bukannya pergi, tapi malah mengerahkan serangan pisaunya ke arah Reinaldi.

Reinaldi melepaskan genggamannya. Ia tak punya keahlian khusus dalam bela diri, jadi ia hanya mampu menepis dan menghalau serangan pria tadi dengan kemampuan seadanya.

Pria bermasker itu terus saja berusaha menyabetkan pisaunya secara acak, bergerak asal-asalan dengan tujuan menyerang Reinaldi, hingga akhirnya beberapa orang memekik dibarengi Reinaldi yang mendesis saat pisau pria itu berhasil menyayat lengan bawahnya.

Mata Zita melebar, menatap resah pada apa yang tengah terjadi.

Karena pisau sempat mengenai lengan kiri Reinaldi, gerakan pria bermasker itu melambat. Reinaldi jadi punya kesempatan untuk mencekal pergelangan pria itu, memelintirnya hingga pria itu berteriak kesakitan dan pisau dalam genggamannya terlepas. Reinaldi lantas kembali menjejakkan kaki kuat-kuat ke perut pria itu, membuat pria itu tersungkur dan mengerang kesakitan di atas tanah.

Melihat itu, Zita bergegas menghampiri Reinaldi. Tangannya menyentuh lengan Reinaldi yang terluka. “Kamu ng--”

Zita langsung membekap mulutnya sendiri saat rasa mual melandanya. Reinaldi segera mendekapnya, mengalihkan pandangan Zita dari lengannya yang terluka.

“Nggak apa-apa,” jelas Reinaldi. Tangan kanannya mengusap lembut punggung Zita, tahu jika gadis itu punya ketakutan saat melihat darah. “Ini cuma luka kecil.”

Zita mendongak, menatap wajah Reinaldi yang tampak kelelahan dengan peluh memenuhi dahi. “Kita ke klinik, sekarang.”

Reinaldi tersenyum, lalu mengangguk.

Baru saja berniat melepas pelukannya, Reinaldi kembali mengeratkan dekapannya seraya memutar tubuh.

“Akh!” Reinaldi memekik tertahan. Tangannya meremas kaos di punggung Zita dengan erat sambil menahan erangan kesakitan.

Zita mencoba melonggarkan pelukan Reinaldi, tapi tubuh Reinaldi lagi-lagi tersentak, diikuti suara geraman yang kembali coba ia redam.

Zita tak bisa melihat apa-apa. Yang bisa ia rasakan hanya detak jantung Reinaldi yang terdengar cepat di telinganya yang menempel di dada lelaki itu. Lingkaran tangan Reinaldi mengerat, menahan kuat tubuh Zita agar tak bergerak.

Suara gaduh yang terdengar di sekitar mereka berada membuat Zita semakin was-was.

“Rei ...,” panggil Zita. Ia mendongak menatap wajah Reinaldi. “Kamu nggak apa-apa?”

Reinaldi mencoba tersenyum, mengangguk sebagai jawaban. Wajahnya memerah, matanya berair, keringat di dahinya pun terlihat semakin banyak.

Reinaldi melonggarkan pelukannya, sebelah tangannya bergerak merapikan helaian rambut Zita yang berantakan. “Aku seneng bisa ketemu kamu.”

Suara Reinaldi sedikit serak. Setetes air luruh dari satu sudut mata lelaki itu. Zita bisa merasakan tangan lelaki itu bergetar. Raut wajahnya tampak menahan kesakitan.

My True Me (END)Where stories live. Discover now