18. | Mendung Tak Berarti Hujan

Start from the beginning
                                    

Belakangan ini badanku terasa sangat tidak nyaman, aku merasa seperti masuk angin  dan ditambah pusing yang menekan kepalaku. Hamid kemudian  memanggilkan Mak Ngah, tukang urut dari kampungnya untuk meringankan sakitku.

"Kau kapan terakhir haid?"tanya  Mak Ngah. Dahiku mengernyit mendengar pertanyaan itu. Mungkinkah?

"Bulan lalu tidak datang. Bulan ini juga belum," Jawabku.

"Kau hamil.." Katanya.

"Sudah ada beberapa tandanya di badanmu, jadi Mak Ngah cuma urut pelan-pelan."

"Benar Mak Ngah?" Tanyaku ragu.

"Iya..kau tak percaya Mak Ngah?" wajahnya mengkerut, tanda ia kesal.

Aku tersenyum untuk mencairkan keadaan.

"Iye, aku percaya Mak Ngah. Alhamdulillah." Aku berucap syukur. Allah percayakan satu amanat dalam hidup kami. Tak lama kabar gembira ini segera beredar. Hamid mengusap-usap kepalaku begitu diberitahu oleh Mak Ngah.
Wajahnya senyum berseri. Ekspresi senyum yg belum pernah kutemukan sebelumnya. Seperti ekspresi kemenangan.

Begitu Mak Ngah pulang, Hamid langsung memelukku.

"Ani, adindaku sayang, kau sudah jadi bunda bagi anak-anakku." Begitu ucapnya.

"Sudah ketentuan Allah.." Jawabku. Duhai yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, mudahkanlah semua urusan kami.

"Andai aku bisa menemanimu selalu.." Hamid berkata, mendung menggelayuti parasnya.

"Kanda?" Aku terpekik ngeri, inikah perpisahan itu ?

"Esok kau kuantar ke kampung Bansir. Kau akan kutitipkan ke Mak Uteh. Ia ibu Arifin, temanku. Menumpang hiduplah bersamanya karena aku tak tahu berapa lama aku harus menghilang. Jangan akui aku suamimu, apapun alasannya, karena bila Nippon bertanya begitu, maka kau pun akan disungkupnya." Hamid bicara panjang lebar.

Kata-katanya membuat aku merinding. Seolah ada rasa dingin menusuk tulang. Keadaan ini sangat tidak adil menurutku. Saat kabar bahagia kkehaamilanku  ini baru saja tiba, aku harus terhempas oleh kenyataan perpisahan yang begitu pahit. Kami harus berpisah sementara hingga waktu yang tak bisa ditentukan.

Keadaan kota memang semakin memburuk. Beberapa tokoh masyarakat seperti dr. Roebini dan istrinya ikut menjadi korban keganasan Nippon. Pembantaian atau tepatnya ekskekusi, bukan hanya terjadi di Mandor, tetapi juga di beberapa bagian kota ini seperti di Pangkalan  Seng Hie, Durian Sebatang, dan Daerah perkebunan.

Yang kami muliakan Sultan Syarif Muhammad Alkadrie pun telah pula berkorban. Hati ini pilu, apalah terasa bila seorang pemimpin yang dicintai direnggut paksa utk pergi selama-lamanya ? Hampa, kesedihan mendalam, dan derai airmata. Rakyat resah, ingin segera keluar dari keadaan yang tidak menentu dan menakutkan ini.

Esok paginya, berbekal dua buah tas, aku diantar Hamid dengan sampan menyusuri tepian Kapuas, menuju Kampung Bansir. Sepertinya memang disengaja oleh Hamid untuk  menitipkan aku  pada orang yg tidak ada hubungan keluarga sama sekali. Pasti dengan tujuan untuk melindungi diri dan keluarga besar dari ancaman Nippon.

Airmataku tak henti mengalir. Terkadang isak pelan tak juga mampu kutahan. Namun aku harus kuat.. Kuhela napas sebagai penguat diri. Hamid tak banyak bersuara. Hanya kadang  genggamannya kurasa begitu erat, sebelum dilepas lagi untuk mengayuh sampan.

Kami sampai di dermaga Kampung Bansir. Di samping kanan ada surau Bansir, yang bernama Baitul Makmur. Kini telah diakui sebagai mesjid hingga boleh diselenggarakan sholat Jum'at di dalamnya. Sebelumnya para penduduk pergi sholat Jum'at ke mesjid Jami'  dengan bersampan. Namun akibat begitu mencekamnya pendudukan Nippon, sejak tahun lalu para pria dari kampung ini tak lagi bebas bersampan ke mesjid Jami.

Surau ini unik. Ia terletak di tepi sungai, sehingga bila berwudhu, air sungai Kapuaslah yang jadi media penyucinya. Tadi sepintas kulihat  ada seorang bapak-bapak yang tengah membersihkan surau.

Hamid menambatkan sampan di dermaga. Kemudian dengan sabar dan kuat ia membimbingku turun dari sampan. Kami lalu  berjalan sejauh beberapa rumah, lalu sampai pada rumah panggung khas Melayu yang bertiang tinggi dengan cat coklat tua. Hidungku samar-samar mencium aroma kue sedang  dipanggang.

"Assalamualaikum..." Hamid mengucap salam ke arah pintu yang terbuka lebar.

Aku resah. Kupererat genggaman tanganku padanya. Hamid tersenyum tulus seraya menatapku. Kemudian Hamid mengelus pelipisku dengan tangannya.

"Waalaikumsalam. Hamid ye ? Dengan Ani ? "

Terdengar suara dan kemudian seorang wanita tua keluar dan menyambut kami. Hamid dan aku lalu menyalami dan mencium tangannya. Beliau ini adalah ibu Arifin. Teman Hamid yang bekerja di Kantor Pos.

Mak Uteh juga mempunyai usaha rumahan  pembuatan kue bingke dan kue-kue tradisional Pontianak yang dinamakan tambol. Setiap hari berproduksi dan berjualan di rumahnya ini.

Walau waktu  diperlambat, tetap saja perpisahan itu akan tiba. Hamid berdiri memelukku, mencium keningku lalu bibirku dan kedua tanganku. Tatapannya hanya padaku. Mak Uteh pura-pura tak memperhatikan. Ia sibuk melipat lipatan kain batiknya yang sudah rapi.

Lalu Hamid berlutut. Ia memeluk kakiku dan mencium perutku. Ia  bicara pada bayi  kami dengan bisikan. Aku tak mendengar apa yang ia bisikkan. Namun aku melihat matanya berkaca-kaca.

Lalu ia pergi. Sinar matahari jam sepuluh menyiraminya. Aku lalu teringat dulu saat aku mengembalikan sarungnya. Sarung yang melindungi tubuh basahku akibat tenggelam di sungai Kapuas. Hamid adalah pemuda itu. Pemuda mempesona yang  disirami matahari jam sepuluh. Bedanya  kini, tubuh itu berjalan  semakin menjauh dariku.

Pontianak, 8 April 2018
21.52
When my sanity hangs by a thread..I lose my way but still you seem to understand..now and forever I will be your man..-Richard Marx

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 28 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Kisah Nak Dare dan Pengayuh SampanWhere stories live. Discover now