SM | Trente Sept

499 37 3
                                    

•°~Happy Reading~°•

Alice dan Ryder melompat dari motor begitu sampai di gedung tua. Keempat Scorpion berlari menuju gedung lalu mencari alternatif lain karena lift tidak lagi berfungsi.

"Selamat datang dipermainan ke tiga. Permainan kali ini tidak susah, kalian menjawab pertanyaan dengan benar maka pintu setiap lantai akan terbuka otomatis. Jika salah, maka ucapkan bela sungkawa pada teman kalian. Sekian!"

Keempat Scorpion itu tertegun begitu suara berat seseorang terdengar. Kakinya yang baru menapak pada undakan pertama dilanjutkan hingga pintu lantai kedua ditemukan.

Ryder dan Reska berkali-kali mendobrak namun sia-sia, berganti Axton tapi sama saja. "Sialan!" erang Ryder.

Axton memukul pintu. "Apa pertanyaannya!"

"Pertanyaan pertama. Siapa, hari apa, tanggal berapa, dan pada jam berapa, adanya korban pertama? Jawaban tepat sasaran."

"Catrine Erie Feather, kelas 3E urutan 3 dari 30 tempat duduk. Pada hari senin tanggal 2, jam 01:05."

Tiga laki-laki Scorpion menatap Alice yang berujar dengan satu kali tarikan napas. Bahkan Reska belum sempat memikirkan jawaban.

"Kau yakin?" Reska bertanya was-was. Masalahnya di sini setiap pertanyaan nyawa dipertaruhkan.

Alice membalas tatapan Reska. "Aku tidak pernah seyakin ini."

Dentingan mengalihkan mereka semua. Pintu terbuka begitu juga helaan napas lega keempat Scorpion itu. Mereka melanjutkan ke lantai selanjutnya.

. . .

Nix diam menunduk, di depan gadis itu duduk gadis lain yang diikat sama sepertinya. Keadaannya jauh lebih kacau dari Nix yang dihajar oleh Maecy. Sudut mata Nix bisa melihat seorang laki-laki jakung duduk dipembatas rooftop sambil memainkan tali yang mengikat Flora di bawahnya. Nix hanya bisa mendengar raungan Flora. Tidak Maecy, tidak laki-laki itu, menyukai mempermainkan Flora. Nix sedikit bersyukur tidak berada di posisi Flora.

Nix berpikir laki-laki itu sudah hilang kewarasan, tidak bisa menebak apa isi pikirannya sama sekali. Yang diikat di depannya adalah Maecy. Ya, Maecy Aleaxa Nazareth, orang yang membuat teror dan korban, lalu yang menyekap, bahkan menyiksa, terikat begitu mengenaskan.

Laki-laki itu menghajar Maecy tanpa ampun dan terus memakinya, bahkan  Maecy tidak dapat menghindar dari serangan bertubi-tubi yang diberikan.

Laki-laki itu meninggalkan pembatas rooftop menuju sebuah meja dengan alat elektronik di atasnya, menekan sebuah tombol lalu mengatakan sesuatu yang sayangnya tak dapat didengar Nix.

Sementara di sisi lain. Pertanyaan demi pertanyaan, lantai demi lantai empat Scorpion itu lalui dengan segala keresahan.

"Pertanyaan selanjutnya!" Ryder mengerang keras. Alice bersandar pada pintu, Reska tak mampu lagi berdiri dan memilih merebahkan dirinya sebentar, Axton bahkan tak sanggup lagi naik pada undakan tangga selanjutnya.

"Coba lihat lantai berapa sekarang? Kalian beruntung ada Alice, dua sampai tiga lantai lagi akan berada pada pertanyaan terakhir!"

"Bangsat! Cepat katakan apa pertanyaan!" Bahkan Axton tak lagi bisa menahan umpatannya.

"Oke, pertanyaan ketujuh menuju lantai delapan. Siapa dari kalian yang benar-benar dari bebas teror?"

Beberapa detik mereka diam, saling pandang lalu memusatkan pada Alice yang berpikir keras.

"Di antara kita, hanya Zaedyn dan Ryder. Tapi bagaimana dengan Nix yang hilang sebelumnya? Maecy, bagaimana pun dia bagian dari kita walau ternyata yang memainkan terornya." Alice berkata dengan kening berkerut.

"Sial!" Reska menggeram.

"Zaedyn. Dia yang bebas dari teror."

Semua menoleh dengan terbelalak. "Alice! Apa yang kau lakukan?!" panik Axton.

"Nyawa dipertaruhkan di sini, dan kau menjawab tanpa bukti?!" lontar Reska.

"Ini feeling, percaya padaku," tegas Alice. Degup jantung Alice berdetak dua kali lebih cepat, butuh perhitungan saat dirinya mengatakan nama Zaedyn. Rasa was was merayap begitu suara tak dikenal menyahut.

"Wah-wah, kau menjawab tanpa tau siapa yang bebas dari teror dan hanya mengandalkan feeling? Ah ... benar, seorang Alice Aley Drarken memiliki feeling yang kuat dan selalu tepat. Tapi sayang seribu sayang Alice kali ini feelingmu...."

. . .

"Sebenarnya apa alasanmu melakukan semua ini?"

Sekali lagi, dengan pertanyaan yang sama, Nix berhasil menyentak Maecy, gadis itu mengangkat sedikit kepalanya dan menatap Nix dari sudut matanya dengan susah payah. "Alasanku melakukan ini untuk mati," ujarnya tanpa beban.

Nix terhenyak. "Kau gila."

"Ya, aku gila, sejak awal aku memang gila."

Nix mendengus, gadis kemudian beralih pada laki-laki yang duduk di kursinya sambil bercoleteh dengan riang. Apakah jika Nix bertanya siapa dia pada Maecy akan dijawab?

"Siapa dia?"

"Orang yang menawarkan kematian padaku. Dia berjanji akan membunuhku jika ikut dalam permainannya."

Nix semakin tidak habis pikir dengan kedua orang ini. Alasan Maecy saja tidak ngotak apalagi laki-laki yang masih asik dengan dunianya.

"Kenapa kau ingin mati?"

Lama sekali baru Maecy menjawab pertanyaan Nix. "Aku muak dengan kehidupan. Ayah gila uang dan Ibu seorang jalang. Kelahiranku tak diharapkan karena terlahir sebagai perempuan. Apa yang bisa aku harapkan dari dua orang yang mementingkan diri mereka sendiri? Kasih sayang? Cinta? Tatapan dan pelukan hangat? Tidak ada. Yang aku dapatkan malah luka basah yang terus bercucuran darah."

Maecy terkekeh. "Tapi, sebagai makhluk Tuhan yang baik, aku membantu pekerjaan Malaikat maut untuk mencabut nyawa-nyawa mereka dan dua orang itu. Itu sangat menyenangkan! Memohon ampun di bawah kaki dengan darah di mana-mana!" sambungnya.

Maecy melihat laki-laki bertopeng di sana. "Hanya dia yang mungkin bisa menerimaku dan menawarkan diri agar membunuhku. Aku tidak mau bunuh diri karena katanya itu dosa, haha ... Kau tau, aku membunuh untuk mati." Maecy menoleh pada Nix terkejut.

"Kau mau bocoran?"

Nix menatap Maecy lekat namun was-was. "Apa?"

Maecy menarik sudut bibirnya. "Dia salah satu di antara kita, yang keberadaannya hampir tak nampak dan diperhatikan."

"Tapi sayang seribu sayang Alice, kali ini feelingmu ... juga benar! Selamat Alice dan yang lainnya! Kalian bisa lanjut ke lantai selanjutnya dan tidak ada yang mati! Hahaha!"

Kedua gadis itu menoleh. "Dia senang," celetuk Nix yang ngeri.

"Iya, dia senang mempermainkan nyawa seseorang."

Nix dan Maecy terus menatap laki-laki bertopeng yang asik tertawa di atas penderitaan Alice, Ryder, Reska, dan Axton. Karena terlalu fokus, samar-samar Nix mendengar kembali isakan Flora yang masih tergantung di sana. Sialan, cepatlah berakhir!

"Ayo ke pertanyaan terakhir, pertanyaan ke sepuluh menuju lantai sebelah. Pertanyaan ini sedikit susah dan aku dengan berbaik hati memberikan clue. Coba aktifkan handphone kalian."

"Fuck!" Nix tak bisa menahan dirinya untuk tidak mengumpat saking kesalnya.

•°~TBC~°•

Min, 1 Oktober 2023

Scorpion MissionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang