SM | Trente-Six

521 40 6
                                    

•°~Happy Reading~°•

Berkali-kali Ryder mengumpat karena macet yang terlalu padat, laki-laki itu kadang memukul setir dan memaki orang di depannya maupun yang membunyikan klakson berkali-kali.

"Sialan, kenapa bisa semacet ini?!" Itu erangan Alice.

Ryder mengendarai mobil Alice yang ditumpagi sang pemilik, Narasfa dan Arasfa. Sedang Reska, Alfeith, Zaedyn, dan Axton membawa motor sendiri.

Suara ketukan di samping jendela Ryder mengalihkan laki-laki itu. Ryder menoleh dan mendapati Axton yang meminta agar kaca mobil di turunkan.

"Kita putar balik! Narasfa, dan Arasfa ke alamat yang dikasih Maecy bersama Zaedyn juga Alfeith! Sementara kau, aku dan Reska serta Alice ke alamat yang lain!"

"Apa maksudmu?!"

Kedua laki-laki saling sahut dengan teriakan karena pekikan klakson yang begity nyaring di mana-mana.

"Aku hanya curiga jika alamat yang diberikan Maecy adalah palsu! Handphone yang dipakai Nix telah aku berikan pelacak dan itu berkebalikan dengan alamat yang diberikan Maecy!"

Ryder menatap Axton rumit sebelum menatap tiga gadis di dalam mobil. "Perubahan rencana, kita tidak akan ke alamat itu bersamaan. Alice, aku, Axton, dan Reska akan ke alamat dari lokasi handphone Nix. Sementara Narasfa, Araafa, dan Zaedyn beserta Alfeith akan ke alamat yang akan dituju sekarang," cetus Ryder menjelaskan.

"Oke." Sepakat ketiga gadis itu setelah saling berdiskusi lewat tatapan.

"Aku serahkan mobil pada kalian berdua. Hati-hati," peringat Alice lalu keluar dari mobil dan langsung di ambil alih twins itu.

Axton dan Reska membonceng Ryder dan Alice, mereka berempat putar balik ke alamat handphone Nix saat ini.

"Pegang ini," ujar Axton seraya menyerahkan handphonenya pada Ryder.

Rydee menerimanya lalu menatap titik merah yang menandakan lokasi Nix saat ini. Ryder menghela napas sebelum mengarahkan ke mana tujuan mereka.

. . .

Flora menangis ketakutan saat tali yang digunakan untuk mengikatnya digoyang dengan sengaja oleh Maecy.

"Maaf! Maafkan aku Maecy! Maafkan aku!" mohonnya namun hanya dibalas oleh tawa bahagian Maecy.

"Maafkan katamu? Begitu berani menipuku dan kau dengan gampangnya meminta maaf? Kau tidak waras rupanya." Maecy semakin gencar menggoyang tali itu.

Nix menoleh ke belakang, menatap korek yang terus menyala, berharap benda itu jatuh karena tali yang bergoyang. Namun semua hanya angan belaka, api yang tadinya kecil dibesarkan oleh Maecy dan gadis itu memberikan sebuah perekat agar tidak jatuh.

"Apa? Mau protes?" cetus Maecy melihat tatapan Nix yang begitu tajam padanya. Maecy berdiri tepat di depan Nix seraya bertumpu pada kayu sandaran kursi. "Ayo main batu gunting kertas, jika aku menang aku akan memukulmu dan jika kau yang menang..."

"Apa?" sanggah Nix cepat.

Maecy tertawa terbahak-bahak. "Hei-hei, apa-apaan itu. Tentu saja aku akan memukulmu, siapa bilang kau bisa menang? Lagipula, jika aku melepaskanmu dari ikatan ini maka Flora akan terjun bebas dan bum!" Maecy menggerakkan tanganya memberikan sebuah bayangan pada Nix.

"Kau mau?"

"Tidak!"

Satu tamparan begitu Nix berucap dengan cepat. "Kau bilang apa?"

Nix meringis. "Ya..."

"Bagus! Ayo mulai!"

Maecy bergerak ke belakang tubuh Nix. "Bantu, gunting, kertas!" Maecy memberikan gunting dan Nix batu. Gadis meradang, Maecy menampar sebagai kesepakatan mereka.

Itu terus berulang, entah Nix atau Maecy yang menang, semua dikendalikan Maecy. Nix juga hanya bisa pasrah di sana, mencoba lepas berarti nyawa Flora melayang.

"Ah! Membosankan! Kau membosankan Nix!"

Apa kata Maecy? Membosankan? Gadis itu berkata setelah puas menamparnya hingga pipinya menjadi bengkak dan merah, bahka sudut bibirnya terluka.

"Aish, kenapa mereka lama sekali?" gerutu Maecy. "Apa mereka tidak lagi perduli pada kalian berdua? Kasihan~"

Kini tempat itu dilanda keheningan, Flora yang diam menahan ketakutan, Nix yang bungkam, dan Maecy yang menatap bintang di langit malam.

"Ibuku seorang lacur." Nix menoleh karena celetukkan Maecy. "Dan Ayahku yang bodoh. Saking bodohnya dia menerima Ibuku untuk dipertanggung jawabkan dengan angan bahwa aku adalah seorang laki-laki. Dia gila."

"Setelah aku lahir, dia murka karena tak sesuai harapannya, dan ... yah, seperti semua surat yang kutulis di setiap korban."

Nix masih menjadi pendengar yang baik. "Namun kemarin malam aku berhasil membunuh orang-orang gila itu. Memutilasi Ayahku dan menyuruh orang memperkosa Ibuku. Kau mau aku tunjukkan videonya?"

Nix menggeleng namun Maecy memaksanya dengan mencengkeram erak rambutnya seraya diarahkan pada handphone. Dari awal adegan hingga selesai Nix menontonnya dengan paksa, karena setiap kali menutup mata Maecy memukulkan handphone itu ke wajah Nix hingga berulang kali.

"Kau harus lihat itu, Nix. Itu adalah pertunjukan terbaik yang pernah ada." Air mata Nix bercucuran saat seorang wanita yang bukan lain adalah ibu Maecy digagahi oleh beberapa pria sekaligus.

Awalnya wanita itu masih mendesah kenikmatan namun para pria yang menggagahinya melakukan kekerasan bertubi-tubi. Ibu Maecy benar-benar diperkosa hingga mati, atas suruhan anaknya sendiri.

"Kau ... kejam." Nix berkata sambil menatap tajam dengan mata merahnya.

Bukanya tersinggung, Maecy malah tertawa kencang, bagai perkataan Nix adalah sebuah lelucon yang sangat lucu. "Aku? Kejam? Jangan bercanda, kedua orang itu lebih kejam daripada aku. Si wanita busuk itu bersama suaminya menyiksaku karena tak sesuai harapan mereka, aku yang disalahkan. Tapi yang harus disalahkan di sini adalah mereka berdua. Bagaimana jika Ibuku langsung menggugurkan kandungannya begitu tau dia hamil? Bagaimana jika bukan Ayahku yang dimintai pertanggung jawaban atas kehamilannya? Aku pasti tidak akan seperti ini!"

Benar kata Maecy. Dia menjadi seperti ini karena keadaan. Namun semuanya hanya bisa berandai, Nix juga tidak bisa merubah keadaan. Bagaimana bisa merubah keadaan Maecy sedangkan keadaanya saja diambang kematian.

Seketika Nix mengingat korek api yang terus membakar talinya, Nix jadi panik. Gadis itu menoleh ke belakang melihatnya, Nix dibuat menghela napas lega karena ternyata korek api itu mati.

Sentakan di kepalanya membuat Nix harus menarap seringai Maecy. "Ada apa? Kau takut tali itu putus? Tenang saja, Flora tidak akan mati semudah itu." Maecy melepaskan cengkeramannya di rambut Nix lalu berjalan menjauh ke tepi rooftop.

Suara deru samar beserta lampu mobil terlihat di bawah sana membuat Maecy menarik kedua sudut bibirnya. "Game kedua di mulai."

. . .

Maecy duduk di pembatas rooftop sambil menggoyangkan kaki seraya menatap ke bawah, menunggu seseorang yang tengah naik ke lantai atas saat ini.

"Maecy, tolong ... tolong lepaskan aku..." Flora terisak di bawah sana, tubuhnya kaku dan tak berani digerakkan sama sekali, bahkan sedari tadi Flora menutup matanya dengan kencang, angin yang berembus menyapu tubuhnya seperti mengurangi setahun umurnya.

"Lepaskan? Maka kau akan terjun bebas di bawah sana. Kau bukan lagi sedang terjun payung atau lompat indah ya. Sabar saja, rencana akan berjalan dengan sempurna jika kau berhenti merengek dan tidak membuat kesabaranku habis." Maecy terkekeh, tanganya dengan sengaja menggoyang tali yang mengikat Flora hingga membuat gadis itu bergetar.

Suara pintu terbuka mengambil atensi Maecy dan Nix bersamaan. Kening Nix berkerut tajam saat seorang yang bisa dipastikan laki-laki, mengenakan topeng persis milik Maecy, dan berpakaian serba hitam berjalan santai.

"Akhirnya kau datang juga!"

Laki-laki itu tidak menjawab dan terus berjalan santai ke arah Maecy. Sedetik begitu Nix berkedip, teriakan nyaring Maecy membuatnya tertegun.

•°~TBC~°•

Jum, 22 September 2023

Scorpion MissionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang