bagian 18

25 15 2
                                    

Seperti kelabu yang tak berwarna, suram terasa hariku aku menangis tak bersuara meratapi wajah yang sebentar lagi akan pergi meninggalkanku sendiri di putaran dunia yang hampa.

Ketiadaan hidup memang lumrahnya bagi kehidupan manusia tapi hati entah mengapa merasa enggan mengiklashkan kepergian beliau.

Aku masih berada di dekatnya berada di sampingnya yang terbaring terbujur kaku, merah mataku bengkak karena mata tak henti mengeluarkan air mata, jiwa raga ku terluka dan pasti lukanya akan membekas selamanya.

Daun daunan kering jatuh di tengah gerimis yang mengundang, gerimis menutupi tangisan piluku, di bawah payung berwarna hitam aku melangkah di tengah gerimis mengantar kepergian beliau.

Aku bersedih hati ketika melihat nenek sudah memasuki liang lahad, tangisku pecah saat mengenang masa masa nenek merawat ku, betapa pilunya hati dan bahkan otakku tak mampu memikirkan hidup tanpa hadirnya sosok nenek yang selalu menemani ku di suka maupun duka.

Aku menangis di samping batu nisan yang bertuliskan nama seorang yang sangat ku sayangi, aku tak pernah merasakan sehancur ini aku tak pernah merasakan sesakit ini, namun apalah daya hidup terus berjalan dan aku harus tegar menghadapinya, mungkin beliau akan berkata seperti itu jikalau ia melihat ku seperti ini.

*
*
*

Sembilan hari telah berlalu dari hari kepergian nenek, aku masih di sini duduk termenung sendirian di rumah, untuk kali pertamanya aku merasa terpukul yang mendalam seperti ini.

"Waduh!! Ini rumah apa kapal pecah?" Terdengar suara seorang yang masuk ke dalam rumah.

Aku sudah menduganya yang bertamu pastilah raka dan tio, karena semenjak kematian nenek mereka tiap hari bertamu ke rumah ini.

"Wa dawa kamu di mana!" teriak raka mencari.

"Anak-anak mereka bilang rindu sama kamu!" sambung tio.

Aku keluar ketempat mereka berada, untuk menjelaskan bahwa hari ini aku tak ingin kemana mana.

"Kamu berantakan!" Sapa raka, saat aku menghampiri mereka.

Aku hanya diam tak menjawab pertanyaan dari raka dan aku langsung duduk di kursi ruang, yang di ikuti oleh raka dan tio.

"Kamu enggak bisa seperti ini terus wa!" ujar raka.

"Nenek pasti bersedih melihat keadaaan kamu seperti ini," sambung tio

Aku hanya menatap mereka dengan tatapan sendu dan berkata dengan bahasa isyarat, "tau apa kalian tentang rasa kehilangan! Kalian masih bisa merasakan duduk bersama keluarga kalian menikmati makan malam yang menyenangkan! Tau apa kalian tentang rasa kehilangan!"

Saat melihat aku mengucapkan kata kata itu raka tanpa basa basi menarik kerah baju ku dan langsung memukul wajahku dengan keras.

"Brengsek!!" Ujar raka sembari memukul wajahku, pukulan kerasnya membuat ku terjatuh dan membuat bibir berdarah.

"Ka sabar ka!!" lerai tio.

"Kamu kira kami happy setelah nenek meninggal!! Kamu kira kami bisa menikmati makan malam yang menyenangkan semenjak nenek tiada!!" Teriak raka yang tak terima dengan perkataan dari ku.

"Keluargaku keluarga tio bahkan keluarga lisa juga sudah menawari agar kamu tinggal bersama kami dan kamu masih berpikiran kalau kami ini bukan bagian dari keluarga mu!!" Bentak raka sambil menunjuk ke arah ku dan aku hanya terdiam mendengar perkataan dari raka.

Derai air mata ku kembali terjatuh, aku menangis sejadi-jadinya di hadapan raka dan tio, tak bisa ku pungkiri palung hatiku yang terdalam terluka amat perih, tak mampu ku berucap tak mampu ku menahan rasa sakit sanubari hati yang terluka pilu amat ku rasa.

"Menangis lah, kami akan selalu menjadi tempat suka dan duka mu," ujar tio.

"Kami mengerti wa, tapi apa mau di kata tuhan sudah memanggilnya." Ucap raka seraya memeluk tubuh ku yang terduduk tak berdaya, tio membalikan badan tak sanggup melihat raka dan aku menangis pilu.

"Menangislah keluarakan semua tangisan mu, di sini ada kami yang akan selalu menemani tiap tetes air mata yang kamu keluarkan," kata raka pelan.

Hati yang hancur ini seolah-olah ingin berkata kepada yang maha kuasa dalam tangis hati berucap, "tuhan bukan ku tak redho ataupun tak mengiklashkan tapi engaku memanggilnya di waktu yang tidak tepat, aku menangis bersedih tuhan suatu tanda aku belum siap untuk menghadapi ini semua."

Dalam tangis sepintas aku teringat memori kenangan manis saat bersama nenek, aku teringat di masa aku kecil saat nenek merawat ku.

Aku teringat ketika aku baru masuk sekolah dasar dengan kekurangan yang aku miliki beliau selalu meyakinkan ku dan menguatkan hati setiap saat menyemangati.

Aku dulu sangat susah untuk bergaul dengan anak-anak lain dan aku juga cenggeng menangis tiap saat melihat beliau tak berada di sekitarku, beliau selalu mengantar menjemput bahkan sebisanya beliau menungguku di sekolahan seperti orang tua murid lainnya.

"Kamu itu lelaki jadi harus kuat enggak boleh cenggeng." Ucap nenek seraya tersenyum di perjalanan pulang sekolah sembari menggandeng tanganku.

Waktu itu aku tersenyum dan mengangguk sebagai isyarat aku akan menjalani perintahnya agar menjadi lelaki yang kuat yang tidak mudah menangis, aku sangat merindukan masa itu, masa dimana beliau menggandeng tanganku, aku merindukan masa dimana beliau selalu ada untuk ku.

Dan sekarang cahaya sinar hari ku mulai meredup tak ada lagi belai sentuhan hangat yang menerengai setiap keterpurukan.

"Assalamualaikum! Bang dawaa!!" Suara serantak yang memanggil ku di depan rumah.

" Itu seperti suara anak-anak!" kata raka.

"Wa hapus air mata mu, nanti di lihat anak!!" Pinta raka, aku menghapus air mata ku dan menyuruh raka dan tio untuk kedepan melihat mereka.

"Aku mau kebelakang dulu, mau cuci muka sebentar!" ucapku dengan bahasa isyarat.

"Sudah cepat pergi sana," kata tio.

Aku berusap wajah agar bisa menyembunyikan wajah yang di selimuti oleh kesedihan, wajah yang datar tanpa adanya senyum.

Aku bercermin melihat betapa berantakannya wajah yang datar ini, aku berkaca melihat kemalangan hidup ini.

Setelah meyakin diri agar dapat menahan kesedihan untuk menghadapi anak-anak, aku pergi kedepan tepatnya di ruang tamu, terlihat anak-anak menggunakan kostum badut kelinci seperti yang aku punya.

"Itu bang dawa!" Kata lisa sembari menunjuk kearah ku.

"Bang dawa!!" Ucap anak-anak serentak, mereka berlari menuju ke arah ku, tanpa kata mereka semua langsung memeluk ku, akupun jongkok agar bisa membalas pelukan hangat yang mereka berikan.

Aku bersedih hati melihat mereka memakai kostum badut kelinci sembari memulukku, aku mencoba tersenyum tertawa menyambut hadir mereka meski hati bersdih terharu melihat mereka mencoba berusaha menghibur kesedihan hati ini.

Dari jauh aku melihat lisa yang menangis haru melihat moment ini, rasanya ini tak adil ia bisa menangis sedangkan aku harus menahan tangisan agar tak di lihat oleh anak-anak.

Melati harapanku gugur suatu bertanda bahwa salah satu keajaiban yang indah dalam hidupku telah hilang, namun aku percaya meski sudah berbeda alam aku percaya kalau beliau akan senantiasa berharap aku menjalani kehidupan ini dengan bahagia, meski tak bisa di pungkiri kalau ia adalah salah satu anugrah kebahagian yang ku miliki.
.
.
.
.

Bersambung...



Catatan Dawaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن