bagian 17

29 17 6
                                    

"Dia lucu ya," ucap lisa sembari ketawa kecil.

"Sudahlah jangan mengejeknya," ucap ku dengan bahasa isyarat.

"Enggak ada, aku enggak ada mengejeknya!" kata lisa.

"Di situ ada tempat yang kosong!!" Sambung lisa, lisa langsung memegang tanganku dan menarik ku ke tempat duduk yang tak jauh dari tempatnya bunga berada.

Aku hanya bisa pasrah dengan tingkah laku lisa, dan bunga hanya menetapku dan lisa dengan tatapan sinis seperti tak suka dengan kehadiran kami berdua.

"Hai dawa!" Sapa ririn, saat aku duduk tak jauh dari mereka, aku hanya tersenyum membalas sapaan dari ririn.

"Banyak juga ya kenalan wanita kamu dawa." Ujar lisa sembari mencubit pipiku, aku menoleh kearah bunga di situ terlihat bunga yang menatap kami dengan tajam.

Wajah bunga memerah di situ aku melihat kalau wajahnya sudah tak menggemaskan lagi tak seperti kelinci yang imut lagi, justru kebalikannya sekarang, aku takut melihat wajah bunga yang seperti orang kebakaran jenggot.

"Enggak kok, cuman teman biasa," kata ririn.

"Oh syukurlah kalau begitu," ujar lisa.

"Sudahlah aku mau pulang saja!!" Cetus bunga sembari berdiri, bunga mengambil tasnya dan beranjak pergi tanpa menoleh ke arah ku lagi.

"Tunggu nga kita kan baru sampai nanti kalau yang lain ke sini kayak mana kita kan sudah janjian!!" Kata ririn, namun tak di hiraukan oleh bunga, bunga tetap saja pergi dan mau tak mau ririn mengejarnya dan ikut pulang.

Aku hanya menatap kepergiannya, aku tak mengerti hal apa yang membuatnya marah, kalau di bilang cemburu itu sepertinya tak mungkin.

"Hahaha dia lucu," kata lisa sembari tertawa.

"Kamu kira ini lelucon!!" ucapku kesal dengan bahasa isyarat.

"Iya maaf, biasa aja lah enggak usah marah," kata lisa.

"Sepertinya dia suka sama kamu wa," sambung lisa.

Aku hanya diam tak menjawab pertanyaan lisa, sedikit jengkel aku dengan apa yang telah lisa perbuat, aku menyesal telah mengiyakan untuk makan bersama lisa di cafe ini.

"Kenapa kamu juga suka sama dia?" ujar lisa.

"Sudahlah jangan membicarakan hal yang  konyol!" jawabku dengan bahasa isyarat.

Ini untuk kali pertamanya aku melihat bunga seperti itu, aku tak khawatir jika ia menjauhiku karena menjauhiku adalah keinginan dari orang tuanya tapi yang ku sesali ialah aku dan lisa telah mengacau malam yang tenang baginya dengan kata lain aku telah mengusik dirinya.

Karena jengkel, sepanjang aku bersama lisa aku hanya diam tak berkata apapun, saat kami makan dan sesudah makanpun aku hanya diam, kami tak berbicara satu sama yang lain seperti orang asing yang tak saling mengenal.

Jenuh lisa melihat ku hanya diam dan tak lama kami selesai makan lisa mengajak ku pulang, begitu juga di perjalanan pulang di sepanjang jalan aku hanya diam tak berkata sesampainya kami di depan pagar rumahku.

"Maaf." Sahut lisa saat aku turun dari mobil, hatiku luluh saat mendengar kata maaf yang lembut dari lisa, tak mau pertemanan kami rusak karena hal seperti ini aku memaafkannya.

"Sudahlah tak usah di pikirkan," ucapku dengan bahasa isyarat.

"Kamu maafin aku?" tanya lisa.

"Sudah pulang saja sana, nanti ayah mu khawatir!" jawabku dengan bahasa isyarat.

"Baiklah kalau gitu aku duluan ya," kata lisa pamit pulang.

Dan aku juga lekas masuk ke rumah untuk beristirahat dari hari yang melelahkan, meski cukup lelah tapi aku merasa senang karena dapat mengajar anak-anak yang kurang mampu untuk bersekolah.

*
*
*

Malam telah berlalu mentari pagi kembali menyapa dan sinar matahari seperti mengetuk-ngetuk kaca jendela mengusik tidurku, aku terjaga oleh cahaya matahari yang masuk dari celah-celah kaca jendela.

Ada yang kurang di pagi ini tak ada terdengar suara merdu dari nenek yang biasanya membangunkan ku dari tidur, aku berpikir mungkin nenek sudah berangkat duluan ke kebun teh.

Aku lekas bangun dan mandi untuk bersiap berangkat kerja, setelah selesai mandi aku pergi ke meja makan untuk sarapan tapi lagi tak seperti biasanya, biasanya nenek selalu menghidangi sarapan pagi tapi kali tak ada sarapan yang terhidang.

Aku lekas pergi ke dapur untuk mengecek mana tau nenek meninggalkan sarapan paginya di dapur.

Namun alangkah terkejutnya aku saat melihat nenek yang terlentang terbaring di lantai, aku langsung mengejar nenek dengan panik dan langsung mengakat nenek ke kamar agar beliau berbaring di tempat tidurnya.

Aku langsung menghubungi tio lewat telepon dan pesan sms, meminta bantuannya agar membawakan dokter ke rumah.

Untungnya tio cepat merespon pesan dan telepon dariku, tio bilang ia akan pergi bersama ayahnya membawakan dokter ke rumah untuk mengecek keadaan nenek.

"Nenek kenapa?" tanya ku dengan bahasa isyarat, dan di iringi oleh tangisan.

"Enggak apa-apa cucuku," jawab nenek lirih.

Aku menggenggam tangan nenek dengan kuat di sertai tangisan, aku begitu khawatir dengan keadaan beliau.

Di saat aku menangis tersedu, beliau membelai rambut mengusap kepalaku, sentuhan hangat dari beliau membuat ku lemah, dari sentuhan tangannya aku bisa merasakan betapa sayangnya beliau terhadap diriku.

Beliau mengusap-usap kepalaku untuk menenangkan rasa khawatir di hati, tak lama beliau membelai lembut rambutku, beliau terhenti mengusap kepalaku dan dengan perlahan tangannya terjatuh dari atas kepala.

Jantungku terhenti melihat tangannya terjatuh, telinga berdenging seolah gendang telinga akan pecah, pandangan mata sabur karena derai air mata.

Aku menoleh dan melihat mata beliau tertutup dengan keadaan tubuh yang terbujur kaku, beliau menutup mata dengan senyuman.

"Nenek tertidur? Sabar nek bentar lagi dokter datang!" Ucap ku dalam hati sembari menangis melihat beliau.

Aku mencoba menahan tangisan ku agar tak ada suara yang mengganggu tidur nenek, tak lama dari itu tio datang bersama ayahnya berserta dokter.

"Bagaimana keadaan nenekmu!!" tanya ayah tio dengan panik.

"Nenek tertidur om," jawabku dengan bahasa isyarat dan mata berkaca-kaca.

Dokter langsung mengecek keadaan nenek, dan tampak jelas di raut wajah dokter kalau nenek sedang tidak baik-baik.

"Bagaimana dok keadaan beliau?" Tanya cemas ayah tio, dan dokter hanya menggeleng kepalanya untuk menjawab pertanyaan dari ayah tio.

Aku diam termenung berdiri seoalah otak tak mau mencerna isyarat apa yang telah dokter itu sampaikan.
Aku terdiam termenung dengan air mata terjatuh.
Aku terdiam termenung tak tau harus apa yang ku lakukan terhadap takdir yang telah di berikan oleh maha kuasa ini.
Aku hanya terdiam termenung berharap ini hanyalah sebuah mimpi, dan aku hanya berdiri terdiam menangis memandangi nenek yang terbaring terbujur kaku.

"Sabarya nak!!" ucap ayah tio menangis sembari memeluk ku.

Salah satu kebahagiaan dalam hidup ku hancur, hancur seperti butiran debu yang tertiup angin yang kejam, bahagiaku lenyap terbang tinggi di bawa oleh hembusan angin.

Harapan ku runtuh di telan takdir yang sesungguhnya tak berdaya ku hadapi, sinar matahari menjadi tak berarti lagi dalam hidup dan pelangi sudah tak ada gunanya lagi menghiasi warna hidupku semua sudah terasa tak bearti.

Beliau pergi, beliau adalah orang yang kucintai beliau juga adalah pahlawan yang selalu menjagaku dari keras dunia yang ku hadapi.

Sakit mentalku tak tertahankan, hancur lebur jiwaku, pecah terasa otak ku saat memikirkan ia tak lagi menghiasi hidup, mati hati ku menahan tancapan bilah tajam yang tajamnya melebihi belati, dan aku hanya berdiri mematung menangis sembari melihat wajah yang tak akan bisa kulihat lagi esok dan seterusnya.

.
.
.
.

Bersambung...

Catatan DawaWhere stories live. Discover now