33 - AKBAR BAIK TAPI KENAPA?

En başından başla
                                    

"Sti, gue lihat lu berdua ke sini niat ngelongok gue aje gue udah seneng. Makasih banget. Soal buah mau lu bawa lagi juga terserah gue mah."

Aku mendesah karena bukan itu yang aku maksud. Jadi tidak enak. Maksudku aku merasa sangat dekat dengan Bu Kos tapi rasanya aku tidak memberikan yang terbaik untuk dia. Sedangkan orang lain saja memberinya dengan sangat menarik.

"Sini buah yang lu beli, biat gue makan duluan." Tiba-tiba Bu Kos mengambil keresek buah yang aku dan si Rian beli. Tanpa banyak tapi dia langsung membuka jeruk dan memakannya. Membuatku terharu saja. "Makasih ye. Biar yang dari si Akbar gue makan nanti."

"Akbar?" Keningku mengerut.

"Iye. Dia kemari, katanya lihat status Whatsappnya Adam," untuk urusan status Whatsapp jujur aku tidak tahu karena tidak menyimpan nomornya, "Terus ngasih semua buah ini. Doain gue, dan bilang kalau butuh apa-apa suruh kasih tahu dia." Bu Kos tersenyum bangga, tapi aku sedikit tidak mengerti. "Baek bener dia. Moga semua usahanye lancar deh. Dia juga gak lama di mari, katanya harus orbasapi atau apa gitu."

"Observasi kali Bu Kos," sela si Rian yang kalau dengar dari si Malik sih benar menyebutnya begitu.

"Nah entuh. Eamang itu apaan sih? Sibuk bener ya kayaknye."

Aku tidak lagi fokus pada penjelasan si Rian yang menjawab pertanyaan Bu Kos. Aku hanya merasakan hatiku merasakan perasaan yang tidak dapat aku gambarkan dengan baik. Mataku kurasakan sedikit berair.

Sebenarnya Akbar orang seperti apa? Memberikan yang terbaik untuk orang lain, sedangkan dia sendiri yang kutahu keadaannya sedang tidak baik. Dia sedang disibukkan dengan tugas kuliahnya, dan banyak hal yang tidak kuketahui termasuk suara tangisan dari kamarnya malam itu. Tapi dia tetap memberikan yang terbaik untuk orang lain.

Tidak lama suara ibu-ibu mengacaukan lamunanku.

Itu si Ibu tetangga baru bersama suami, anak, dan ibu-ibu yang lain. Aku sedikit mengerutkan kening dengan alis terangkat. Sepertinya ibu-ibu mudah sekali bergaul sampai-sampai si Ibu tetangga baru membawa banyak sekali masa. Beberapa ibu malah ada yang aku kurang kenal, sisanya ibu-ibu pengajian Bu Kos dan ibu-ibu yang suka menggosip ketika membeli sayur.

"Ya ampun Bu Kos sakit?" celetuk seorang ibu-ibu sembari menggeserku yang sedang duduk.

"Pake nanya," celetukku dalam hati.

***

Aku melotot saat membuka kulkas sehabis menjenguk Bu Kos, niatnya mau memasukkan semua belanjaan yang kubeli tadi, tapi buah-buahan di dalam sana membuatku terkejut. aku begitu karena tahu kalau ini pasti perbuatan Akbar.

Di tengah kesibukannya, dia juga memberikan perhatian pada warga kosan termasuk mengisi buah-buahan yang sebenarnya bukan kewajiban dia. Perasaan haru yang masih kubawa dari rumah Bu Kos setelah dia bercerita tentang tindakan Akbar, semakin menjadi ketika kutahu kalau ternyata ada cowok yang peduli terhadap orang lain.

Mungkin juga bagi sebagian orang itu hal biasa, tapi bagiku yang sudah lama sekali tidak mendapatkan perhatian dari Bapak, bahkan hampir hilang percaya perihal cowok tulus di dunia, hadirnya Akbar dan setiap aksi spontannya membuatku kembali percaya.

Beruntung ya dia yang bisa menjadi pasangan Akbar suatu hari nanti. Jauh di lubuk hati paling dalam, ada perasaan berharap sosok 'dia' itu adalah 'aku'. Tuhan, boleh ya?

***

Sekarang sudah malam dan aku sendirian di ruang kumpul lantai dua, bersama si Kurma dan camilan-camilan dari si Hana. Dia pada akhirnya mengeluarkan semua stok makanan yang dikirim ibunya, dia bilang kesal melihat semua makanan itu karena masalahnya dengan sang Ibu dan juga mantan kekasih –yang segera menjadi papa tirinya. Tidak lama si Wahyu datang.

"Butek amat tuh muka," tegurku bercanda.

Si Wahyu berdecih. "Sok asik lu!" Lalu masuk ke dalam kamar dengan langsung menutup pintu.

"Senga banget lu! Lagi PMS?!" protesku karena dia tidak biasanya seperti itu. Wajahnya juga tidak biasanya ditekuk begitu, tapi akhir-akhir ini dia memang sering emosi dan menunjukkan raut tidak menyenangkan. Jadi kurasa menuduhnya sedang datang bulan tidak terlalu salah.

Setelah itu kudengar sebuah lagi dari kamarnya, tapi kutebak dia setelah itu menutup lubang ponselnya dengan headset karena langsung senyap. Si Kurma yang ada di sampingku hanya merespons dengan napas yang berisik. Siaran TV juga tidak ada yang menarik, kunyalakan hanya supaya tidak benar-benar kesepian.

Alasan aku duduk di sini hanya untuk menunggu Akbar bulang, aku ingin cepat melihat wajah orang paling baik di muka bumi itu. Aku ingin segera melihat senyuman orang baik yang dia tidak pernah mengatakan dirinya baik, tapi diakui orang lain. Ah, tidak salah sepertinya kalau aku suka dia.

Di bawah terdengar suara motor dilanjut dengan pintu dibuka, tanpa lama-lama aku langsung pergi meninggalkan si Kurma. Aku tahu itu Akbar karena kalau si Hana tidak mungkin membawa motor. Dari tangga kulihat si Malik tengah memapah Akbar, langkahku mendadak terhenti. Khawatir.

Namun, begitu Akbar dan si Malik menyadari kehadiranku mereka berdua langsung tidak lagi saling rangkul. Lebih tepatnya Akbar langsung berdiri tegak seperti tidak terjadi apa-apa, padahal aku tadi melihat jelas bahwa dia dibantu jalan oleh si Malik.

"Hai, Sti" sapa Akbar.

Tidak bisa. Aku yang tadinya khawatir dan mempertanyakan kenapa, sekarang malah jadi berbunga-bunga karena aku kembali melihat wajah itu, aku kembali melihat senyum itu. Aku jatuh cinta, lagi.

"H-hai. Tadi gue gak salah li-hat kan? Lo gak bisa jalan, Bar?"

Dia kebingungan.

"Akbar ada insiden tadi di jalan," celetuk si Malik yang langsung direspons Akbar dengan bahas tubuh yang kutebak harusnya dia tidak ceritakan. "Sori. Mereka juga pasti tahu pada akhirnya kali."

Aku menutup mulut karena khawatir. Kuperhatikan dia dari ujung ke pala sampai ujung kaki, aku tetap suka, maksudku dia terlihat baik-baik saja. Kuputari tubuh Akbar supaya benar-benar menyadari apa yang ditimbulkan dari insiden yang dimaksud si Malik.

Tanpa memedulikan ocehan Akbar yang megatakan dia baik-baik saja, perlahan aku tepuk kaki kanannya. "Ah!" Itu aku yang menjerit, dan Akbar hanya meringis kecil. Harusnya kalau sakit dia berteriak. "Kok enggak kenapa-kenapa?"

Si Malik menatap kesal. "Maksud lu? Kaki kirinya yang sakit."

Plak!

"ARGHH-!!" Akbar langsung menggigit bibir bagian bawahnya menahan sakit dan aku tetap berteriak khawatir.

"Sori. Kaki lo sakit, Bar?"

"Pake nanya!" sahut si Malik.

"Diem lu!"

"Gue udah periksa ke dokter dan udah ditangani juga. Jadi cuma butuh istirahat," jawab Akbar sembari berusaha jalan yang pada akhirnya tetap harus dibantu si Malik dari sebelah Kanan. Aku berusaha membantu dari sebelah kiri tapi Akbar melarang. "Gue lebih seneng kalau lo doain gue cepet sembuh aja, Sti. Biar si Malik aja yang bantu gue jalan. Takutnya lo geplak lagi."

Harusnya aku sebal karena dia menuduhku akan mengulangi hal itu, padahal hanya berniat membantunya. Tetapi aku tidak marah karena aku juga ngilu kalau lama-lama melihat ekspresi dan cara jalannya.

Semoga orang baik itu cepat sehat kembali.

"Night, Sti," ucap Akbar sembari berjalan di tangga.

"Night." Night juga suami. Eh.

Boleh sekarang aja jadi pasutrinya gak sih?

•••

LANJUT!!

KOSAN CERIAHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin