Chapter 14

38 26 0
                                    

"Mengiris?" Wajah Nash mengerut, tak mempercayai cerita David. Namun, sorot mata pegawai institut tersebut tak memperlihatkan sedikitpun celah kalau dia berbohong. Nash akan tahu kalau seseorang berbohong apalagi untuk cerita seperti ini.

"Apa yang terjadi padanya?" lanjut Nash ingin mendengarkan dengan seksama.

"Aku bukan psikiater, hanya admisi. Namun, berdasarkan catatan yang kubaca, institut sendiri juga telah berusaha mencari tahu, tetapi mereka hampir tak menemukan apapun tentang anak itu.

"Setidaknya hingga minggu lalu, dari wawancara dengan ayahnya diketahui kalau Oliver pernah memiliki seorang ibu, yang tewas beberapa bulan sebelum Oliver menyerang ayahnya. Karena anak itu tak pernah diperiksa oleh ahli kejiwaan apapun, itu dianggap sebagai satu-satunya alasan yang masuk akal. Hanya saja, juga terlalu sulit dipercaya. Karena reaksi Oliver agak ...." David menutup mata, seperti berusaha memilih kata yang tepat.

"Di luar kendali," dan Walter yang akhirnya melanjutkan. "Oliver menunjukkan banyak sekali kecenderungan untuk menyakiti orang lain. Dalam pemeriksaan pertama, psikiater mengakui kalau anak itu akan mencakarnya. Jadi mereka terpaksa memborgolnya setelah itu.

"Di pemeriksaan lainnya, Oliver mulai menunjukkan keinginan besar untuk membunuh ayahnya, bahwa dia menyesal tidak pernah membuat pisau itu merobek wajah ayahnya."

"Kau mengada-ada!" teriak Nash. Dia hampir tidak ingin percaya, tetapi sekarang kebenaran tengah menggantung di langit-langit.

"Kami serius, ada catatan soal itu. Kau bahkan bisa membacanya sendiri. Intinya, remaja itu sangat berbahaya. Seingatku di pemeriksaan terakhir mereka mulai mengikat kedua tangan dan kaki Oliver hanya agar anak itu tak dapat menyentuh siapapun.

"Hingga empat bulan lebih perawatan, kau bisa mengatakan kalau institusi telah menyerah. Mereka tak dapat mengetahui dengan pasti apa yang salah. Maka dari itu kami berdua ditugaskan untuk mengantarnya ke Portland. Sebuah rumah sakit jiwa lain, yang mungkin akan menjadi tempat terbaik untuk penyembuhannya. Hanya saja, Oliver berhasil melarikan diri saat kami baru saja tiba di Portland."

"Lalu masuk ke sebuah bus untuk bersembunyi," kata Nash. Seakan tahu cerita lengkapnya. Dia masih merujuk pada seluruh ingatan-ingatan Ethan yang didapatkannya saat bermimpi.

Anak itu mengatakan kalau ada dua orang yang mengejarnya di jalanan Portland sebelum masuk bus, sementara di mimpi yang lain Ethan mengaku terikat pada sebuah ranjang di ruangan serba putih lalu seseorang dengan pakaian rumah sakit masuk ke dalam. Semua itu sesuai dengan penjelasan David. Ethan memang benar-benar pasien pelarian.

Namun, masih ada beberapa hal yang Nash belum yakini.

"Tapi Ethan—maksudku Oliver, dia tidak bersikap aneh selama perjalanan kami kemari. Memang sesekali anak itu menangis, tetapi dia adalah remaja yang ketakutan dan ingin pulang ke rumahnya. Malah kami sempat tertawa beberapa kali."

"Tertawa? Maksudku, dia tidak pernah menyerangmu? Atau mungkin menjadi kasar dan akan menyerangmu?"

"Tidak," ucap Nash dengan yakin. Walau dia tidak akan lupa dengan beberapa kali remaja itu berteriak keras dan menunjukkan sisi tempramental yang kecil, tetapi menurutnya itu semua adalah reaksi masuk akal dari anak muda yang kebingungan. "Maksudku, dia bahkan tidak ingat namanya dan mengapa dia bisa berakhir di Portland."

"Lupa ingatan?" Mata David melebar. "Dia lupa ingatan? Itu menjelaskan kenapa kau memanggilnya Ethan."

"Tunggu, kalian tidak tahu?" Kedua orang tersebut menggeleng. Tentu saja mereka tidak tahu. Sekarang jelas mengapa di Missoula Walter tiba-tiba saja berlari. Dia bukan ingin bersikap jahat, hanya ingin bergegas mengambil Ethan sebelum dia kabur, atau di kamar mandi mereka berdua ingin menculiknya. Orang-orang ini hanya mengetahui satu hal, Ethan adalah pasien pelarian yang harus segera ditangkap kembali.

Nash mulai menunjukkan keyakinannya pada orang-orang itu dengan melemaskan kuda-kuda. "Kalau memang dia seberbahaya itu, kenapa kalian tidak menghubungi polisi?"

"Itu karena ...." David malah tertawa kecil, kemudian menggaruk tengkuknya sendiri. Lalu pria itu menatap rekannya yang hanya mengangkat bahu, sebelum kemudian mendesau. "Kami hanya tidak ingin dipecat."

"Apa?!"

"Kami tidak ingin kehilangan pekerjaan, bung. Kau tahu apa yang akan kepala institut katakan kalau dia sampai tahu pasien yang seharusnya dibawa ke Portland malah berhasil kembali ke Minneapolis?"

Mulut Nash terbuka cukup lebar untuk mendengarkan alasan konyol tersebut. Bahkan saat menatap Walter, pria itu jadi berbeda, tidak seperti tadi yang selalu marah.

"Setidaknya kau baik-baik saja. Satu-satunya yang kami khawatirkan adalah Oliver akan menyakitimu atau lainnya, tetapi syukurlah," kata David.

"Itu penjelasan kami." Walter kembali berbicara. "Sekarang giliranmu, di mana anak itu?"

"Belum, satu pertanyaan lagi." Nash masih belum menemukan jawaban dari pertanyaan terpenting sejak kemarin. "Satu-satunya alasan mengapa aku bisa mengantar anak itu pulang adalah karena dia menyimpan alamat rumah ini di dalam sakunya. Apa itu ulah kalian?"

"Alamat rumah?" David menaruh tangannya di dagu. "Aku tidak terlalu tahu soal itu."

"Aku juga tidak, justru sejak kemarin aku bertanya-tanya kemana kau akan membawa Oliver."

Itu berarti ada orang lain yang menaruhnya di dalam sana, atau malah Ethan sendiri yang melakukannya. Bagaimana pun, Nash merasa kalau cerita mereka memang benar. Semuanya sesuai dengan ingatan-ingatan yang Ethan, dan termasuk jawaban dari segala pertanyaan yang selalu ingin Nash ketahui.

Jadi Nash memberitahukan mereka. "Dia di atas. Bersembunyi."

Walter mengangguk, dan melangkah untuk naik. Namun, David tiba-tiba saja menahannya. "Tunggu dulu."

"Sekarang apa lagi? Kita sudah kehabisan banyak waktu."

"Mungkin sebaiknya kita melibatkan Nash lagi," ujar David, lalu menatap polisi tersebut. Di mana dia segera mengangkat sebelah alis sembari menunjuk dirinya sendiri.

"Untuk apa kita bekerja sama dengannya?" Walter pun sama bingungnya.

"Kalau memang Oliver lupa ingatan seperti yang detektif jelaskan. Maka sebaiknya kita biarkan dia mengambil peran. Menurutmu mengapa selama ini mereka berusaha melarikan diri dari kita berdua? Sejauh ini, satu-satunya yang anak itu percaya adalah Nash."

"Itu tadi. Sekarang pekerjaan kita tidak akan sulit."

"Tetapi sudah sangat melelahkan. Sebaiknya kita selesaikan ini dalam cara yang mudah saja," tutup David, dan kembali pada Nash. Kedua orang itu menunggu respons.

Sekali lagi, Nash menghela napas, dan mengangkat bahunya. "Tentu. Lagipula aku polisinya di sini. Sudah tugasku."

Black Forest (A Mystery Novel)Where stories live. Discover now