Broken Inside-C

504 53 2
                                        

Bagi Abu, Mama itu lucu. Bukan karena sering bercanda atau tertawa, Mama memiliki jiwa sosialita yang tinggi. Berteman dengan banyak kalangan penting, berbelanja barang-barang mahal, dan tidak ingin ketinggalan hal-hal baru. Jika salah satu rekannya membeli, maka Mama akan sibuk menanyakan di mana store dan berapa stoknya. Mama akan kehilangan ketertarikan jika stok barang tersebut cukup besar. Mama suka bersaing.

Namanya Indana. Menikah di usia sangat muda sehingga ketika anak-anaknya beranjak dewasa, Mama masih terlihat sehat dan cantik tentunya. Abu selalu memuji kecantikan Mama setiap hari, meski tidak berani mengatakannya ketika berhadapan langsung.

“Mama, adek kemarin menang.”

Mama mengalihkan atensinya dari jajaran sepatu yang terpanjang rapi pada ruang tersendiri. Penampilan dengan dress merah dan rambut tergelung memberi kesan mewah dan berkelas.

“Berapa tahun kamu jadi aktor?”

“Sepuluh tahun, Ma.”

“Dan kamu belum pernah mendapat peran utama.”

Mama kembali fokus memilih high heels. Beberapa kali dia mencoba lalu mengembalikannya kembali. Mama tentu menyadari Abu masih berdiri di sampingnya.

“Ambilin yang warna merah di atas itu, Bu.”

“Bu?” Abu mendongak.

“Iya, Abu.”

Abu tersenyum miris, tapi tetap melakukan perintah Mama. Meski bukan pertama kali mendengar dan bukan pertama kali memastikan, Abu tetap merasa asing ketika Mama memanggilnya dengan nama panggung. Sama seperti yang lain, Abu merasa jarak antar keduanya semakin jauh.

“Mama mau ke mana? Mama nggak mau jalan sama adek?”

“Kamu mau bikin vlog memang?”

“Enggak.” Abu menggeleng cepat, “Aku cuman mau sa—“

“Buat apa? Buang-buang waktu, ajak Mama lain kali kalau kamu kerja.”

Damn! Abu tidak tahu lagi bagaimana menjelaskan rasa nyeri yang tiba-tiba bersarang di dadanya. Pemuda itu meringis, melangkah mundur, kepalanya tertunduk dalam sambil diam-diam menyesali inisiatifnya untuk quality time dengan Mama.

Pemuda itu sedikit menyingkir ketika Mama melewatinya begitu saja sembari menelepon. Suara tawa dan penuh keramahan itu membuat Abu iri, Mama tidak pernah berbicara senyaman itu dengannya.

“Anak kamu itu lucu banget, jadi kangen, pengen aku uyel-uyel terus aku ciumin wajahnya. Hahaha, padahal dah mau lulus SD.”

Suara samar terdengar semakin menjauh. Dulu di usia yang sama, Abu mulai menjejaki dunia karir, tapi tidak pernah sekalipun Mama menemaninya. Tidak pernah melakukan apa yang Mama sebutkan untuk anak temannya itu.

“Gimana bisa Mama bikin aku iri sama anak kecil?”

Lucunya, meski tahu bahwa respon yang sama akan selalu Abu dapatkan, dia tetap melakukannya setiap ada kesempatan. Jika tidak ada jadwal, Abu lebih sering menghabiskan waktu di rumah. Dia akan menunggu, memperhatikan, dan mencoba mendekati Mama setiap waktu.

“Abuuuuuu! Agha Buphendra!”

Seruan mendayu-dayu itu terdengar dari lantai bawah. Tanpa menengok pun Abu tahu siapa pemilik suaranya, wanita yang selama ini menjadi manajer dan seolah beralih peran sebagai walinya. Bahkan sekarang Jesika atau Abu lebih kerap memanggilnya Kayes ini mendapatkan akses masuk rumah bahkan kamar Abu.

“Eyy, kamu udah bangun? Bangun jam berapa tadi? Biasanya harus dibangunin dulu.”

“Itu dulu masih remaja,” sahut Abu kesal.

Broken Inside ✔️Where stories live. Discover now