31 - Rian Asti Emosi

Start from the beginning
                                    

"Bakal gue ceritain hari ini. Gimanapun gue butuh orang buat ada di dekat gue, Sti, supaya gue tetep waras. Di sini gue punya lo, di kampus gue punya temen gue yang lain." Dia tersenyum.

Begitu juga dengan aku. Rasanya membahagiakan mengetahui seseorang benar-benar menghargai keberadaanku. Tidak mahal kok, tapi buatku itu sulit didapatkan. Apalagi dari keluarga sendiri. Beruntungnya si Hana-temanku- menghargaiku di sini.

"Gue duluan. Kalau lo ada mau beli isi kulkas kabarin ya, gue mau nitip."

Si Hana pergi setelah kuberi anggukan kepala. Terlihat dari kaca dia berbelok menuju jalan depan, kurasa temannya itu memang tidak mau ribet untuk belok ke area ini, atau memang si Hana sengaja menyuruhnya menunggu di sana.

Tidak berselang lama si Malik turun dari lantai dua. Sudah dengan gayanya yang tengil dan siap pergi. Wangi, hanya itu yang bisa kupuji darinya, yaitu bau parfumnya. Sisanya menyebalkan entah kenapa.

"Wih tumben pada udah selesai makan," tegurnya.

"Makan apaan, makan angin?" sahutku.

"Emang udah enggak ada yang bisa dimasak lagi ya?" tanya si Malik seraya membuka kulkas. "Dih, cuma sisa nugget doang. Lo gak mau, Sti?"

"Emang lu bakal ngasih?" tanyaku dengan alis terangkat mendengar pertanyaannya yang meragukan.

"Ya kagaklah. Pake nanya."

"Gue sambit lu!" Kuangkat gelas berisi air yang kemudian diarahkan padanya, untung tertahan karena aku memiliki kesabaran.

Seperti tidak lagi takut dengan segala gertakanku, dia hanya meledek dengan bibirnya yang komat-kamit baca mantra. Dasar laki-laki, bisanya bikin kesal saja. Setelah itu dia duduk di tempat si Hana tadi duduk.

"Akbar kok belum turun?"

"Masih tidur. Dia enggak ada kelas pagi hari ini," jawabnya.

Mentang-mentang ada di jurusan yang sama jadi infonya hanya dibagi berdua. Setidaknya kabari di obrolan grup supaya aku tidak cemas. Sekarang kan aku jadi iri karena si Malik seperti tahu semua tentang apa yang terjadi pada Akbar.

"Oh." Aku menahan bibir semampuku untuk tidak bertanya penasaran, tapi usahaku sia-sia. "Akbar enggak kenapa-kenapa, kan?"

Si Malik menatapku curiga. "Enggak. Emang kenapa?"

"Ya enggak. Tumben aja, dia belom turun, mana sekarang baliknya malem terus."

"Dia kan lagi observasi buat penelitiannya dia nanti, Sti. Jadi wajarlah."

Tuhkan. Kesal, si Malik lebih banyak tahunya tentang rencana-rencana Akbar.

Aku kapan? Kapan Akbar mengabariku tentang rencana-rencananya dia? Padahal, setiap hari Akbar adalah rencanaku. Tapi kayaknnya aku bukan rencana dalam hidupnya ya? Enggak, belum, bukan 'bukan'.

"Dih. Kenapa lu kesel gitu mukanya?"

"Suka-suka gue dong. Kayak lu presiden aja yang perlu gue senyumin. Senyumin lu mah kagak ada untungnya."

"Ya ampun mulutnya. Gue jejelin nugget rebus pingsan lu!"

Aku refleks menutup mulut. Itu ide yang buruk.

***

Sebagai orang paling akhir yang pergi keluar— kecuali Akbar, tadi kuintip ke atas dia masih belum menunjukkan batang hidungnya, tidak keluar sama sekali, kutebak dia masih tidur—pintu kosan kututup begitu juga dengan pagarnya yang hanya setinggi pinggul.

Melihat percis ke seberang, Bu Kos tidak menampakkan batang hidungnya sama sekali. Tetapi sangkar burung yang sudah tidak ada burungnya itu masih tergantung di beranda rumah, mobil milik si bewok juga bertengger di sana. Nenek-nenek itu baik-baik saja kan? Jarang sekali dia tidak menampakkan wajahnya dua hari ini ke warga kosan. Di obrolan grup juga tidak ada kabar.

"Kamu ... Asti ya?" tanya seseorang sembari mengendarai motor.

Cukup mengejutkan. Si Rian membawa motornya kembali, iya, motor yang sempat membuat Om Diyat mengganti pintu Yang Kusayang karena kebodohannya membawa motor meski belum jago. Kalau melihat dari gerak-geriknya sekarang sih dia tidak terlalu kesusahan.

Cukup meyakinkan.

"Bukan. Ariana," jawabku jutek.

"Boleh aku ramal Ariana?"

Dih. Alay.

"Kamu pasti mau ke Yang Kusayang ya?"

"Ya menurut lu aja? Lu andalusia apa gimana sih?"

"Amnesia kali," jawabnya jutek.

Lagi pula tidak usah terlalu serius kalau ngomong sama si Rian, soalnya dia anaknya tidak bisa serius. Lagi, manusia macam apa yang membawa motor tapi malah membiarkanku jalan dan mengikuti pelan. Minimal beri tumpangan, toh kita satu tujuan.

Dasar cowok tidak peka.

Si Rian menahan langkahku. "Buru naek! Gue mau jadi cowok kayak di film-film lu dukung dikit kenapa si."

"Yeu telat! Giliran dah deket baru nawarin," ketusku tapi aku tetap naik karena sebetulnya masih jauh. Ini baru satu belokan saja, tetapi aku tetap kesal. "Lagian di film-film tuh cowoknya romantis, gak ada modelan kayak lu."

"Jadi lu mau gue romantis?"

Dih. Gajelas. "Gak cocok sama muka lu. Muka lu kayak ondel-ondel, lawak."

"Muka lu juga kagak kayak Ariana."

Dih. Parah. "Kok lu jadi ngata-ngatain muka gue. Turun nih gue."

"Iya-iya," sahutnya kesal.

Di belakang kulihat wajah si Rian cemberut lewat spion. Dilihat-lihat lagi tidak ada sih ondel-ondel modelan seperti dia, tapi wajahnya memang lawak. Ini kalau ondel-ondel ketemu sama si Rian, pasti ondel-ondelnya ketawa. Bukan karena wajahnya bergenre komedi, tapi lucu saja.

Maksudku, lucu. Ya, lucu saja. Tidak ada yang salah dari lucu, kan?

Saat sudah dekat dengan Yang Kusayang, si Rian tiba-tiba menghentikan laju motornya. "Kenapa? Jangan bilang rem blong, terus kita bakalan nabrak."

"Rem blong mana ada berhenti gini." Dia masih dengan nadanya yang ketus. Memangnya mana ku tahu kalau rem blong tidak bisa saat berhenti, dasar cowok emosian.

Si Rian menengok ke belakang yang membuat wajah kami berdekatan, aku refleks mundur perlahan sembari memberikan lirikan bingung. Sebentar, ini si Rian tidak akan melakukan aksi cabul kepadaku kan?

Bukannya berhenti, si Rian malah semakin mendekatkan wajahnya. Aku memejam, semoga ini kejadian seindah apa yang sering kali digambarkan dengan indah seperti di film-film. Akbar, maafkan aku. Napas cowok itu semakin terasa dekat, tapi melewati pipi dan berakhir di telinga.

"Pinjam dulu seratus," bisiknya.

Kubuka mata. "Dasar tolol!" protesku sembari memukulnya sampai dia belingsatan menahan setiap pukulan yang dilayangkan.

Sial, di spion pipiku merah.

"Sumpah, Sti. Gue lupa gak bawa duit."

"Bakal apaan?!" tanyaku masih penuh emosi.

"Ngelongok Bu Kos-lah. Gue kan belom ngelongok."

"Maksud lu? Bu Kos sakit?"

"Lah, lu belum ngelongok?"

Pantesan.

"Sakit apa?"

"Sakitnya tuh di sini." Menunjuk bagian yang kupukul tadi.

"Sekali lagi lu ngomong, gue bikin lu yang sakit ye!"

Duh. Bu Kos sakit kenapa ya? Kok enggak bilang-bilang.

••••
Bersambung >>>
••••

Mau bilang makasih karena  bertahan sejauh ini. Lop u.

Lanjutannya gimana ya? Ya ada di next chapterlah!!

KOSAN CERIAWhere stories live. Discover now