❀ 10 - Hal-Hal yang Patut Xenna Syukuri

Bắt đầu từ đầu
                                    

Xenna betul-betul tak percaya dengan apa yang didengarnya. Seluruh tindakan Janu padanya hari ini memang sungguh di luar dugaan.

Entah apa yang sebenarnya ada dalam pikiran laki-laki itu. Apakah semuanya Janu lakukan atas dasar rasa kepedulian, atau hanya sebatas bentuk tanggung jawab karena Wira pernah berpesan untuk menitipkan Xenna padanya? Dua hal itulah yang paling masuk akal bagi Xenna. Namun, mau yang mana pun alasannya, tak bisa dipungkiri bahwa sesuatu di balik dada Xenna kembali berdentum tak beraturan. Lalu mengingat Janu yang sempat memeluknya tadi ... oh, ya ampun. Seketika panas menjalari wajah sementara perutnya serara tergelitik.

"Saya pulang dulu," Janu kembali bersuara untuk pamit. "Kalau kamu nggak akan ke mana-mana lagi, kunci pintunya sampai papa kamu pulang."

Xenna mengangguk perlahan. Tatapnya lekat pada laki-laki yang menjulang di hadapannya itu. "Makasih banyak, Mas," tuturnya dengan tulus. "Umm ... maaf juga karena bajunya Mas Janu jadi basah kena air mata sama ingus aku." Sesungguhnya Xenna cukup malu mengatakan itu.

Janu mengangkat sedikit satu sudut bibirnya. "Nggak papa. Ini jadi bukti nyata betapa cengengnya kamu."

Kontan saja kedua mata Xenna melebar lantaran sebal. Dengkusan pun ia loloskan. "Aah, tuh kan, ujung-ujungnya Mas Janu ngatain aku cengeng lagi!"

"Atas nama siapa, Kak?"

"Xenna ya, Mbak. Pake X, terus double N."

"Ah ... iya baik, Kak."

Radian yang berdiri di samping Xenna kontan mengernyit mendengar itu. "Siapa sih yang ngasih nama lo, Xen? Ribet banget, anying," komentarnya. Saat ini mereka tengah berada di kafe paling terdekat dengan kampus. Sebetulnya Radian berniat untuk mengerjakan skripsi di kosnya saja, sebelum Xenna tiba-tiba menghubunginya dan mengajak keluar. Gadis itu bilang, mood-nya terhadap skripsi kembali kacau, dan mungkin akan kembali membaik jika ia bertemu serta mengobrol dengan kawan seperjuangannya.

"Ya ortu guelah, menurut lo siapa lagi?" sahut Xenna dengan raut heran sembari ia mengeluarkan sejumlah uang dari dalam dompet. Di hari ini kebetulan ia pun berkeinginan untuk mentraiktir Radian. "Babeh gue obses banget namain anak-anaknya dengan abjad berurutan, lanjutan dari inisial namanya sendiri dan nama mak gue. Sialnya gue si anak terakhir kebagian huruf X. Tapi beruntungnya mereka nemu aja lagi nama buat gue."

Usai membayar, mereka pun lekas mencari meja kosong dan menunggu sampai pesanan selesai dibuat. Tempat ternyaman bagi keduanya berhasil ditemukan di pojok yang persis bersebelahan dengan kaca. Xenna memilih kursi yang membelakangi kaca tersebut sementara Radian di seberangnya.

"Kreatif juga bapak lo," kata Radian, masih melanjutkan percakapan sebelumnya. "Di kartu keluarga lo keren dong jadinya, berurutan sesuai abjad."

Xenna mendengkus pelan. Senyumnya terbentuk kecut. "Sekarang udah nggak keren lagi, Yan. Emak minggat, abang pertama udah nikah, terus nanti bakal pecah KK lagi karena abang kedua juga baru nikah."

Mendadak Radian pun menyesal sudah berkata demikian. Sejujurnya ia baru dekat dengan Xenna dimulai sejak menginjak semester delapan ini sehingga ia belum tahu banyak soal latar belakang gadis itu. "Oh ... maaf, gue nggak tau," balas Radian dengan hati-hati. Dan untuk sedikit mengusir canggung, ia mulai mengeluarkan laptop serta beberapa buku yang dijadikannya sebagai sumber rujukan.

"Santuy aja sama gue mah," Xenna menyahut, dan ia memang terdengar begitu santai. "Eh, btw skripsi lo udah nyampe mana sih, Yan?"

"Udah nyampe Bali dia."

"Ha, lucu lo."

"Ketawa dong kalau lucu."

"Males," Xenna menyahut ketus. "Gue nanya serius, Yan, dijawab dulu sabi kali."

Memories in the Making [END]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ