15. Put to The Front

Comenzar desde el principio
                                    

Mata kami beradu lagi, tetapi kini lebih dalam. Aku seolah bisa merasakan tatapan hangatnya. Dari tatapan itu, sepertinya Gavi ingin memberitahuku bahwa dia tidak masalah dengan semua luka dan tragedi yang dialaminya demi aku.  Saat itulah, aku merasa Tuhan memang menakdirkanku untuk bertemu dengan pria baik ini.

•••

Perawat bilang, aku dan Gavi sudah diperbolehkan pulang. Namun dengan catatan, Gavi harus datang kembali ke rumah sakit untuk mengecek lengan kirinya. Lantas, dengan murah hatinya, Gavi mau menanggung biaya perawatanku meskipun aku berjanji akan mengembalikan semuanya.

Aku berjalan menuju tempat Gavi mengambil obatnya. He looks like a mess even though he's trying to be okay. Walaupun lengannya terluka, Gavi tetap mengenakan kemejanya. Kendati demikian, dia tidak mengancingi kemeja itu hingga aku bisa melihat otot perutnya. I know, it's insane.

Gavi tengah duduk sambil memejamkan matanya saat aku datang. "Gav, ini kartu sama dompet kamu. Makasih, ya. Aku janji bakal ganti biayanya."

Pria itu menatapku lamat-lamat sebelum akhirnya bangkit. "Aku udah pesen taksi. Nanti mobilku biar diambilin sama temenku."

Aku mengangguk sambil memegang tangannya. "Aku bantu, ya."

Kami berjalan dengan pelan karena tidak ingin lengan Gavi tertabrak atau bersenggolan dengan orang lain. Kalau boleh jujur, aku sangat mengkhawatirkannya, tapi Gavi justru terkesan santai. Bukan seperti orang sakit kebanyakan.

Tiba di lobby depan rumah sakit, Gavi mendadak menghentikan langkahnya. Saat aku mengikuti arah tatapannya, aku terkejut melihat ayah dan ibu Gavi tengah berdiri dan menatap kami tajam. Ini benar-benar suatu kebetulan.

Kemudian Gavi kembali berjalan menemui orang tuanya. Aku pun turut mengikuti. Dari tatapan mantan ibu mertuaku saja sudah membuatku merinding. Kami layaknya pasangan yang ketahuan melakukan kesalahan besar.

"Kalian ngapain di sini?" Ibu Gavi melihat perban ditubuh sang putra. "Itu kenapa, Gav? Kamu luka?"

"Bukan apa-apa, Ma. Cuma jatuh," balas Gavi tak minat.

Reaksi wanita paruh baya itu tidak mengenakkan. Matanya langsung melirikku dan memandang tak suka saat aku menyentuh putranya. Sontak, aku segera melepaskan tangan Gavi.

"Bohong, kan?! Jujur sama Mama, kamu pasti diapa-apain cewek ini sampe diperban gitu. Ada apa sih sebenernya, Gav?!" Ibu Gavi sangat jengkel.

"Aku bilang, bukan apa-apa," Gavi berdesis.

Amarah ibu satu anak itu langsung meluap. Dia memukuli Gavi yang notabene lukanya masih baru. Aku panik saat dia memukuli pria itu sambil terus memarahinya.

Bergerak cepat, aku menghalangi tubuh Gavi agar tidak lagi kesakitan. "Jangan, Tante. Gavi masih sakit."

Matanya melotot tajam dan bersiap menjambak rambutku. Menyadari itu, Gavi dengan sigap membawaku ke belakang tubuhnya. "Ma, mending kita bicara di rumah."

Lalu tanpa menunggu jawaban sang ibu, Gavi menarik tanganku menaiki taksi yang sudah menunggu kami. Oh, I'll bear the consequences.

•••

Sejak dari rumah sakit tadi aku tidak sadar akan tatapan dingin mantan ayah mertuaku. Gavi bilang, ayah dan ibunya hendak melakukan check up medis kesehatan sang ayah yang kini sakit-sakitan sampai memerlukan tongkat untuk berjalan.

Hubungan kedua orang tua Gavi denganku memang sangatlah buruk. Itulah alasan terkuat mengapa aku dahulu memilih mundur. Mungkin mereka juga tidak ingin memiliki menantu yang asal usulnya tidak jelas. Apalagi aku bukan dari kalangan pejabat atau orang penting.

Aku dan Gavi tiba di rumah megah kediaman Basyir Hamzah Danadyaksa. Kami diarahkan untuk menghadap kedua orang tua Gavi di ruang tengah. Begitu sampai di sana, ayah dan ibu Gavi terlihat tenang tanpa emosi.

"Sekarang Mama sama Papa mau denger alasan kamu masih berhubungan sama cewek ini, Gav. Tanpa rahasia," titah sang ibu.

Dari suaranya, membuat aku tidak bisa berkutik. Yang aku lakukan adalah sibuk berdoa agar Gavi tidak membocorkan rahasia yang kami simpan rapat-rapat.

"Aku pasti bilang ke Mama Papa diwaktu yang tepat. Mama harusnya sabar."

"Apa susahnya cerita, Gav? Apa kamu diancem sama cewek itu supaya Mama nggak tau? Berani banget—"

"Citra, stop," ayah Gavi menginterupsi. Sewaktu aku meliriknya ternyata dia sudah menatapku tajam serta menusuk. "Saya nggak tau apa yang kamu lakukan sampai anak saya jadi pembangkang seperti ini. Sebelumnya, saya dan keluarga saya nggak pernah mengusik kamu lagi. Bahkan, kami sudah memberikan uang sebagai pesangon waktu kalian pisah. Jika uang itu habis, jangan sungkan minta pada saya. Jujur, saya nggak suka kamu dekati anak saya lagi. Kamu buat Gavi nggak terkendali seperti ini."

Aku terhenyak. Selama ini bukan uang yang aku cari. Sekalipun, aku tidak mengharapkan apapun dari Gavi. Lagipula, kenapa ayahnya menganggap seakan apapun bisa dibeli dengan uang. Bum tidak bisa digantikan dengan uang bahkan jika mereka memintaku menyerahkan Bum nantinya.

"Papa! Shiren nggak pernah minta uang. Dia cuma minta aku bantuin—"

Aku meraih tangan Gavi lalu menggeleng. "Jangan, Gav. Jangan sekarang."

Namun Gavi tak acuh, dia menyipitkan matanya lalu menggenggam tanganku lebih erat yang justru membuat ibunya menahan napas. "Aku dan Shiren udah punya anak."

Gavi menyuarakan rahasia kami dengan begitu lantang. "Laki-laki, namanya Bumi. Sayangnya, dia hilang nggak tau kemana. Shiren sengaja nggak bilang, soalnya dia takut Papa sama Mama mau bunuh anak kami."

Mataku terpejam erat dengan diiringi isak tangis. Habis sudah, rahasiaku terbongkar. Sekarang akan lebih sulit untukku melindungi Bumi. Sementara Gavi masih memandangku lekat tanpa menghiraukan orang tuanya. Dia mengeratkan pegangan tangan kami.

"A-anak? Kamu sama dia—"

"Iya, Ma." Gavi benar-benar tidak memedulikanku yang terus-menerus memintanya berhenti. "Aku sama Shiren lagi nyari anak kami. Dia ilang."

Wanita itu jatuh terduduk dengan napas yang terengah-engah. Sepertinya dia syok mendengar apa yang baru saja putranya katakan. Jika orang tua kebanyakan akan senang apabila mereka akan mendapat cucu, maka orang tua Gavi berbeda. Agaknya tidak ada jaminan jika mantan ibu mertuaku akan menyayangi Bumi.

"Gav, kamu yakin?" Ayah Gavi kembali bersuara meskipun terdengar berat. "Bisa aja itu bukan anak kamu. Cewek ini mungkin cuma ngaku-ngaku buat dapet perhatian kamu lagi."

"Pa!" Gavi berteriak keras sekali. Sampai-sampai wajahnya memerah. "Aku nggak terima Papa ngatain anak aku kayak gitu! Papa sama Mama percaya atau enggak, aku nggak peduli. Bum tetep anak aku, sampe kapanpun."

"Buktinya mana?! Kamu udah tes DNA?!" Kedua pria berbeda usia itu saling berbalas teriak.

"Bumi itu anak aku." Pria yang masih menggenggam tanganku itu berdesis. "Aku ayahnya, Pa! Dan aku nggak mau anakku ngerasain apa yang aku rasain. Aku nggak bakal mau jadi ayah yang kayak Papa!"

The Lost EarthDonde viven las historias. Descúbrelo ahora