Melihatnya begitu marah, hatiku rasanya seperti ditusuk benda tajam. "Namanya Bumindra. Dia udah empat tahun. Badannya agak gemuk tapi dia tinggi," jelasku tanpa diminta. "Bum mirip ayahnya."

Kulihat Gavi membuang muka, terlihat frustasi.

"Beberapa hari yang lalu, aku sama Bum pergi liat pasar malem, tapi pas pulang kami kecelakaan." Aku berkali-kali berusaha mengendalikan emosiku, meskipun nyatanya gagal. "Aku pingsan, terus dibawa ke rumah sakit. Pas sadar, tiba-tiba orang-orang bilang aku kecelakaan sendirian. Bum nggak ada, dia ngilang."

Terpaksa, aku menyatukan tanganku seakan memohon padanya. "Tolong, bantu cari Bum. Aku nggak bisa nunggu polisi, Gav. Aku nggak bisa jauh dari Bum lama-lama. Kalo dia ketemu, aku janji nggak akan ganggu kamu lagi. Kamu nggak perlu ngerasa terbebani, aku nggak akan minta uang. Please, Gav."

"Ganggu aku?" Gavi terkekeh lirih, tampak sekali beribu kecewa yang muncul dihatinya.

Pria itu mengepalkan tangannya erat. Dia tampak menahan amarahnya lalu mengembuskan napasnya dengan kasar. Aku kembali berseru, "Cariin Bumi buat aku. I beg you, Gav."

•••

Setelah hampir satu jam menjelaskan kronologi hilangnya Bum, aku dan Gavi sepakat mendatangi kantor polisi untuk mencari tahu perkembangan kasus hilangnya Bum.

Satu hal yang aku syukuri, Gavi tampaknya bersedia membantu. Walaupun butuh waktu panjang untuknya menenangkan diri, Gavi akhirnya bersedia menemaniku.

"Berhubung pencarian kami juga masih belum ada hasil, saya mau tanya-tanya sedikit, ya, Mbak. Sebelumnya, apa lokasi TKP dekat sama rumah saudaranya Mbak?" tanya salah satu polisi.

Aku menggeleng. "Nggak, Pak. Saya nggak ada kerabat di sini."

Lantas, polisi itu melirik pada Gavi. Aku yang mengerti maksudnya kemudian menjelaskan. "Dia ayahnya Bum."

Gavi masih diam. Entah karena kesal atau masih marah terhadapku, sepanjang perjalanan menuju kantor polisi, dia juga tetap bungkam. Gavi memang belum mengatakan secara gamblang apakah dia menyetujui atau menolak permintaanku untuk membantu mencari Bum. Namun, kehadirannya disini sudah cukup membuktikan kalau dia setuju.

"Begini, Mbak. Dilihat dari keterangan saksi dan pemeriksaan CCTV di sekitar TKP, kami menyimpulkan ada kemungkinan putra Mbak diculik."

Aku terperangah. Sejak menghilang, aku memang sudah memikirkan skenario terburuk yang menimpa Bum. Nyatanya ada kemungkinan Bum menghilang karena diculik seseorang. Pertanyaannya, siapa penculik itu? Pikiran-pikiran buruk seketika menyergap otakku. Aku takut Bum disakiti atau bahkan dijual keluar negeri oleh si penculik itu.

"Mengingat anak Mbak kan masih 4 tahun, nggak mungkin dia pergi sendiri sementara ibunya sedang nggak sadarkan diri. Seperti yang Mbak bilang, tidak ada saudara untuk dimintai bantuan."

"Mohon segera ditemukan, ya, Pak. Saya takut Bum kenapa-napa. Dia nggak bisa hidup tanpa saya," tuturku sendu.

Awalnya aku berharap Gavi bisa memberikan saran atau bantuan pada polisi, akan tetapi dia diam saja seperti enggan melakukan apapun. Kalau begini, aku merasa memberitahunya adalah keputusan yang salah.

"Kami usahakan, Mbak."

Setelah semua informasi kami dapatkan, Gavi langsung beranjak keluar dari kantor polisi. Aku hanya melihatnya keluar, tidak berniat menghentikannya.

"Tolong kabari saya terus, ya, Pak."

"Pasti, Mbak."

Segera aku menemui Gavi di luar kantor polisi. Dia berada di samping mobilnya dengan raut wajah yang... aku tidak bisa menggambarkannya, tapi yang jelas dia terlihat putus asa. Lebih baik aku tidak mengusiknya dulu. Toh, mungkin saja dia masih denial dengan kenyataan yang baru kukatakan.

"Makasih udah ke sini, kamu boleh pulang kok," kataku saat telah mendekatinya.

"Naik." Tak menunggu persetujuanku, dia langsung memasuki mobil hitamnya.

Aku sempat terdiam sebelum akhirnya menuruti keinginannya. Sebaiknya aku tak membantah Gavi saat suasana hatinya sedang tidak bagus.

•••

"Bangun, Ren."

Tubuh bagian sampingku seperti diguncangkan. Lama kelamaan mataku terbuka dengan susah payah. Ternyata aku tertidur dalam perjalanan pulang. Beruntungnya sebelum terlelap, aku sudah membeberkan detail lokasi kontrakanku berada pada Gavi. Aku meringis malu, lancang sekali tidur di mobilnya.

"Maaf," cicitku. "Makasih udah dianterin."

Sebelum benar-benar turun dari mobilnya, Gavi mencekal tanganku secara mendadak. Dari raut wajahnya, pria itu terlihat bimbang. Aku paham dia ingin menyampaikan sesuatu padaku.

"Kenapa?" tanyaku.

"Haus." Gavi menatap wajahku lekat. "Aku mau minum."

Kuhela napas lemah. Kami akhirnya masuk ke dalam kontrakanku yang sudah sepi itu. Gavi memperhatikan setiap bagian rumahku yang sudah agak lapuk. Mungkin dia tidak pernah memasuki rumah tua seperti milikku ini.

"Duduk dulu, Gav."

Mantan suamiku mengangguk kemudian duduk di salah satu kursi. Dia mendapati guling kecil bergambar kartun Shaun The Sheep yang sudah kotor milik Bum.

"Itu punya Bum," jelasku. "Maaf kalo agak berantakan, belakangan ini aku jarang beres-beres."

Gavi hanya bergumam. Tampaknya dia tak tertarik dengan informasi yang baru kusampaikan. Akhirnya aku memilih mengalihkan pembicaraan, "Bentar, aku ambilin minum."

"Ren," sebutnya tiba-tiba. "Aku mau liat foto... Bum."

Wajahku berubah heran, tapi kemudian mengerti apa maksudnya. Gavi ingin melihat rupa tampan putra yang selama ini aku sembunyikan. Kuakui aku memang egois, waktu itu aku terlalu takut orang tua Gavi menghalangi Bum lahir. Keputusanku itu memang tidak sepenuhnya baik, terutama bagi Gavi.

"Mmh, oke." Aku beranjak memasuki kamar dan mengambil sebuah foto kolase dari Bum baru lahir hingga ulang tahunnya yang keempat beberapa bulan yang lalu.

Kuserahkan bingkai itu untuk Gavi amati. Perlahan, jarinya menelusuri foto-foto putra kami yang selalu kusebut BumBum. Bumi memang semenggemaskan itu. Pipinya tembem dan bibirnya selalu maju kedepan.

"Yang kanan atas, waktu dia baru lahir. Terus yang paling bawah waktu dia ulang tahun keempat," jelasku.

Gavi berdecak lalu mengusap wajahnya kesal. Sementara aku menenggak saliva kuat-kuat. Bergegaslah aku mengambilkan air putih untuknya. Kupikir supaya Gavi bisa menjernihkan pikiran.

Namun saat aku kembali, pria itu sudah menghilang entah kemana. Dia juga membawa bingkai foto Bum pergi. Sebesar itukah kekecewaan dalam dirinya?

Berkali-kali aku menghela napas kasar. Selanjutnya, terserah pada Gavi saja. Entah dia berniat membantuku atau tidak, aku pasrahkan padanya.

The Lost EarthМесто, где живут истории. Откройте их для себя