Prolog SCdHP
Hari belum lagi menunjukkan pukul delapan ketika lantai lobi perpustakaan kota dipenuhi suara hak sepatu beradu dengan lantai. Untung saja belum banyak yang datang pada pagi hari itu, terutama setelah si pemilik sepatu tersebut berjalan menuju koridor tempat kantornya berada. Bila itu disebut kantor, maka Yasinta Aurahana memiliki ruangan paling luas yang pernah dimiliki oleh pekerja mana saja.
Kantornya adalah ruang baca umum di perpustakaan kota. Ada sebuah bilik kecil dan dia biasanya berada di sana selama beberapa waktu untuk mempersiapkan diri sebelum akhirnya duduk di loket peminjaman, pendaftaran, serta pengembalian barang. Tapi, karena jam buka perpustakaan masih beberapa waktu lagi, dia memanfaatkan waktu-waktu tersebut untuk mempersiapkan penampilan serta sarapannya pagi itu.
Sarapan di kantor adalah kebiasaannya. Menunya paling nasi uduk dan bakwan goreng. Tapi, buat Yasinta, hal tersebut seperti langkah awal masuk surga, karena kenikmatannya melebihi apa pun yang pernah dia rasakan. Yang kedua, memasang make up. Dia tidak pernah sempat melakukannya di rumah, apalagi, akhir-akhir ini …
"Eh, tumben pengantin baru udah nongki di sini?"
Yasinta mengangkat kepala ketika tangannya baru melepas karet pembungkus nasi. Rambut sebahunya bergoyang dan dia melemparkan senyum masam kepada lawan bicaranya yang kini menguap dan tanpa rasa malu mencomot salah satu bakwan yang ada di plastik.
"Pasti beli. Terus, laki lo dikasih sarapan apa?"
Yasinta mengerling ke arah manusia tidak tahu malu di hadapannya yang masih mengunuyah bakwan. Jika dia buka mulut, pun percuma. Lawan bicaranya itu sudah tahu dengan jelas apa yang telah terjadi.
"Lo kepo atau kepo? Muka lo nggak usah sok polos gitu, Mbak." Yasinta mendelik. Dia berbalik ke arah laci yang berada di lemari kayu jati tepat di belakangnya. Ada simpanan sendok dan peralatan makan yang dia simpan, termasuk dua buah mug dan sebuah tumbler Mixue berukuran hampir satu liter dengan sedotan berwarna senada. Yasinta membelinya dengan harga 80 ribu ketika gerai es krim tersebut sedang viral.
"Kepo sama mau tahu aja. Tumben banget, kemarin kawin, hari ini milih ngantor. Gue mikirnya, kerbul lo bakal lecet."
"Kerbul. Kerbul. Gigi lo kerbul, Mbak Okta Omes."
Kerbul alias kerang bulu alias alat kelamin perempuan. Entah kenapa Okta memberikan julukan tersebut dan sewaktu Yasinta protes, Okta mengatakan kalau istilah tersebut sudah sangat terkenal di jagat maya. Hanya rekan kerjanya itu yang ketinggalan zaman.
"Omes apaan? Cuma nanya."
"Kalau orang dengar lo ngomong begitu, bisa langsung viral, tahu. PNS sekarang nggak boleh ngomong sembarangan. Dikit-dikit direkam terus dihujat nggak pantas jadi pegawai negeri. Jutaan orang ngarep banget dapat posisi lo dan lo ngomong kotor."
"Ya kali gue dewa." Okta merepet, "Netizen repot amat ngurusin hidup gue. Kalau kepengen jadi PNS yang ikut aja tes, bukannya kalau nggak lulus malah julid ngatain nyogok, lah, uang haram, lah. Bah, emang otak mereka aja nggak sampai."
Yasinta menoleh ke arah kiri dan kanan. Tatapannya kemudian terarah pada Okta dan dia tampak sangat ngeri. Meski begitu, dia bersyukur, cuma ada mereka berdua di dalam bilik kecil tersebut.
"Mulut lo, Mbak. Gue ngeri." Yasinta memperingatkan, sementara Okta sendiri hanya menaikkan bahu dan menikmati bakwan hasil rampasannya pagi itu.
"Lah, gue ngomong jujur. Emangnya salah gue ngomong jujur? Kalau gue maling, kalau gue korupsi, kalau gue minggat, sebulan ke Maldives nggak masuk kerja, baru dah, hujat gue. Lo nggak usah pusing mikirin netizen, mentang-mentang followers naik gara-gara kawin."