12. SEBUAH SANDIWARA

Bắt đầu từ đầu
                                    

Dengan langkah anggun yang sudah dilatih, Bellova memasang senyum. Ia keluar dari balik pintu dengan handphone yang masih menyala, berpura-pura sibuk.

"Halo Tante, selamat malam," sapa Bellova, sebagai rasa hormat dan sebagai pribadi yang berbeda, Bellova menundukkan sedikit badannya. "Saya temannya Davian."

Huh, kenapa aku harus mengaku sebagai temannya? Aku benci teman.

"Selamat malam juga, saya Ibunya Davian. Kalau begitu, silahkan masuk, maaf kami tidak ada persiapan untuk menyambut. Anak bujang ini tidak memberitahu apa-apa pada Ibunya." Karina berjalan terlebih dahulu diikuti Davian dan Bellova yang sedang bersandiwara.

Kode-kode lewat ketukan langkah kaki, dan wajah terus keduanya lakukan sebagai komunikasi, saat Karina pergi ke dapur untuk mengambil minum, Bellova membuka suara.

"Ternyata Ibu kamu itu awet muda, apa Ayahmu juga ada di rumah?"

"Tidak, Ayahku sedang bekerja di luar negeri. Tidak jauh dari New York dan kampusku dulu," jawab Davian.

"Semoga saja kita berhasil, aku tidak mau jika harus kembali menjalankan rencana bersamamu, semuanya sangat mendadak tanpa perencanaan yang jelas."

Davian tersenyum merasa bersalah, rencana ini dipikirkan kemarin malam, dan baru diberitahukan saat jam makan siang tadi. Itu 'pun menyempatkan di tengah jadwal praktik yang padat.

"Memangnya bagaimana bawelnya Ibumu saat membicarakan dia? Menurut apa yang aku lihat, padahal dia tidak merepotkan saat di rumah sakit, hanya terlihat seperti suster baru yang amatiran," tanya Bellova.

"Kamu tidak tahu, selama seminggu ini telingaku panas. Setiap sarapan dan makan malam aku dipaksa menjawab pertanyaannya, itu merepotkan."

"Jika bukan karena kepedulian, aku tidak mau membantumu. Kamu terlalu lebay!"

"Berisik, kita bisa terdengar jika kamu terlalu keras." Davian menggunakan jari telunjuknya untuk mengisyaratkan jangan terlalu berisik.

Beberapa menit menunggu, pandangan Bellova tak pernah lepas dari sebuah lukisan besar dengan tiga orang manusia yang terlukiskan secara detail. Ada remaja laki-laki , dan pasangan suami istri, namun wajah remaja laki-laki tersebut tidak terlalu asing baginya, karena sudah dipastikan dia adalah Davian.

"Maaf terlambat, sepertinya kalian saling diam karena canggung, ya? Obrolan kalian sepertinya sangat seru jika berada di luar rumah." Di ujung ruang tamu, Karina muncul dengan nampan berisi piring dan beberapa gelas minuman berwarna.

"Ah, tidak juga, Tan. Tadi kami sempat mengobrol, namun kehabisan topik pembicaraan. Tante bisa ikut bergabung jika mau." Bellova menerima gelas dari Karina.

"Terima kasih banyak, tapi jika tidak keberatan, bolehkah Tante bertanya soal studi kamu di New York?"

Perasaan Bellova menegang, sekarang ia harus mengucapkan apa yang Davian ajarkan siang tadi. "Tentu boleh, aku senang jika mengobrol dengan orang baru."

Sebenarnya aku tidak suka orang baru, terutama jika mereka bersikap kepo.

"Kamu mengambil jurusan apa? Apa kalian berasal dari jurusan yang sama?"

"Di New York dia mengambil jurusan tata boga, Bu. Dia sekarang mempunyai restoran di sana, aku dulu sering berkunjung ke restorannya saat masih kuliah, Ibu tahu? Menu-menu yang dihidangkan sangat enak walaupun harganya menguras dompet." Bukan Bellova yang menjawab, melainkan Davian. Pria itu dengan teganya sudah berbohong, bersandiwara agar membuat Ibunya terkesan.

Sedangkan Bellova, ia berusaha kembali mengingat dialog yang harus diucapkannya saat pertanyaan yang sudah diprediksi muncul. Davian tahu betul apa saja yang akan diucapkan oleh Ibunya, sampai dengan niat, dia membuat script yang harus dihapalkan.

"Ohh, apa kamu akan membuka cabang di Indonesia juga?" tanyanya.

"Rencananya saya akan membuka cabang di Indonesia juga, Tan. Tapi karena perbedaan mata uang, sepertinya itu hanya angan-angan, juga bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat menu makanannya juga harus diimpor, dan saya khawatir jika ada ketidakjujuran."

Davian terkesan saat melihat gaya bicara Bellova yang berubah drastis, dari gaya berbicara kekanak-kanakan, kini gadis itu layaknya wanita yang sudah sukses di masa muda.

"Jika berlibur ke New York nanti, Tante akan mampir ke restoranmu. Oh iya, sebelumnya Tante minta maaf, dari apa yang Tante lihat sepertinya kamu orang Indonesia, ya? Wajah kamu seperti bukan turis," tanya Karina lagi.

"Saya memang bukan asli orang New York, Tan. Saya sebenarnya lahir di Indonesia, namun karena Ayah saya harus tinggal di New York, jadi saya juga ikut bersama Ibu."

Karina membulatkan mulutnya, "Tante lupa kita belum berkenalan, nama kamu siapa?"

"Nama saya Bellova."

"Be-Bellova?"

"Iya, Tan."

Davian yang sedari tadi memperhatikan arah pembicaraan, mengangguk membenarkan apa yang dikatakan Bellova, ternyata latihan dadakan selama tiga jam efektif.

"Nama lengkap kamu, apakah ada nama khas orang luar negerinya?"

"Ah, tidak, Tan. Nama saya sama seperti orang Indonesia lainnya, Bellova Aurelya."

"Senang bertemu dengan kamu, saya Karina, panggil saja Tante, seperti tadi."

"Baik, Tan."

Pertemuan antara Bellova dan Karina untuk pertama kalinya, adalah sebuah rencana penuh sandiwara. Berhasil atau tidaknya rencana Davian, semuanya bergantung pada usaha, sandiwara ini bertujuan agar Ibunya tidak lagi menyebut Amara dalam setiap obrolan. Walau awalnya Karina terlibat kaku, namun dengan pembawaan yang Bellova miliki. Ibunya terlihat tertarik.

Hingga akhirnya karena keseruan obrolan tersebut, waktu yang semakin larut terlupakan. Untungnya karena sebuah telepon dari rumah sakit, obrolan itu berakhir. Bellova yang pamit pulang dengan diantar Davian, dan Karina yang katanya akan melakukan skincare rutin.

Setelah mengantar Bellova kembali ke rumah sakit, Davian memasuki rumahnya dengan perasaan senang. Semoga saja rencana ini berhasil, sebagai bahan pertimbangan obrolan yang berlangsung lama, antara dua wanita yang sudah direncanakan Davian. Jika saja berhasil, maka Davian akan sangat berterima kasih pada pasiennya yang agar berbeda itu.

"Sudah antar Bellova?"

"Sudah, Bu. Ibu kenapa belum tidur?" Davian menutup kembali pintu rumahnya.

Dengan masker wajah yang menempel di wajahnya, Karina terlihat seperti menunggu kepulangan anaknya. "Kapan Bellova akan pulang?"

"A-aku tidak tahu, Bu. Memangnya kenapa?"

"Ibu hanya bertanya, sudah berapa lama kamu kenal dengan dia?"

"Sekitar delapan tahun, aku sering mampir ke rumahnya. Memangnya kenapa, Bu?"

Davian menatap curiga Ibunya, kenapa hanya pertanyaan yang dilontarkan saat Bellova sudah pulang?

"Tidak ada, Ibu hanya bertanya." Karina melegos pergi, ia menaiki tangga menuju kamarnya.

" Karina melegos pergi, ia menaiki tangga menuju kamarnya

Rất tiếc! Hình ảnh này không tuân theo hướng dẫn nội dung. Để tiếp tục đăng tải, vui lòng xóa hoặc tải lên một hình ảnh khác.
Evanescent [TERBIT]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ