07. Letting Go and Forgetting the past

116 16 0
                                        

Semua yang ada pada dirimu, begitu sempurna. Senyummu, tawamu, dan langkah kakimu.

Derap langkah itu yang selalu ku tunggu, berharap setiap hari kau berlari kearahku, sembari ku panjatkan do'a agar langkah itu tak pernah pergi menjauh.

Setiap hari, aku berharap dunia tidak akan sejahat ini menjauhkan semestaku.

Tuhan, bolehkah aku mengeluh? Apakah ini balasan ku dalam penantian? Aku memang pernah mengatakan "Aku membencinya, aku kecewa padanya." Tapi bukan ini yang ku inginkan, aku hanya ingin dia menyesal.

Sekarang justru aku yang menyesal, melepas Betelguese yang kini kehilangan cahayanya.

Asa menutup lembar buku catatannya, ia pikir sudah cukup untuk keluh kesah hari ini yang ingin ia rangkum dalam selembar kertas dalam buku harian. Ia memejamkan matanya sejenak, menidurkan kepalanya pada meja belajar.

Benar kata orang, masa lalu itu sulit untuk di hapus dari ingatan manusia, sekalipun itu bukan kesalahannya.

Pemuda itu mulai membuka matanya kembali, mengembuskan napasnya perlahan. Ia mulai beranjak dari tempatnya, berjalan kearah lemari pakaian untuk mengambil baju hangat. Malam ini akan Ia habiskan untuk sekedar berjalan kaki menikmati langit malam yang sunyi dan memenangkan.

"Asa, mau kemana malem-malem begini?"

Itu Juanda, teman sekamar Asa. Kebetulan Asa tinggal di asrama sekolah, sebab keluarganya memang asli penduduk Jepang, ia hanya merantau ke negeri orang untuk menimba ilmu.

"Diluar dingin, hujan juga. Besok kita tampil di pensi kenaikan kelas, kalo lo sakit siapa yang nyanyi?"

"Lo lah, gue males."

"Bisa gak sih lo gak egois sekali aja, Sa. Ini kesempatan besar, kapan lagi band kita ngisi acara di pensi sekolah bareng sama artis-artis lokal."

"Ya terus? Siapa peduli?"

Juanda mengacak rambutnya frustasi setelah mendengar balasan dari Asa. Menghadapi Asa itu sama seperti menghadapi robot hidup, terlalu cuek, kaku dan tidak ekspresif. Selama 1 tahun berteman dengan Asa, Juanda belum pernah sekalipun melihat wajah Asa berseri-seri karena bahagia tentang sesuatu.

"Terserah lo deh, Sa."

Tanpa ingin mendengar apapun lagi dari Juanda, Asa dengan entengnya menutup kasar daun pintu kamar asrama hingga menimbulkan suara debuman cukup keras. Jujur, mood nya sedang tidak baik hari ini.

Sampai diluar asrama, ternyata benar kata Juanda tadi, hujan gerimis tengah melanda kota malam ini. Suasana cukup sunyi, hanya terdengar cipratan air dari langkah kakinya sendiri. Untung saja Asa tadi mengenakan jaket yang memiliki penutup kepala.

Ia berjalan pelan tanpa tau arah tujuan, sejak 5 menit tadi Ia hanya berjalan lurus mengikuti jalanan sepi, sampai akhirnya menemukan sebuah Cafe yang masih buka di ujung jalan.

Tepat disaat Asa masuk kedalam Cafe bernuansa hangat itu, netranya langsung tertuju kearah dekat kaca, letaknya dipaling ujung ruangan. Terdapat seorang gadis dengan rambut dikuncir kuda, dengan poni menjuntai indah diwajahnya.

Gadis itu pasti Hana, Asa mengingat betul nama itu dalam ingatannya. Asa perlahan mendekat, lalu duduk dengan santai tanpa permisi.

Hana yang sejak tadi hanya berdiam diri menatap keluar kaca pun menoleh penasaran, orang mana yang akan duduk disebelahnya tanpa ada adab sedikitpun?

"Gue numpang duduk ya?"

"Setidaknya permisi bisa kan?"

"Yakan cu―"

"Gue tau lo pinter di sekolah, Sa. Tapi inget ya, sopan santun lebih bernilai dari pada pinter tanpa adab, paham?" ketus Hana.

"Lo juga gada adab negurnya," lirih Asa dengan sangat pelan, hingga tak terdengar di telinga Hana.

"Mau apa kesini?" tanya Hana.

"Iseng aja sih."

"Oh iya, gimana keadaan Kakak lo?" tanya Asa sekedar basa-basi.

"Kakak gue? Kak Juna maksudnya? Lo tau darimana Kakak gue sakit?"

Asa mengernyitkan dahinya, ia termasuk orang yang sedikit risih jika dibombardir pertanyaan sekaligus tanpa jeda.

"Lo lupa ya, Han? Gue kan temen nya Rehan."

"O-owh? Rehan yang ngasih tau lo? Dia cerita apa aja soal Kak Juna?"

"Gak banyak sih, awalnya dia cuma ngasih tau Juanda, terus tiba-tiba gue dateng dari kantin akhirnya gue ikut nimbrung obrolan mereka aja," tutur Asa.

Tanpa permisi, Asa reflek mengambil gelas berisi jus strawbery milk yang barusan Hana pesan, sedangkan Hana hanya melirik Asa dengan tatapan kesal.

"Ada ya orang baru kenalan seminggu udah minum minuman punya orang tanpa izin," sindir Hana kesal.

"Eh? Sorry, reflek aja sih, hehe."

"Oh iya, back to topic. Omong-omong Rehan juga cerita katanya hubungan lo sama Jaeden lagi ga baik ya?" Asa akhirnya memberanikan diri untuk menanyakan hal sensitif itu pada Hana, dipaksa oleh rasa penasarannya semata. Kalau soal peduli? Tidak mungkin. Tidak ada sejarahnya seorang Asa Reynand peduli pada orang yang baru dikenal.

"Hal kayak gitu gak perlu lo tanyain kan? Lo bukan keluarga gue," ketus Hana dengan wajah sinis.

Asa tersenyum tipis sembari menopang dagu, menatap wajah kesal Hana yang nampak tak suka dengan obrolan ini.

"Maaf kalo lo gak suka sama pertanyaan gue. Tapi, coba deh lo tenangin pikiran dulu, gak mungkin Jaeden sejahat itu buat nyelakain Kakaknya sendiri. Rehan udah cerita semuanya."

Bola mata Hana terlihat tak fokus ke satu arah, ia seperti berusaha menghindari kontak mata dengan Asa. Namun, Asa sadar dengan netra Hana yang mulai berembun.

"Gue paham lo khawatir sama Kak Juna, tapi coba pikirin gimana perasaan Jaeden ketika sodara-sodaranya mojokin dia semua dengan opini yang gak bener."

"Bahkan gue tau, Zion juga setengahnya marah sama Jaeden."

Mendengar penuturan Asa, Hana tiba-tiba saja menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, kepalanya menunduk dalam hingga terdengar suara isakan pelan.

Asa merangkul pundak Hana, mengusapnya lembut seperti menghantarkan ketenangan pada Hana.

"Sebenernya... Gue gak marah sama Kak Jaeden, Sa. Tapi gue marah pas tau ternyata Kak Je udah tau juga soal penyakit Kak Juna dari awal. Cuma gue yang gak tau! Gue capek dianggep anak kecil terus sama mereka sampe mereka selalu nyembunyiin hal besar dari gue. Gue sayang banget sama Kak Juna, gue salah karna gak pernah care sama dia."

Dengan sabar Asa mendengarkan semua keluh kesah Hana, agar gadis itu mau mencurahkan semua yang menjadi beban pikiran nya saat ini.

"Gue pengen tau orang-orang brengsek mana yang dengan kurang ajarnya ngerusak masa depan Kakak gue," lirih Hana walaupun sedikit terdengar suara gemeletuk dari gigi Hana, yang menandakan bahwa Hana saat ini benar-benar diatas puncak emosi.

Sedangkan Asa, tiba-tiba mematung kaku. Wajahnya kini berubah pucat pasi.

"Um, Han? Udah jam 10 malem. Lo gak mau pulang? Gak baik anak perempuan pulang larut malem," ucap Asa setelah berdiam diri beberapa detik.

"Nanti aja, gue males liat muka Kak Ji. Sia-sia juga ngomong sama Kak Ji, dia itu manusia paling egois yang pernah ada. Gue agak kecewa sama dia."

Asa mengangguk pelan, berusaha memahami perasaan Hana.

"Tapi, cafe mau tutup loh. Kalo lo gak mau pulang, ikut gue aja ke asrama. Lo bisa numpang tidur di asrama putri, bareng Ahya."

Dengan cepat Hana mengangguk lalu menghapus jejak air mata di pipinya.

Tepat di jam 10 malam, mereka berjalan menyusuri jalanan gelap dimalam hari, sebab akses menuju asrama sekolah hanya bisa dilewati oleh pejalan kaki, kendaraan roda dua maupun roda empat tidak akan bisa masuk ke wilayah asrama.




TO BE CONTINUE

ℒℴѵℯ❤
©tifah_ryn
(Bab ini berhasil di selesaikan dengan 1236 kata)

KALANTARAWo Geschichten leben. Entdecke jetzt