Taksi yang ditumpangi Sarah berhenti di salah satu rumah sakit terbaik di Surabaya, setelah membayar ongkos taksi dia segera menuju resepsionis untuk bertanya di mana ruangan eyangnya.

"Mbak, pasien atas nama Hartini Pakubuono dirawat di ruang apa ya?"

Suster tersebut mengecek di komputer. "Pasien atas nama Hartini Pakubuono di rawat di ruang ICU sebelah sana, Mbak." Tunjuk suset tersebut ke arah kanan.

"Terima kasih, Mbak."

Dengan langkah agak cepat dia menuju ke ruang ICU, tapi mulai langkahnya memelan kala melihat keluarganya ada di depan ruang ICU.

Inikah saatnya untuk mereka bertemu kembali?

"Sarah..." Itu suara mamanya.

Mendengar Anita memanggil nama Sarah, sontak membuat Wira, Maya dan suaminya menoleh.

Canggung. Itulah yang dia rasakan saat ini.

Dia tidak boleh lemah. Dia tidak boleh terpengaruh oleh masa lalu.

Anita berdiri, dikuti oleh Wira.

"Sarah," Wanita itu berjalan mendekati putri keduanya. "ini beneran kamu?"

Sarah masih diam.

Mata Anita mulai berkaca-kaca. "Mama kang-"

"Bagaimana keadaan Eyang?" potongnya.

Anita terdiam, tapi sedetik kemudian ekspresinya berubah sedih. "Eyang masih di dalam, dokter baru aja memeriksanya."

"Sarah, Tante kangen banget sama kamu. Kamu apa kabar?" sela Maya.

"Aku baik, Tante."

"Kamu dari Jakarta langsung ke sini?"

"Iya, Tante. Aku langsung pesen tiket pesawat setelah tau kabar tentang Eyang."

Sarah melirik ke arah papanya yang masih berdiri di tempatnya sambil metap ke arahnya.

"Yang lain belum ada ke sini?" yang Sarah maksud adalah om dan tantenya yang lain.

"Om Anton masih dalam perjalanan dari sumatera, kalau Tante Lina masih di Jepang, bakal pulang besok." Jawab Maya.

Suara langkah kaki tiba-tiba menggema di lorong yang kosong ini. Kepala Sarah menoleh ke belakang untuk melihat si pemilik kaki itu. Matanya seketika melebar saat melihat siapa yang ada di ujung lorong.

Sheila? Tidak.

Sonya atau Satria? Tidak.

Si pemilik kaki itu adalah Sena. Iya Antasena, mantan suaminya.

Laki-laki itu terpaku di tempatnya, matanya melebar, mereka sama-sama terkejut. Kini mereka hanya berjarak dua meter.

Mata Sena masih terfokus menatap Sarah, sudah lama mereka tidak bertemu, banyak sekali yang berubah dari diri gadis itu. Oh tentu saja, Sarah kini sudah menjadi seorang aktris dan selebgram yang tengah naik daun.

Merasa tidak nyaman dengan tatapan Sena, Sarah lebih dulu memutuskan tatapan mereka berdua.

"Aku mau lihat eyang." Dia berjalan ke depan kaca besar yang memperlihatkan keadaan eyangnya di dalam sana.

"Wir, Nit, Sen. Aku pulang dulu ya, besok aku ke sini lagi." Kata Maya.

"Iya, Mbak."

"Sarah, Tente pulang dulu ya. Kamu Tante anter sekalian?" tawar Maya.

Sarah menggeleng. "Aku masih mau di sini."

Maya mengangguk paham. "Kalau gitu Tante pulang dulu ya." Maya dan suaminya akhirnya pergi.

"Pa, Ma, ini aku bawain kalian roti sama minuman."

Pa, Ma?

Sena memanggil kedua orang tuanya dengan sebutan Mama dan Papa?

"Iya, makasih, Sen." Jawab mamanya.

"Sarah, kamu mau makan? Ini Sena bawa roti." Tawar mamanya.

"Enggak, makasih." Jawabnya tanpa melihat mamanya.

Jam menunjukkan pukul sembilan malam, sejak tiba tiga jam yang lalu Sarah belum mengkonsumsi apa pun. Lapar? Tentu saja, tapi dia masih enggan untuk meninggalkan tempat itu.

"Sarah," Dia menoleh saat mamanya memanggil. "lebih baik kamu pulang dulu, kamu kelihatan kayak capek banget."

Benarkah? Apa terlihat sangat jelas?

"Iya, Ma. Sebenarnya tadi siang aku ada pemotretan, tapi aku langsung pulang setelah dengar kabar tentang Eyang."

"Kalau gitu kamu pulang aja dulu, istirahat, besok baru ke sini lagi."

"Iya Ma."

"Kamu pulang ke rumah, kan?" tanya Anita sedikit hati-hati.

"Maaf, Ma. Aku gak pulang ke rumah. Aku tidur di hotel."

Raut sedih terlihat sangat jelas di wajah Anita. "Kenapa?"

"Mama tau betul apa yang membuat aku gak mau pulang." Ucapnya sambil melirik dua orang pria beda usia yang duduk di seberangnya. Melihat itu Anita hanya diam.

Sarah berdiri. "Kalau gitu aku balik ke hotel dulu, Ma."

"Tunggu. Biar Sena antar kamu kembali ke hotel."

Sarah menatap mamanya tak suka. "Gak usah, aku naik taksi aja."

"Mama gak tega biarin kamu balik sendiri ke hotel. Jadi Mama mohon, biar Sena yang antar kamu pulang, ya..."

Melihat wajah mamanya yang memelas membuat Sarah tak tega. "Ya udah."

Melihat itu Anita tersenyum. "Sena, tolong antar Sarah ke hotel ya."

"Iya Ma." Jawab Sena. Kemudian dia beranjak dari duduknya. "Pa, Ma. Aku pulang dulu ya." Pamitnya pada Wira dan Anita.

"Iya, hati-hati ya, Sen."

"Iya Ma."

Sarah dan Sena berjalan beriringan menuju parkiran, mereka masuk ke dalam mobil milik Sena.

"Kamu nginep di mana?" tanya Sena.

"Hotel Cendrawasih." Jawab Sarah.

Di dalam mobil, suasana sangat hening, tidak ada yang membuka percakapan antara mereka berdua. Sarah menoleh ke luar jendela. Ternyata selama empat tahun dia pergi, banyak yang berubah dari kota ini.

"Udah sampai."

Ah, dia tidak sadar jika mereka sudah sampai di hotel.

"Makasih." Tanpa menatap Sena, dia keluar dari mobil.

Baru saja dia melangkah menaiki tangga menuju lobby, mobil Sena sudah pergi. Dia tersenyum miris, ternyata laki-laki itu tidak pernah berubah, masih tetap dingin seperti dulu.

Entah kenapa tiba-tiba air matanya mengalir setetes demi setetes. Ternyata ada hal yang lebih menyakitkan dari pada sikap dingin Sena, yaitu hatinya. Hatinya masih tetap saja sakit melihat perlakuan Sena padanya.

Tangannya terangkat untuk menghapus air matanya. "Tegakkan kepala dan badanmu, Sar, jangan pernah tunjukkan kelemahanmu. Kamu bukan Sarah yang dulu. Sekarang kamu adalah seorang selebriti ternama, jadi jangan pernah tundukkan kepalamu!" ucapnya menyemangati diri sendiri.


Wih, akhirnya Sarah ketemu lagi sama Mas mantan 😁



27 Juni 2023

Runtuh : Luka dan Cinta (Terbit)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ