Mampus, batinnya. Puas sekali Nika kala mendengar rintihan tetangganya.

"Lo tuh psikopat, ya?! Suka banget aniaya gue!" Reza masih saja mengomel bahkan saat mereka sudah sampai pada atas bukit. "Untung kepala gue buatan Tuhan, kalau buatan manusia udah pecah nih!" imbuhnya mendramatisir.

"Ya otak lo sengklek tuh! Udah dibilangin suruh ganti juga!"

"Dikira otak gue ban serep?! Main ganti-ganti aja." Reza mencabut rumput secara asal dan melemparnya ke arah Nika, hitung-hitung balas dendam pada tempo lalu.

"Cari mati lo?!" Nika tidak tahu apa yang lucu darinya sehingga membuat Reza terpingkal, padahal ia sudah berusaha menampilkan ekspresi marah dengan mata melotot serta kedua tangan yang berkacak pinggang. "Enggak lucu, ya, brengsek!"

Reza meredakan tawanya beberapa menit kemudian. Matanya menyapu pada bukit-bukit besar di sekitarnya. Keempatnya ditumbuhi rumput segar lantaran embun basah yang turut hinggap di sana. Mereka duduk di atas bukit yang paling kecil di antara bukit yang menjulang tinggi.

Bukit yang sedang mereka sambangi bukan sebuah objek wisata, hanya sekedar tempat untuk para anak muda dan orang tua melepas penat dan bercengkrama bersama teman ataupun kerabat. Bukit ini memang selalu ramai, mungkin karena bisa diakses semaunya tanpa membayar tiket untuk menikmati keindahannya. Entah mengapa pemerintah pusat tidak menjadikan bukit ini sebagai tempat wisata padahal akan banyak meraup keuntungan besar dan berguna untuk memicu pertumbuhan ekonomi.

Tepat di samping keduanya, ada sisa arang dan kayu bakar yang tergeletak. Mungkin baru selesai digunakan untuk membuat makanan oleh orang yang berkemah di malam hari. Sementara di bawah bukit yang mereka injak, terdapat bunga portulaca atau lebih dikenal bunga krokot—warna putih dan merah, entah siapa yang menanamnya, tapi bukit ini kelihatan hidup walaupun hanya itu satu-satunya bunga yang ditanam.

"Gue lagi berantem sama Rindi."

Pada keterdiaman yang lumayan lama, Reza kembali bersuara hanya untuk membuat Nika kembali melotot.

"Oh?! Jadi Lo ngajak gue bolos karena lagi galauin si Randu itu?! Terus urusannya sama gue apa?"

"Nama dia Rindi." Reza berdecak kesal. Apakah dia harus selalu mengoreksi setiap tetangganya itu menyelewengkan nama kekasihnya?

"Rindi marah gara-gara gue nggak beliin dia sepatu keluaran terbaru—" Belum sempat Reza menyelesaikan perkataannya, Nika sudah menyerobot.

"REZA?!" Nika menangkup pipinya kemudian meremasnya dengan gemas, membuat sang empu meringis. "Sejak kapan lo galau cuma gara-gara perempuan?! Udah tobat lo?"

"Terus lo sadar nggak kalau si Randu itu matre, hah?!" Gadis bersurai hitam panjang dengan bandana biru itu berdecak kagum. "Wah, wah! Lo udah mulai goblok karena cewek, Za! Kagak nyangka gue."

Reza menghela napas jengah. Ia melepaskan dua tangan Nika dari pipinya. Mendengar kalimat tanya beruntun, membuatnya tambah pening. Memang sebuah kesalahan besar dia mengajak gadis bawel seperti Nika untuk bolos dengannya, tapi mau bagaimana lagi. Dia hanya punya Nika sebagai teman—walau gadis itu selalu menganggapnya musuh, tapi setidaknya gadis itu apa adanya—tidak munafik seperti teman cowok yang berada di sekitarnya.

"Jangan judge orang sembarangan, Nik." Reza menunduk dalam memainkan rumput di bawahnya. "Lo tahu sendiri kalau kita dijudge sembarangan rasanya nggak enak, 'kan? Rindi itu enggak seburuk yang lo pikirkan. Kali ini gue bener-bener sayang sama cewek yang gue pacarin. Kayaknya bener kata lo. Gue harus cepet-cepet tobat biar enggak kena karma."

Reza mendongak, menatap Nika sembari tersenyum tipis. "Eh buset kok gue jadi kayak orang galau beneran, ya?" Ia terkekeh diakhir kalimat.

Sementara Nika terdiam. Semua orang pasti tahu tabiat Reza yang suka gonta-ganti pasangan, sampai-sampai gelar playboy sudah orang-orang sematkan pada nama belakangnya. Entah apa alasan Reza melakukannya, tapi Nika yakin ada alasan dibalik itu semua. Namun sepertinya Reza belum cukup percaya dengannya untuk menceritakan apa yang mengganjal di hati cowok itu.

Different RouteWhere stories live. Discover now