Pada akhir kalimat Senna berdecak bersamaan dengan Aru yang juga tergelak. "Dia nggak sebodoh itu kali."
"Tapi lo pernah denger nggak kalau ada peneliti yang bilang jatuh cinta itu bikin seseorang jadi bodoh?" Aru melampar pandangan pada Senna yang terlihat ogah-ogahan. "Waktu meneliti otak yang sedang jatuh cinta menggunakan Magnetic Resonance Imaging, bagian yang bernama korteks frontal enggak aktif atau diistirahatkan oleh otak saat orang tersebut diberi foto atau gambar orang yang mereka cintai."
Jeda. Aru menyisir poninya menggunakan telunjuk. Siapa saja mungkin berkeinginan menjotos wajah lelaki itu yang kini tengah menampilkan raut jumawa, seolah mengklaim diri sebagai ahli dibidang neuron.
"Konteks frontal di otak itu berfungsi membuat keputusan atau menilai suatu hal. Jika bagian otak tersebut enggak aktif, seseorang akan sulit menilai hal tertentu, termasuk aksi yang dia lakukan saat jatuh cinta." Kini Aru sudah berada di samping Senna. Lelaki itu bahkan menepuk punggung temannya secara dramatis.
"Maka dari itu, Sennaku ... sulit bagi beberapa orang untuk melihat sifat minus atau kekurangan dari pujaan hatinya. Ya ... enggak heran kalau yang jomlo suka dicari buat ditanyain solusi. Otak mereka masih berfungsi dengan baik dan lebih dominan berpikir pakai logika daripada hati."
Saat Senna hendak membuka suara, Aru buru-buru menyerobot.
"Gue udah lihat sampel dari penelitian itu pada diri Mores. Tapi kok lo kelihatan waras, ya, Sen? Maksud gue lo nggak kayak cewek kebanyakan yang suka nempel ke pasangannya macem ulet keket. Gue juga nggak pernah lihat lo marah waktu kak Mores didempet cewek lain."
Senna tergugu. Kalimat Aru seperti akan merujuk pada sebuah pertanyaan yang paling dia hindari. Terlebih ketika cowok itu menatap intens dengan kerutan di dahi.
"Sen? Jangan bilang lo udah bosen sama Mores? Oh atau emang dari awal lo nggak pernah suka sama Mores?"
"Jujur sama gue. Lo cinta sama dia nggak sih sebenernya?" tambah Aru, hanya untuk membuat Senna gelapagan.
Pertanyaan itu bagai panah yang menghunus dada. Semakin banyak pertanyaan itu ditanyakan, semakin banyak pula panah yang mengoyak dadanya. Seperti mendesak untuk segera diperlihatkan kebenaran yang selama ini ia simpan rapat-rapat.
"ARU WIBU!!! ITU SAMPAH KENAPA MASIH MANGKRAK DI DEPAN PINTU! Piket yang bener dong!" Sampai pada saat Karina—ketua kelas cerewet datang bersama omelan khasnya, Senna menghela napas. Setidaknya hari ini dia bebas dari pertanyaan yang tak kunjung ia temukan jawabannya.
"Heh gue bukan wibu! Panggil gue Oppa!"
"Idih lagak lo kayak Suneo!"
***
Nika tak pernah menyangka apabila pagi harinya yang cerah akan menjadi kelabu hanya karena spesies macam Reza.
Pagi-pagi buta laki-laki playboy itu datang ke rumahnya. Meminta izin pada ibu dan ayahnya untuk membawa putrinya berangkat sekolah lebih awal. Jelas orang tuanya langsung mengizinkan maksud baik dari Reza tanpa melihat background cowok itu yang terkenal sebagai siswa tukang bolos.
Tadinya Nika percaya saja saat motor sport milik Reza yang menuju pada gerbang sekolah. Namun nyatanya cowok itu malah membelokkan stang dan melipir ke sebuah bukit yang dekat dari sekolah mereka. Yang membuatnya ingin sekali menenggelamkan kepala Reza ke rawa-rawa adalah ketika cowok itu dengan sengaja menyapa satpam sekolah dengan cengiran lebar.
"Pak Karno! Saya izin membolos, ya, Pak, hari ini. By the way, Nika yang ngajakin saya bolos, Pak." Dan saat mendengar namanya turut dikambinghitamkan, Nika tanpa pikir panjang langsung menempeleng kepala Reza menggunakan ransel pink yang sudah ia jejal dengan berbagai buku paket tebal.
YOU ARE READING
Different Route
Teen FictionBukankah sebuah hubungan harus melibatkan dua jiwa? Yang saling mencinta, memberi perlindungan, memberi kasih sayang, membuat pasangan merasakan "rumah" untuk menetap dengan rasa nyaman. Hubungan Moreszho dengan Senna itu berat sebelah. Perasaan say...
DFR | 07
Start from the beginning
