4. (TIDAK) PEKA

110 17 4
                                    

FORGET ME NOT | 4. (TIDAK) PEKA

*****

Akhirnya sekian proses sebelum dan sesudah pemakaman, keluarga besar pun berkumpul di ruang tengah sambil menyantap makanan dengan khidmat. Sebab terlalu larut dalam duka, sampai-sampai mereka semua lupa kapan terakhir kali menyantap makanan.

Selesai makan bersama, Ayra dan Destin sigap berberes piring-gelas yang ada lalu dibawa ke dapur untuk dibasuh.

Di tengah aktivitas keduanya, Delvin menyusul ke dapur. Delvin menghampiri mereka dan menepuk pelan pundak Destin yang berdiri di samping Ayra sambil membilas piring gelas yang berbusa.

Destin menoleh dengan isyarat kedua alis terangkat seolah berkata, 'ada apa?'

"Aisyah nangis terus cariin kakak," adu Delvin disambut helaan napas panjang Destin. "Biar Delvin yang lanjutkan bilas piringnya, Kak."

Destin lalu mengangguk, segera membilas tangannya dengan air mengalir. Kemudian meninggalkan Delvin dan Ayra tanpa sepatah kata pun.

Suasana saat ini benar-benar berbeda seratus delapan puluh derajat dibandingkan dengan beberapa saat sebelumnya. Sebab para pelayat yang bukan termasuk keluarga telah berpamitan pulang begitu para pengantar jenazah kembali ke rumah duka.

"Tinggal aja, Ay. Biar Abang yang selesaikan semuanya," ujar Delvin begitu tiba-tiba membuat Ayra menoleh kaget. Melihat kondisi Delvin yang sama lelahnya dengan Destin, tidak mungkin Ayra mengiyakan perintah Delvin barusan.

"Enggak, Bang. Abang aja yang istirahat. Dari semalam Abang gak ada istirahat," balas Ayra sok tau sembari memperhatikan penampakan wajah Delvin yang sangat terlihat tidak baik-baik saja. Padahal, Ayra tidak tau bagaimana Delvin semalam tadi, sebab tidurnya yang terlalu nyenyak.

Delvin tidak menjawab. Membuat Ayra sedikit merasa tidak enak hati, takut ada salah kata. Keduanya pun fokus pada aktivitas mereka tanpa ada perbincangan lagi sampai semua piring dan gelas selesai dibasuh.

"Ayra naik apa ke sini?" tanya Delvin lagi sambil meletakkan piring terakhir yang mereka cuci.

"Hhh?" Meski Ayra kurang responsif, Delvin tetap menunggunya dengan sabar. "Oh, anu... " Ayra merasa dirinya saat ini benar-benar bodoh. Padahal itu hanyalah pertanyaan random yang tidak perlu mengasah otak untuk menjawabnya. "Naik Ge-Car, Bang."

Delvin mengangguk paham. "Nanti kalau mau pulang bilang aja, biar Abang yang antar pake mobil Bang Dennis."

"Oh! Nda usah, Bang," tolak Ayra refleks. "Maksudnya nda usah repot-repot. Bisa aja kok pesan Ge-Car lagi. Abang istirahat aja." Ayra menambahkan agar Delvin tidak salah pengertian.

Delvin yang selesai membasuh tangannya menoleh pada Ayra yang masih berdiri di sampingnya. "Ayra kok peduli banget sama Abang?"

Memang dasar otak lelet! Lagi-lagi Ayra mendadak bergeming dengan wajah melongo. Ia betul-betul heran dengan tingkah Delvin saat ini. Walaupun seumur hidup mereka baru ini bertemu, Ayra tidak menyangka bahwa sepupunya yang satu ini bisa se-random itu. Entah tingkah maupun perkataannya.

Ayra mengerjapkan kelopak matanya sesaat dan akhirnya menjawab, "Yaa.... kalau dilihat dari muka Abang, kelihatannya lagi capek banget." Lagi sedih banget—lebih tepatnya yang ingin Ayra katakan, namun hanya berakhir di dalam hati.

Lagi, Delvin hanya mengangguk-angguk menanggapi jawaban Ayra. Sebelum dirinya kembali ke ruangan depan, ia menyempatkan diri berkata, "Tapi serius, kalau mau pulang biar Abang aja yang antarkan," ulangnya sekali lagi sembari berjalan melewati Ayra tanpa menunggu jawabannya.

*****

Melihat satu persatu keluarga besar saling berpamitan, Paramitha pun menyenggol bahu Ayra yang kembali duduk di sampingnya. "Kita pulang juga, yuk," bisiknya sangat pelan agar tidak terdengar yang lainnya.

"Raihan mana, Ma?" balas Ayra sambil celingak-celinguk mencari keberadaan adiknya.

"Udah balik deluan. Tadi dijemput temannya sekalian mau pergi kemana gitu."

"Gak mandi?!" Heran Ayra.

"Sstt.... " bisik Paramitha lagi karena spontanitas Ayra yang menarik perhatian sesaat keluarganya. Setelah semuanya kembali pada aktivitas semula, barulah ia melanjutkan perkatannya. "Mampir ke rumah dulu katanya."

"Ohhh.... Kirain."

"Makanya jangan suudzon jadi orang," ujar Paramitha yang nyaris tersenyum melihat tingkah Ayra yang refleks tersenyum masam.

Selang setelahnya, Ayra dan Mamanya memutuskan untuk ikut berpamitan pulang. Ketika langkah mereka hendak mendekati ambang pintu, tiba-tiba  seseorang memanggil nama Ayra. Membuat semua fokus tertuju pada mereka.

Delvin. Dialah yang menahan kepergian Ayra dan Mamanya. Sebelum langkahnya mendatangi Ayra, ia menyempatkan diri menghampiri Dennis. "Bang, boleh pinjem mobil? Delvin mau pergi sebentar sekalian antar Tante Mitha sama Ayra."

"Oh, boleh." Dennis langsung merogoh saku celananya dan memberikan kunci mobil pada Delvin.

"Makasih, Bang," kata Delvin yang dijawab Dennis dengan anggukan. Kemudian, ia segera menghampiri Ayra dan Mamanya.

"Tante, biar Delvin yang antar pulang sekalian."

****

"Nanti malam ada ngadain tahlilan, Vin?" tanya Paramitha sebagai pembuka obrolan.

Delvin yang sedang mengemudi menoleh sekilas kepada Paramitha yang duduk di sisinya. "Kayaknya enggak Tante. Kesian Mama masih kecapean."

"Mudahan kalian sekeluarga dikuatkan ya. Sambil ditemanin Mamanya, ya, Nak," balas Paramitha sembari mengelus lembut pundak Delvin. "Insyaallah Delvin yang paling kuat."

"Makasih banyak, Tante."

Ayra yang terlihat sangat asing di dalam mobil ini berusaha acuh dengan obrolan kedua orang dewasa di depannya ini.

"Mungkin lusa baru ngadain tahlilan tiga hariannya Bapak, Tan. Kalau Tante gak sibuk, nanti biar Delvin yang jemputin," ucap Delvin lagi.

"Insyaallah Tante datang, Nak. Gak usah repot-repot, Vin, nanti Tante datang sama Ayra aja."

Ayra refleks melirik Mamanya dengan ekspresi tak terima. Bisa-bisanya memutuskan tanpa bertanya terlebih dahulu pada dirinya yang sedang sibuk bekerja ini.

*****

"Delvin masyaallah banget ya, Ay," ujar Paramitha yang menyenggol bahu anaknya.

Mereka berdua telah sampai di rumah sejak beberapa puluh menit yang lalu. Kini keduanya duduk berdampingan di sofa dengan aktivitasnya masing-masing. Paramitha sibuk mencatat resep yang tertera pada layar televisi, sementara Ayra sedang khusyuk mengaplikasikan masker diwajahnya.

Ayra tertawa meremehkan. "Masyaallah apanya? Si paling muka datar begitu."

"Heh, kamu ini," tegur Paramitha yang refleks memukul pelan lengan anaknya. "Gak boleh gitu. Taunya nanti malah jadi jodohmu kan gak lucu kalau kamu ngolokin dia."

Ayra mengaduh pelan. Sedikit menggeser tubuhnya menjauh dari Paramitha. "Mama gak usah aneh-aneh lah imajinasinya." Ayra lalu menaruh wadah racikan maskernya di atas meja agar bisa memfokuskan diri pada pembahasan. "Lagian, Ayra sama dia kan sepupu. Ya, kali...." lanjutnya yang memilih bangkit dari sofa.

"Ya, kali, apa?" ulang Paramitha karena perkataan Ayra yang menggantung.

"Ya, kali.... Mana mungkin bisa berjodoh," balas Ayra acuh tak acuh sembari berjalan menjauh dari ruang keluarga.

"Memang, ya, mulutnya anak satu ini harus di bilas pake air mengalir sampai tujuh kali. Biar gak seenaknya kalau ngomong," kesal Paramitha karena ditinggal seorang diri di depan televisi.

Namun, berselang detik setelahnya, Paramitha malah mengeluarkan jurus ibu-ibunya. "AYRAAAA!!! WADAH MASKERNYA DIBAWA JUGA DONG ATAU DIBILASKAN SEKALIAN!!!! JANGAN MAIN TINGGAL AJA!!!"

"Ya Allah, Gusti, Gusti. Mudahan mertuamu sabarnya seluas angkasa, Nak." Paramitha bergeleng keheranan sambil mengelus pelan dadanya.

*****

FORGET ME NOTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang