1. Salah Sangka

18 6 1
                                    

Gesekan aspal dengan ban yang dihentikan secara paksa mengakibatkan suara decitan yang cukup keras di sebuah jalanan yang lengang. Seseorang di balik kemudi memgembuskan napas lega. Hampir saja ia akan menabarak seseorang yang tiba-tiba muncul di depan mobilnya.

Dengan perasaan kesal ia bergegas keluar dari Rubicon kesayangannya.

“Kamu mau mati, ha?!” tanya pria itu sambil melepas kacamata hitam yang sejak tadi membingkai wajah rupawannya.

Setelah melepas kacamata hitam itu, sang pria tampak sedikit terkejut. Akan tetapi, ia berhasil menyembunyikan rasa terkejutnya itu di balik tampangnya yang masih menampakkan raut wajah tanpa eksresi.

Ah, perempuan ini, tuturnya dalam hati.

Ya, pria ini mengenali siapa yang berada di hadapannya. Perempuan yang dijadikan teman-temannya sebagai bahan taruhan.

Alarick bisa mengetahui hanya dengan melihat sorot mata perempuan itu.

“Saya hanya menyelamatkan kucing itu,” kata si perempuan bercadar sambil menunjuk pada bawah mobil milik Alarick.

Mata Alarick menajam. Batinnya bersuara kembali. Hanya karena kucing? Really? Dia bahkan bisa tertabrak, jika saja aku tidak segera mengerem.

Alarick mengamati perempuan bercadar itu yang kini sedang berusaha meraih kucing yang berada di dekat ban mobilnya. Tidak susah, karena Rubicon memiliki bodi yang tinggi. Buktinya sekarang kucing itu sudah ada di gendongan perempuan itu.

“Kamu gapapa, kan, Pus?” monolog wanita itu pada si kucing.

Sementara Alarick mendadak menegang di tempatnya. Dia teringat seseorang setelah melihat apa yang dilakukan wanita bercadar itu. Rahangnya menguat.

“A-Ara ...,” lirihnya.

“Ya?” sahut si perempuan dengan spontan sambil menoleh pada Alarick sekilas.

Sementara itu, ia tidak mengetahui jika pria yang sedang ditatap itu sedang menahan gemetar yang sudah lama tak menyerang tubuhnya.

“A-ra!! Kamu Ara? Ara adikku kan?” Alarick menderaikan tawa yang sarat akan kegetiran.

“Maaf, Tuan, mungkin Anda salah orang. Nama saya memang Ara—emm ... lebih tepatnya adalah Tamara. Namun, saya bukan adik Tu—”

Belum genap Tamara berucap, Alarick lebih dulu memotongnya. Ah, bukan. Lebih tepatnya adalah Alarick yang tiba-tiba melakukan tindakan impulsif dengan memeluk Tamara.

“Astagfirullah!” pekik Tamara.

“Tamara. Kamu Tamara adiknya Mas. Kamu jangan mencoba berbohong sama Mas. Mas tau kamu marah, Sayang. Maafin Mas, ya. Mas janji tidak akan meninggalkan kamu. Jangan pergi lagi,” racau Alarick dengan cepat.

Tamara yang berada di pelukan lelaki asing merasa marah. Ia memberontak sekuat tenaga. Namun, apa daya, tenaga Alarick jauh lebih besar dubanding dirinya.

“Tuan, maaf, sepertinya Anda salah orang. Saya bukan adik Anda,” kata Tamara sambil masih tetap membebaskan diri.

“Kamu adikku, Tamara! Jangan memberontak seperti ini. Mas tau, Mas salah. Maafkan Mas.”

Sekarang gantian Tamara yang gelagapan. Ia semakin panik karena melihat orang asing yang menganggap dia adalah adiknya ini tiba-tiba menangis tersedu di pundaknya.

Aduh, bagaimana ini? batin Tamara.

Tamara memutar otak. Ia harus segera melepaskan diri dari pelukan pria asing ini. Dan mungkin satu-satunya cara adalah dengan pura-pura mengaku kalau dirinya adalah adik pria itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 11, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

(B)utuh BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang