Prolog

26 4 1
                                        

                                                                                  Hope you like this


                                                                                              ***


Loh, aku di mana?

Mataku mengerjap. Silau cahaya membuatku kesulitan untuk membuka mata. Kabur, pandanganku hanya dipenuhi bintik-bintik bulat; pudar, pudar, semakin pudar. Sudah pukul berapa? Aku sedang berada di zaman apa sekarang? Renaissance? Mesopotamia? Inca? Hwang ho? 

Sial! Kepalaku seperti ditusuk oleh ribuan jarum jahit. Aku mengerang, menghantamkannya berkali-kali pada bantal empuk. Harap-harap jarum itu gugur satu demi satu dari sana. 

Hmm... Cuping hidungku mengendus aroma nikmat. Perpaduan bawang merah, bawang putih dan rempah tengah ditumis. Kunikmati aroma itu sembari terus memegangi kepalaku yang perlahan sakitnya mulai mereda. Ah, betapa seseorang begitu hebat memasak hingga aroma ini benar-benar menari menggelitik hidungku. Kurasakan perutku bergetar disusul dengan bunyi penderitaan. Perih, mengapa setelah bunyi itu muncul perutku terasa perih? Aku kelaparan. Kurasakan tulang-tulangku menonjol keluar. Mungkinkah selama hidup aku tak pernah makan?

Tatkala bayang bintik-bintik itu memudar, aku menyadari bahwa tubuhku tengah berada di sebuah ruangan berwarna hijau. Kukitarkan pandanganku pada tiap detil ruangan ini. Terdapat sebuah gitar menggantung di sudutnya. Gitar tua yang buruk. Siapa pula orang yang mau memainkan gitar itu? Hingga pandanganku tertuju pada jemari kakiku. Panjang, kurus, cantik dan bersih. Apakah benar itu milikku? Hei, aku sangat menyukainya. 

Pada detik-detik berikutnya kusadari bahwa ruangan ini tengah dijatuhi ribuan air. Entah mengapa gemuruh di luar membuatku teringat bahwa ini adalah hari terakhir di bulan Maret. Aku tersenyum. Meskipun kamar ini terlihat buruk, akan tetapi cukup nyaman untuk kugunakan tidur.

Tunggu dulu.

Tidur?

Apakah aku baru saja tidur?

"MEGAAAA!!!! KOE METU SOKO KAMAR OPO MBOKMU SING METU SOKO OMAH?!!!"

Ya, Tuhan! Itu suara apa?

Aku terperanjat seiring gedoran pintu itu makin menggema. Siapa Mega? Siapa yang dimaksud dengan 'Mbokmu'? Sesaat kepalaku kembali berputar-putar layaknya Bumi memercepat rotasinya untuk mengelilingi matahari. Suara gedoran itu dan teriakannya, membuat kepalaku kian lama kian dihinggapi oleh jarum lagi. 

Kupaksakan kakiku berdiri dengan gemetar. Berusaha mencapai kenop pintu agar dapat kubuka lantas kuketahui siapa yang berteriak itu. Sembari memegangi kepala, aku meringis. Ingin ambruk di lantai sebab tak kuasa dengan pening di kepalaku tatkala semakin dekat dengan suara itu. 

Aku mundur beberapa langkah untuk memberi ruang pada pintu kamar yang terbuka. Di hadapanku, berdiri seorang wanita dengan daster motif bunga dahlia membawa spatula di tangan kirinya. Kutaksir, mungkin usianya kisaran setengah abad. 

Mulanya wajah itu tak bersahabat. Namun setelah melihatku yang merintih, ia menjatuhkan spatulanya kemudian menangkap tubuhku dengan cepat. Aku tertolong. Ia membopongku sembari terus menanyakan apakah aku baik-baik saja. Aku hanya diam, masih bertanya-tanya di mana agaknya aku.

Didudukkannya aku pada sebuah sofa panjang berwarna hijau muda. Setelah mengamati dengan cukup, kusadari bahwa rumah ini berdiri dengan hampir semua yang ada di dalamnya berwarna hijau. Ada apa dengan warna hijau?

Ia meninggalkanku berkutat dengan rasa nyeri sendirian di sofa. Aku tak ingin banyak berpikir. Aku hanya berharap bahwa sakit ini segera reda; bahkan hilang. Aroma wangi yang kuhirup dari kejauhan di dalam kamar, kini  tepat di depan mataku bersama segelas air putih. Itu gulai ayam. Ia memintaku untuk meminum air  tersebut, katanya biar aku cepat sembuh. Aku menurut saja tanpa pikir panjang di tengah-tengah kebingungan yang kualami hari ini.

Ia mengelus kepalaku dengan wajah sendu hingga sesaat air matanya jatuh. Kutatap ia lamat-lamat. Mengapa menangis?

"Mega, ini Ibuk," ucapnya membuatku tersentak.

Mega? Kemungkinan itu adalah namaku. Sebab tak ada orang lain yang ditangisinya selain aku di ruangan ini. Dan dia adalah ibuku. Ah, pastilah aku tak bisa lahir tanpa adanya seorang ibu. Cukup masuk akal sebab jika kutelisik, wajah kita memang mirip. Aku tersenyum di atas segudang pertanyaan. 

"Aku di mana?" Adalah suara pertamaku yang kukeluarkan sedari tadi. Dia, atau ibuku menjawab bahwa sekarang aku tengah berada di rumah. Aku hanya diam dan berpikir. Bahkan aroma nikmat dari gulai ayam ini tak sanggup membuat pikiranku tenang. Aku seperti pernah mengalami kejadian ini sebelumnya. Seperti pernah berada pada posisi tak menyenangkan dan memberatkan ini. 

Ibu berlari memasuki sebuah kamar bergorden hijau tosca. Kemudian keluar dengan membawa sebuah buku  berwarna ungu. Akhirnya bukan benda hijau , pikirku. Tunggu, tapi itu bukan sebuah buku, melainkan album foto.  Aku melihat ibu sebelum membuka album tersebut, ibu tersenyum,  menganggukkan kepalanya seolah mengizinkanku untuk membukanya.

Pada halaman pertama, kulihat seorang anak kecil yang kepalanya dihiasi oleh topi pantai kebesaran tengah menatap kamera dengan tatapan polos tak berdosa. Hanya melihat sekilas saja, aku mengenali bocah itu; aku.

Halaman-halaman berikutnya masih menampilkan foto masa kecilku. Saat  masih plontos dan  sampai rambutku tumbuh dengan lebat. Benar aku mengenali foto itu. Herannya, aku sama sekali tak ingat akan momen-momen di dalamnya. 

Sungguh sulit untuk menceritakan sesuatu dimana aku bahkan tak mengenali diriku sendiri. Kata ibu, semua akan baik-baik saja jika aku terus berdoa. Namun aku menyangkal perkataan ibu. Bagaimana mungkin aku bisa berdoa sementara aku tak tahu apa yang sebenarnya tengah menimpa diriku? 

 Aku tak perlu bertanya pada ibu lagi mengenai tahun berapa sekarang. Sebab kalender yang juga berwarna hijau yang tergantung di dinding bercat hijau menjelaskan semuanya. Jika kuhitung berdasarkan tanggal lahirku yang tertulis di salah satu halaman album itu, umurku sekarang adalah 17 tahun. 

Dan mungkin selama 17 tahun hidup, ini akan menjadi pertanyaan terbesarku. Pada masalah-masalah membelenggu yang mungkin sudah kulupakan dan dulu kerap membuatku depresi, nampak kecil seiring pertanyaan ini tumbuh membesar; beranak pinak dengan pertanyaan-pertanyaan lain. 

Disela-sela ku mencerna ini semua, aku memikirkan apa yang akan terjadi pada hidupku di masa mendatang. Dan pasti, satu pertanyaan yang belum tuntas akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lain yang mungkin tak akan pernah terjawab. Hidup memang terlalu  menyiksa sehingga yang bisa kita lakukan hanya bertanya-tanya tentang kurang; tanpa mensyukuri yang cukup.

Ah, ya. Mengenai pertanyaan terbesarku yang pertama.

Bu, mengapa aku bisa lupa? 



***



To be continued...


Mega MendungWhere stories live. Discover now