"Gala nggak percaya? Riri beneran berangkat sendiri. Gala jangan mulai deh. Riri nggak mau ya pekerjaan kita jadi berantakan cuma karena Gala yang nggak percaya sama Riri dan curigaan gini."

"Tapi kata-kata Shanka tadi seolah mau negesin kalau dia berangkat sama lo dan gue datang setelah kalian," bantah Gala. Rasa cemburu cowok itu masih terpancar begitu jelas.

Riri mendengus lelah. Harus bagaimana lagi ia menjelaskan agar Gala mau percaya?

"Kan Riri udah bilang, lima menit setelah Riri sampai di kafe, Kak Shanka dateng."

Mendengar nada bicara Riri semakin ketus, Gala cepat-cepat menganggukkan kepala. Memilih percaya daripada nanti kecemburuan dan kekhawatirannya yang terlalu berlebihan itu akan menjadi boomerang untuk dirinya sendiri.

"Iya, iya, gue percaya," ucap Gala sedikit berat hati. Satu tangannya terulur ke samping, mengusap puncak kepala Riri. Sayangnya langsung ditepis pelan oleh cewek itu.

Gala terkekeh. Sepertinya Riri benar-benar marah padanya. Kalau dipikir-pikir memang salahnya sih.

"Galak amat bocil jamet," ledek Gala dengan tawa renyah.

Sebenarnya Gala percaya dengan Riri. Hanya saja ia ingin memastikan lagi. Agar semuanya jelas dan perasaannya lebih tenang. Ia tidak mau memendam kekhawatirannya sendiri dan berujung membuatnya overthinking sepanjang malam seperti yang sudah-sudah. Jadi, lebih baik langsung ia tanyakan dan meminta penjelasan yang sejelas-jelasnya pada Riri. Ya, meskipun kalau dipikir-pikir sikapnya itu memang terlalu berlebihan.

Diam-diam tangan Gala kembali terulur ke samping. Kali ini Gala tidak mengusap puncak kepala Riri, melainkan hanya menepuk-nepuk kecil puncak kepala itu. Dan beruntung kali ini Riri tidak menepis tangannya seperti tadi. "Gue cuma mau pastiin aja kalau tadi pagi lo nggak mau gue ajak berangkat bareng bukan karena lo mau berangkat bareng Shanka. Jangan marah ya kalau gue banyak nanya dan terkesan bawel."

Riri berdecak. "Tuh, kan! Berarti dari tadi Gala nggak percaya!"

Gala mengacak poni depan Riri sebelum menarik tangannya ke posisi semula. "Iyaaaa tuan putri. Gue percaya sekarang," jawab Gala gemas.

"Ya udah, sana!" usir Riri dengan gerakan dagunya.

Alis Gala terangkat sebelah. Ia pura-pura tidak paham dengan maksud Riri yang memintanya segera pergi meninggalkan halte. "Ya udah apa?"

Gala kembali mengikis jarak di antara mereka saat dengan sengaja Riri bergerak sedikit menjauhinya. Hanya sedikit, tapi Gala tidak rela.

Bucin memang.

"Jangan jauh-jauh," larang Gala memelas.

Riri hanya menanggapinya dengan ekspresi seadanya. Namun, tak ia tetap menuruti permintaan Gala. Tidak lagi berusaha menjauh dari Gala. Memang paling susah menolak permintaan Gala kalau cowok itu sudah menunjukkan wajah memohonnya seperti barusan.

"Gala cepetan ke kampus. Katanya siang ini ada kelas?" Beberapa detik berikutnya Riri menatap Gala dengan wajah lelahnya. Berdebat dengan Gala memang sangat menguras energi. "Riri bisa pulang sendiri kok. Habis ini busnya juga datang," tambahnya berusaha menyakinkan Gala dengan kelembutan.

Kalau dengan cara keras kepala tidak bisa membuat Gala luluh, maka Riri akan menggunakan cara yang lebih lembut.

Riri tahu. Sebenarnya Gala khawatir dengannya jika ia pulang naik bus. Apalagi harus menunggu bus datang sendirian di halte seperti ini. Sudah pasti cowok itu tidak akan tega. Karena selama ini di mata Gala, Riri tetaplah seorang anak kecil yang harus dijaga dengan sangat hati-hati.

BUCINABLE 2 ; More Than Home Donde viven las historias. Descúbrelo ahora