Koran Minggu

107 1 0
                                    

Semua seperti baru terjadi kemarin.

Waktu seolah-olah mengkhianatiku dan menjadikan diriku yang sekarang. Pria dewasa tiga puluhan yang terlalu lelah untuk melanjutkan hidup, sibuk meratapi harapan-harapan yang telah menjadi masa lalu.

Dulu aku berbeda. Tubuhku liat, tidak terlalu jangkung untuk ukuran anak laki-laki, tapi juga tidak masuk kategori kerdil. Tidak seperti sekarang, dengan bangga aku mengenang bagaimana otot perutku terbentuk secara alami di usia yang begitu belia.

Meskipun kuakui aku tidak seatletik teman-teman sepermainanku, namun karena hidup kami tidak bisa terpisah dari Sungai Puraseda yang membelah pemukiman kami, maka kau hampir akan selalu menemukanku mengeringkan diri di bebatuan datar tepi sungai, setelah berjam-jam berenang, adu menyelam, atau membuat istana pasir. Rekreasi murah meriah, relatif aman ketika cuaca cerah, namun penuh ancaman seumpama kami lengah ketika awan gelap menyembunyikan puncak-puncak perbukitan. Yang selalu berarti satu hal: banjir bandang.

Banyak anak-anak seusiaku tewas tersapu banjir bandang yang datang tanpa aba-aba. Kadang-kadang balita yang ditinggalkan tanpa pengawasan. Atau orang dewasa yang terlalu nikmat buang hajat tanpa memperhatikan debit air yang kian naik. Semuanya datang begitu tiba-tiba. Sebelum siapapun sadar harus menyelamatkan diri ke tepian. Karenanya secara umum, keluargaku melarangku mandi di sungai tanpa pengawasan orang tua. Tapi siapa sih yang bisa melarang anak laki-laki untuk tidak berprilaku seperti anak laki-laki pada umumnya.

Pemukiman kami juga cenderung unik. Meski secara umum terletak di dataran tinggi. Tapi wilayah kami merupakan wilayah transisional dari perbukitan yang jauh lebih tinggi dan mengular tertelan awan di horizon. Seumur-umur aku tak pernah bisa melihat puncak-puncaknya dengan jelas. Di hilir sungai, merupakan wilayah yang sedikit lebih berkembang. Dengan pasar-pasar, swalayan, toko buku dan alat tulis idamanku, puskesmas dengan kamar-kamar rawat inap, toko kaset dan rental VCD dengan ribuan judul film, juga kantor pos yang entah bagaimana saat itu selalu terasa sakral olehku tiap kali Papa mengajakku kesana untuk mengirimkan surat pada nenek, atau mengirimkan amplop kuis dan undian produk odol dan susu formula yang rajin sekali diikuti ayahku.

Di tengah-tengahnya ada kawasan PLN, dimana keluarga-keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke atas tinggal di dalam rumah-rumah yang tampak seragam. Dengan rumput-rumput di halamannya yang terhampar seperti lapangan golf, mobil-mobil mengilap di jalan masuk yang tersusun oleh paving block, serta secara umum wajah-wajah mereka juga terlihat lebih merona dan rupawan ketimbang orang-orang di blok tempat keluargaku tinggal.

Banyak kawan-kawan sekelasku berasal dari pemukiman itu. Seragam mereka selalu berbau harum dan tersetrika dengan rapi. Sepatu-sepatu mereka seolah menolak terlihat kotor, terutama kaus kaki mereka yang secara mustahil selalu tampak baru. Tidak dekil dan berserabut seperti milikku. Galih adalah salah satu kawanku dari kawasan itu. Bintang kelas dan idaman hampir semua anak cewek yang kukenal. Selama berteman dengannya, aku tidak ingat pernah melihatnya kotor, bau matahari, atau mengidap penyakit-penyakit orang susah seperti kudis, borok, atau berkutu rambut.

Aku bahkan terheran-heran bagaimana orang-orang kaya itu melindungi diri mereka dari luka sekecil apapun. Ia selalu tampak presentable dalam kondisi apapun, bahkan kalau aku mengajaknya bersepeda ke tempat-tempat jauh di hari minggu yang cerah.

Nah, selain Galih, teman-teman akrabku yang lain adalah Icang, Alung dan Sapta. Meskipun terkadang dua anak cewek, Opi dan Rima ikut nimbrung. Mereka sudah kami anggap anggota tidak resmi.

Kontras dengan Galih, Rima dan Alung berasal dari keluarga yang sangat pas-pasan. Terutama alung. Orang tuanya yang tidak percaya KB, beranak hampir dua tahun sekali. Rumahnya penuh sesak, selalu berisik dan kadang-kadang menguarkan bau kasur yang sering terpapar ompol adik-adiknya yang ingusan sepanjang waktu. Tapi satu hal yang kukenal darinya, adalah etos kerja dan kejujurannya yang teruji. Mentalitas lembekku sebagai anak tengah yang tidak pernah benar-benar siap diberikan tanggung jawab penuh, bertekuk lutut di hadapannya. Aku belajar begitu banyak dari Alung lebih dari yang bisa kuakui.

DONGENG SEBELUM TIDUR (On going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang