3. Sedikit Balasan

Începe de la început
                                    

Tsukasa menatap Hikari yang sedang asyik minum, gadis itu memang sedang minum namun matanya melirik ke sana kemari melihat setiap yang ada di dalam kafe.

"Kenapa mengajakku kemari? Kau 'kan akan bertemu dengan seorang lelaki?" tanya Tsukasa yang kemudian ikut mengambil minumannya.

"Tentu saja kau harus ikut. Kau yang paling tahu bagaimana aku, jadi aku mau kau melihat apakah lelaki yang akan kutemui itu cocok untukku atau tidak," jawab Hikari.

Lagi-lagi Tsukasa mengerutkan keningnya, "Cocok atau tidaknya tentu saja tetap ada pada perasaanmu," katanya.

"Aku tetap memintamu menemaniku. Kau harus menilai apakah ia lelaki yang baik atau tidak untukku," balas Hikari tak mau kalah. Tsukasa mengembuskan napasnya panjang, lalu menyenderkan punggungnya pada kursi, matanya tak lepas dari Hikari.

"Lelaki itu seperti apa? Bagaimana ciri-cirinya?" tanya Tsukasa kemudian.

Hikari tersenyum mendengar pertanyaan Tsukasa, "Ia baik, kuat, perhatian, lalu ia juga gentleman."

Tsukasa kembali meminum minumannya, kemudian mengangguk pelan, "Sepertinya ia cocok untukmu."

Kalimat kebohongan. Tentu saja bagi Tsukasa tidak ada lelaki yang balik cocok untuk Hikari selain dirinya.

"Iya 'kan! Cocok 'kan!" Hikari terlihat begitu senang. Senyuman gadis itu begitu berkembang dan membuat Tsukasa tak bisa membantah apa pun yang gadis itu katakan.

Kemudian keduanya mengobrol, membicarakan ini dan itu, juga nostalgia saat keduanya masih kanak-kanak dulu.

"Sejak dulu Madoka-chan memang seperti itu. Aku juga ingin jadi pemberani seperti Madoka-chan," kata Hikari saat keduanya membicarakan Madoka, teman dekat Fujio itu—teman mereka juga kok.

"Kau sudah cukup pemberani," kata Tsukasa, memberikan pujian kecil agar Hikari senang.

"Oh ya?" tanya Hikari, gadis itu senang dengan validasi. Tsukasa tentu mengangguk.

"Akan kuberi tahu sebuah rahasia," kata Hikari kemudian.

"Tiba-tiba? Apa itu?" tanya Tsukasa penasaran, ia menegakkan tubuhnya dan sedikit mencondongkan tubuhnya pada Hikari.

Hikari tampak tersenyum jahil, "Dulu aku sempat menyukai Arata-kun." katanya kemudian.

"Apa?!" Tsukasa terkejut bukan main mendengar itu.

Hikari tertawa geli melihat keterkejutan Tsukasa, "Itu saat aku masih kecil. Sekarang sudah tidak lagi," jelas Hikari kemudian, Tsukasa mengembuskan napas panjang yang lega mendengar itu. Jika Hikari masih menyukai Arata, maka saingan Tsukasa jadi bertambah. Itu tidak boleh terjadi.

Kemudian Tsukasa merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel dan menatap jam di sana. Lalu ia kembali menatap Hikari.

"Sudah dua jam. Sebenarnya ke mana lelaki yang janjian denganmu itu?" tanya Tsukasa kemudian.

"Aku akan tarik kalimatku. Ia tidak cocok denganmu, ia tak datang tepat waktu, berarti ia tak menghargaimu. Ini hal kecil tapi ia bahkan tak bisa menghargaimu sedikit pun, aku tak akan merelakanmu bersamanya. Lupakan dia dan ayo pulang saja," ujar Tsukasa panjang, Hikari malah terkekeh geli mendengar itu.

"Kenapa tertawa?" wajah Tsukasa sudah emosi saat ini, dan itu membuat Hikari semakin tertawa lepas. Tsukasa bingung dengan reaksi yang diberikan Hikari.

"Ia sudah datang kok," kata Hikari saat ia berhasil menghentikan tawanya.

Tsukasa menoleh ke sekitar kafe, namun dalam penglihatannya tak ada lelaki yang sedang duduk sendirian, lalu di mana lelaki itu berada?

Tsukasa kembali menatap Hikari, "Aku tak melihatnya."

Bukannya menjawab, Hikari malah terus menatap Tsukasa sambil tersenyum, lama sekali Hikari hanya diam sambil menatapnya. Lalu, Tsukasa sadar bahwa ia sedang dikerjai oleh Hikari.

"Jadi kau mengerjaiku?" tanya Tsukasa jengah.

Hikari tertawa kecil lagi, "Bukan begitu. Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamamu."

"Kau 'kan selalu sibuk bersama teman-temanmu. Aku hanya ingin kau menikmati waktu santai seperti ini, lihat 'kan seru sekali sehari saja kau tidak perlu berkelahi," ujar Hikari sambil tersenyum.

"Oi, aku tidak berkelahi setiap hari!" protes Tsukasa tak terima.

"Iya iya aku paham kok!" balas Hikari.

Tsukasa yang kesal kemudian sadar akan sesuatu, "Kau itu seperti kucing," celetuk Tsukasa.

"E?! Apa aku imut? Manis? Menggemaskan?" tanya Hikari dengan kedua tangan yang merengkuh pipinya sendiri, matanya berbinar berharap pujian lain dari Tsukasa.

"Bukan," sanggah Tsukasa.

Wajah Hikari berubah murung mendengar itu, "Lalu?" tanya-nya.

"Aku benar-benar tak tahu apa yang ada dipikiranmu! Sama seperti kucing yang selalu berlaku seenak mereka, kau seperti itu," jawab Tsukasa.

"Hahahahaha..." Hikari tertawa mendengar jawaban itu.

"Sudahlah, ayo kita pulang." Hikari mengambil tas kecilnya di kursi, lalu mengajak Tsukasa untuk keluar dari kafe.

Keduanya berjalan pelan menuju rumah, tentu dengan Hikari yang terus bicara dan Tsukasa sebagai pendengar untuknya.

Saat keduanya tengah menikmati waktu damai, tiba-tiba dua orang lelaki menghadang mereka. Keduanya berhenti berjalan, Tsukasa menatap kedua orang itu dengan tatapan tajamnya.

"Mundur," ujarnya pelan. Lalu ia menarik Hikari ke belakang punggungnya.

"Kau belum puas dengan hasil kemarin, Amagai?" tanya Tsukasa pada salah satu di antara kedua orang itu— Amagai dan Suzaki.

Masih teringat dengan jelas oleh Tsukasa ketika Amagai menendang wajahnya saat itu. Sialan, mengingatnya membuat ia kembali kesal karena saat itu ia tak dalam posisi bisa membalas Amagai dengan benar.

Hikari yang berada di belakang Tsukasa mencoba melirik dan menatap Tsukasa, dilihatnya wajah lelaki itu tampak tenang namun tetap ada tatapan kesal di matanya. Dari matanya bahkan bisa mengeluarkan api saat ini.

Kemudian, setelah Hikari sadar dengan kalimat Tsukasa sebelumnya. Ia paham dengan situasi saat ini.

"Ah! Jadi kau yang membuat Tsukasa babak belur ya?!" tanya Hikari sambil berjalan menuju Amagai, wajah Hikari tampak penuh dengan amarah, bahkan tangannya mengepal kuat.

"Hika—" Belum selesai Tsukasa memanggil nama Hikari, namun Hikari sudah melancarkan aksinya.


Buak!!!


"Aaarrrrggghhh!!!" Amagai langsung tersungkur ke tanah. Suzaki tampak panik dan langsung berlutut di samping Amagai yang kesakitan. Amat kesakitan.

"Rasakan itu. Balasan untukmu karena berani melukai Tsukasa dengan cara curang!" ujar Hikari lagi, ia berancak pinggang karena bangga dengan apa yang ia lakukan.

Hikari, ia menendang dengan kuat titik vital Amagai, lebih tepatnya ia menendang di mana area sensitif bagi laki-laki. Kalian tahu maksudnya 'kan.

Tsukasa tercengang melihat aksi berani Hikari, namun ia tersenyum kecil diam-diam setelahnya. Dalam hati ia merasa bangga dengan Hikari walau apa yang dilakukan gadis itu tidak dapat dibenarkan juga.


-to be continued.



Jangan lupa vote atau komennya.
Arigato!!!!!! ^^

Neko | Takajo Tsukasa✔Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum