Asavella 🍁62

Comincia dall'inizio
                                    

“Sebentar lagi.”

Rea tersenyum. Mengusap puncak kepala Asa. “Kalau kamu sudah tidak ada rumah pulang lagi, kamu jangan takut untuk ke sini. Kamu enggak sakit, kamu enggak stress, kamu enggak gila. Kamu istimewa yang dilapisi luka. Kamu gadis hebat dari miliyaran manusia yang mungkin memilih untuk tidak bunuh diri.”

Asa hanya menarik tipis senyum.

“Sus!” panggil gadis berkuncir dua yang melambai tangan ke arah Rea. Asavella ikut menoleh ke arah gadis yang bisa dikata usianya dua tahun di bawahnya.

Rea melambai tangan ke arah gadis yang kali ini berjalan ke arahnya. “Dia pasien dari Dokter Niel juga. Namanya hampir sama sepertimu, dia gadis SMP kelas 9. Baru kemarin, ia dinyatakan masuk di sekolahan SMA MERPATI SILA LIMA,” info Rea kepada Asavella.

“Dia tidak mirip denganku, dia terlihat seperti gadis bulol,” sinis Asavella dan mendapatkan raut senyum dari gadis yang kini melambai tangan dan mengulurkan tangan kepada Asavella untuk meminta berjabat tangan.

“Asabellia,” ucap gadis itu memperkenalkan diri kepada Asa. Asavella terkejut dengan nama yang sama dengan dirinya. Tentu, Asa mulai menerima jabatan gadis tersebut.

“Sus Rea, Dokter Niel ada kan? Obat aku habis sekalian mau konsul, males banget ketemu Dokter Niel sebenarnya, pasti diroasting masalah cinta,” gerutu gadis itu yang berbeda sekali dengan Asavella.

Suster Rea mengangguk sembari tertawa. “Kamu di sini sama Asavella dulu, dia pasien baru. Sus Rea juga akan menjadi perawatnya. Sus Rea, mau bilang Dokter Niel dulu, kalau kamu ke sini.”

"Asavella?" gadis itu memiringkan kepala. Menatap penuh penampilan Asavella.

Asabellia langsung terkejut di kala mendengar nama dari pasien baru satu ini. “WAH NAMA KITA SAMA? APA LUKA KITA JUGA SAMA?!” gurau Asabellia yang kali ini duduk—di mana Rea mulai meninggalkan Asavella dan Asabellia.

Asavella hanya menatap datar Asabellia yang terlihat lebih hiperaktif darinya. Dan rasanya untuk menjawab pertanyaan dari orang asing seperti bocah ingusan disampingnya ini sangatlah tidak perlu.

“Kamu sendiri?” tanya gadis itu kepada Asavella.

“Aku selalu sendiri,” jawab cepat dan singkat Asa. “Kamu?”

“Sama, kak,” jawabnya. “Seseorang telah merebut payungku. Padahal aku sering bilang, jangan ambil payungku, hanya itu tempat teduhku, meskipun aku punya rumah tanpa atap,” sambungnya.

Asavella merenung. Tapi dia mulai membuka bibirnya dan berkata. “Aku tidak butuh payung bahkan meminta seseorang untuk menjadi payung. Sebab, aku punya rumah meski rumah itu tanpa atap di atasnya.”

Gadis yang mendengar jawaban Asavella tersenyum. “Aku kira kamu enggak akan menjelaskan lukamu pada orang asing. Siapa orang jahat yang buat kakak harus bolak-balik menemui dokter psikiater? Kakak kenapa?”

Asa menahan napas sejenak. Air matanya tiba-tiba membendung kembali dan akhirnya karena tidak kuat menahan, buliran tersebut terjun. “Tidak ada. Aku gapapa.”

“Bohong, kamu. Orang normal, kalo ditanya ‘kenapa’ enggak bakalan nangis.”

Asavella menepis air matanya. kedua bola matanya kini ia arahkan ke sosok gadis yang menunduk memainkan kuku tumpulnya. Asavella yang mengira gadis ini hiperaktif dan tidak seperti terpuruk, kini bisa terlihat bagaimana banyak handsaplast serta sayatan yang sudah kering pada lengan tangan gadis tersebut di saat Asabellia mulai melipat kemeja flanel ukuran oversizenya.

“Oh ya, kamu suka apa di alam semesta yang cantik ini, kak?” tanya Asabellia yang tiba-tiba mengubah ekspresi yang terlihat banyak sekali beban hidupnya jadi tidak seperti apa-apa.

ASAVELLA [TERBIT] ✓Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora