"Iya, Pak Ustad," balas Bimo seraya melirikku.

"Sekarang bapak mau musnahin ini jimat dulu." Pak Ustad merogoh saku bajunya. "Loh kok jimatnya gak ada?" Ia tampak kebingungan.

"Jatoh kali Pak Ustad," ucapku seraya berpura-pura mencarinya.

"Enggak ah, tadi ada kok." Pak Ustad memindai setiap inci lantai kamar.

"Tadi saya liat jimatnya dibawa si setan," ucap Bimo.

"Yah, gagal dibakar dong," ucapku, menahan ketawa.

"Yaudah lah, yang penting kalian jangan pakai jimat-jimatan lagi! Liat sendiri kan akibatnya?" ucap Pak Ustad.

"Siap, Pak Ustad."

"Jangan sekali-kali minta pertolongan sama setan. Minta pertolongan itu sama Allah."

"Tuh dengerin, Bim," ucapku.

"Lu!" sahut Bimo.

"Sekarang kalian ambil wudhu terus sholat magrib, abis itu lanjut sholat taubat."

"Iya, Pak Ustad," sahutku dan Bimo.

"Bapak pamit dulu, mau sholat magrib."

"Makasih, Pak Ustad," ucap Bimo.

Pak Ustad pergi ke luar kamar. Bimo mengembangkan senyum, "Giman akting gua? Keren, kan?" ucapnya.

"Beuh! Keren banget! Cocok banget maen sinetron azab!"

"Film Horor di bioskop kali, masa sinetron azab."

"Abisnya, kesurupan lu terlalu berlebihan."

"Mungkin terlalu mendalami karakter."

"Pelajaran buat lu, jangan suka ambil punya orang sembarangan."

"Kan udah lu buang. Jadi gua pungut aja."

"Yaudah deh, Bim. Gua cabut dulu."

"Gak mau makan dulu, Dan?"

"Gak usah deh. Ntar makan di rumah aja."

"Oke. Hati-hati, Dan."

"Sip!" Aku melangkah ke luar kamar. Kemudian berpamitan dengan Tante Ina.

___________

Kriet!

Kubuka pintu sembari memanggil ibu. Tak ada jawaban, seperti ia sedang berada di kamar.

Tok! Tok!

"Bu," panggilku, berdiri di depan kamarnya.

"Bentar," sahutnya.

Pintu terbuka, asap berbau kemenyan mengepul ke luar. "Nih jimatnya," ucapku seraya menyerahkan jimat.

Ibu melirik jimat di tanganku, "Buang aja, Ai. Tadi ibu udah bikin baru."

"Lah kok gitu? Katanya gak bisa bikin baru. Gimana sih?" protesku, kesal.

"Tadi si Otong udah pulang ke rumah. Jadi ibu tinggal masukin aja ke jimat baru."

"Kenapa ibu gak bilang?"

"Bukannya kamu yang nyuruh si Otong pulang?"

"Iya, sih."

"Yaudah, berarti masalah selesai. Jimat itu sebenernya cuman benda biasa kalau gak ada isinya. Jadi yang paling penting itu nyari isinya. Masa gitu aja gak ngerti."

"Yaudah deh." Aku melempar jimat ke lantai lalu pergi ke kamar. Perjuanganku dan Bimo jadi sia-sia.

Kuambil ponsel di dalam tas, melihat sudah banyak notifikasi pesan di grup WhatsApp. Bimo sudah menceritakan semua, menciptakan gelombang protes dari teman yang lain.

[parah gua makan iler Pocong!] @handeka

[Gua udah curiga! Biasanya sambelnya emang gak enak] @reno

[Emang parah si Idan] @bimo terus mengompori.

[Berisik lu pada!] Aku pun kesal dengan masalah per-jimat-an ini. Kulempar ponsel ke kasur, lalu mengambil handuk dan pergi mandi.

"Ai!" panggil Ibu.

"Apa, Bu?" sahutku sambil membasuh tubuh.

"Ibu mau ke luar sebentar, nanti kalau ada tamu, jimatnya ada di atas meja."

"Oke, Bu!"

"Jangan sampe salah lagi!"

"Aman."

Aku melanjutkan mandi. Setelah itu kembali ke kamar. Ponsel masih terus berbunyi, obrolan di grup WhatsApp masih belum selesai juga. Aku bisukan notifikasi WhatsApp, lalu bermain game di ponsel.

Tok! Tok!

Ada yang mengetuk pintu kamar. "Bu?" teriakku, dengan mata masih fokus ke layar ponsel.

Kriet!

Pintu terbuka, sontak aku menoleh. Tak ada siapapun di sana. "Jangan jail deh! Ntar gua laporin ibu!" Kejadian seperti ini sudah sangat biasa di rumahku. Paling sebentar lagi jendela yang diketuk.

Tuk! Tuk!

Bunyi jendela diketuk. Tuhkan! Sudah pasti ini ulah si Bobi alias Botak Biadab alias tuyul peliharan ibu. Ia memang lumayan jahil. "Pergi, Bob. Jangan ganggu gua!" ucapku. Sosok anak kecil berkepala botak dengan pakaian compang-camping muncul dari balik jendela. Ia berdiri menghadapku lalu tersenyum. Aku meliriknya, "Lu tuh jelek! Kagak usah senyum-senyum."

"Aidan jahat!" Bobi berlari ke arah pintu lalu menghilang.

Tok! Tok!

"Dibilang jangan ganggu!" omelku.

"Bukan saya!" sahut suara entah dari mana.

Tok! Tok!

Aku bangkit lalu mengintip ke luar. "Siapa?" teriakku.

"Pak RT!" sahut suara dari luar.

Bergegas aku membuka pintu. "Ada apa Pak RT?"

"Ibu ada?" tanyanya.

"Gak ada, lagi ke luar."

"Oh, dia nitip sesuatu, gak?"

"Nitip apaan?"

"Jimat," ucapnya dengan suara pelan.

"Oh itu pesenan Pak RT!" Aku sengaja meninggikan suara. Ia malah mendorong tubuhku ke dalam rumah.

"Jangan kenceng-kenceng ngomongnya!" omelnya.

"Siap, Pak RT! Bentar saya ambil JIMAT-nya dulu." Aku pergi ke kamar ibu, lalu mengambil jimat yang tergeletak di atas meja. "Ini, Pak. Jimat penglarisnya."

Pak RT terlihat cemberut mendengar perkataanku yang penuh penekanan. "Ini uanganya." Ia menyerahkan sejumlah uang.

"Berapa ini, Pak?" tanyaku.

"Itung aja sendiri. Bilang ke ibu, makasih." Ia langsung pergi ke luar rumah dengan langkah terburu-buru. Kuhitung uang pemberiannya, total lima juta rupiah. Ternyata enak juga jadi dukun. Hanya jualan pocong bisa dapat uang sebanyak ini.

"Tong. Tong. Ternyata harga diri lu mahal juga," batinku.

BERSAMBUNG

IBUKU DUKUNحيث تعيش القصص. اكتشف الآن