SM | Onze

630 43 0
                                    

•°~Happy Reading~°•

Ryder terpaksa harus membuat skenario tentang sekolah mereka yang dirampok. Mayat gadis yang digantung terbalik di depan pintu ruang guru telah empat orang itu kuburkan dengan layak.

Tak ada jejak yang tertinggal, jejak darah akibat seretan tubuh gadis itupun hilang tak berbekas.

Hanya satu yang mereka khawatir saat ini, cctv. Mereka tak bisa menghilang rekaman cctv, karena ruangan cctv dijaga sangat ketat, mereka sudah pasrah jika nantinya mendapatkan hukuman. Tapi yang anehnya tidak didapati kejanggalan apapun dalam rekaman, seakan malam itu tidak terjadi apa-apa.

. . .

Reska menatap ketua Scorpion itu dengan pandangan rumit, ada kerutan samar di dahinya.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Reska. "Tak biasanya kau berkerut seperti itu." Reska meneguk minuman soda kaleng.

Ryder langsung mengubah raut wajah seketika. "Tidak ada," jawab cepat Ryder.

"Tak ada yang kau sembunyikan, kan?" tanya Reska seraya mengangkat sebelah alisnya.

"Tidak ada," jawab Ryder jengah.

Kedua sama-sama diam, menatap siswa siswi yang berlalu lalang di kantin. Reska sesekali melirik Ryder, dia belum menyerah untuk mendapatkan jawaban dari Ryder.

Ryder yang ditatap terang-terangan oleh Reska semakin kesal, ingin sekali dia memukul wajah tampan Reska.

"Kau tidak belok kan, Reska?" celetuk Ryder tiba-tiba.

Sontak Reska mendelik. "Enak saja, aku masih lurus ya!" bentaknya tak terima. Hei, laki-laki tampan nan gagah seperti dirinya di katakan belok? Hell! Menusuk lubang lebih nikmat dari pada bertarung dengan pedang!

"Kau menatapku seakan ingin memakanku," sinis Ryder.

"Oh, ayolah Ryder! Aku tau ada yang kau sembunyikan!"

Ryder berdecak dalam hati, Reska selalu bisa membaca apa yang dia pikirkan. Mau tak mau Ryder memberitahukan apa yang sedang dipikirkannya.

"Kau tau kan, aku bisa melihat kilasan kejadian sebelumnya ketika memegang sesuatu?"

Reska mengangguk. "Lalu?" Reska menyesap minumannya.

"Tapi sayangnya aku tidak bisa melihat kilasan masa lalu pada kertas yang kau berikan padaku waktu itu."

Reska mengingat saat dia memberikan sebuah surat yang ditemukan pada korban pertama.

"Karena itulah aku mengatakan surat itu tidak penting," kata Ryder lagi.

"Bukan cuman kertas itu, tapi tiga kertas lainnya..." Ryder menjeda ucapannya. "Tapi malam itu, aku bisa melihat bayangan-bayangan sekilas sebelum kejadian ... dan sesuatu yang membuatku berpikir keras hingga saat ini."

Reska menunggu perkataan Ryder selanjutnya.

"Yang aku lihat, seseorang, berambut panjang hitam, membelakangi, dan sebuah buku di tangannya."

. . .

Nix tak habis pikir dengan Alice, gadis itu menyuruhnya menemani di ruang Scorpion yang membosankan seperti ini? Dalam posisi kaki di atas sandaran sofa dan kepala menggantung di tempat duduk sofa, Nix bisa melihat Alice yang asik dengan aktivitasnya sendiri.

"Nix, kira-kira akan ada berapa korban lagi?"

Nix menyerit. "Kau berkata seperti itu seperti akan ada banyak korban," celetuk Nix, memilih tak menjawab pertanyaan Alice.

"Jawab saja."

"Tidak tau. Aku berharap tidak akan ada lagi korban," kata Nix.

"Feelingku melebihi sepuluh orang korban, di antaranya aku menjadi salah satunya."

Sontak perkataan Alice menbuat Nix merubah posisinya. Dia mendekat pada gadis itu dan memegang kedua bahu Alice. "Kau berkata seperti itu dengan berpikir? Aku rasa kepalamu terbentur hingga mengatakan hal melantur," ujar Nix merasa aneh dengan sikap Alice. Sekarang dia percaya apa yang dikatakan Reska beberapa hari lalu, Alice menunjukkan gelagat aneh.

"Itu hanya feelingku saja, hahah ... tidak usah dibawa serius," kekeh Alice lalu melepaskan tangan Nix dari bahunya.

"Kau aneh Alice," tutur Nix membuat Alice menarik senyumannya.

. . .

"Ini sama persis dengan apa yang terjadi, tapi saat melakukan aksi membunuhnya tertulis dengan jelas dan rinci," gumam Alice. Gadis itu menghiraukan tatapan aneh yang mengarah padanya, dia berjalan di koridor seraya membaca cerita di aplikasi baca di handphonenya. "Aku yakin dia salah satu siswa Scorpius," gumamnya lagi.

Bahu Alice ditabrak cukup kencang, handphonenya sampai lepas dari tangan. Saat melihat siapa yang menabraknya dia mendapati Flora yang sedang memungut buku paket yang telah berserakan di lantai.

"Astaga, maafkan aku," ujar Alice dan membantu Flora. Alice sadar di sini dia yang salah, seharusnya dia tidak membaca sambil berjalan.

Flora tersenyum menangapi. "Tidak apa-apa, buku-buku ini saja yang berat," tutur Flora.

"Biar aku bawakan sebagian, ini mau dibawa ke mana?" tanya Alice dengan buku di tangannya.

Flora tersentak. "Tidak usah, aku bisa sendiri. Aku tau kau punya tugas lain yang harus diselesaikan," kata Flora dan berusaha mengambil alih buku di tangan Alice. Alice dengan terpaksa mengembalikan buku ke tangan Flora.

"Yasudahlah, aku juga tak bisa memaksa," kata Alice.

Flora tersenyum. "Kalau begitu aku duluan," pamit Flora dengan membawa buku yang melebihi penglihatannya.

"Hais, anak itu." Alice menggelengkan kepalanya, saat akan mengambil handphonenya yang terjatuh pandangannya tak sengaja menangkap sebuah buku bersampul ungu pervenche dan bertuliskan nama Flora di sana.

"Flora menjatuhkannya, kah?" Alice mencari keberadaan Flora yang sudah menghilang di depan sana. "Nanti sajalah, baru dikembalikan."

Alice segera beranjak dari sana, menuju lantai atas yang menjadi lantai kelasnya. Dia memutuskan untuk menyambung ceritanya di dalam kelas saja.

•°~TBC~°•

Sab, 4 Maret 2023

Scorpion MissionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang