PAPAN PERMAINAN

35 5 2
                                    

"Arlen, sudah dengar berita terbaru?" ucap seorang laki-laki sambil berjalan mendekati meja Arlen.

Arlen yang sibuk dengan buku-buku pelajarannya langsung menoleh ketika mendengar namanya dipanggil. Ia menggeleng pelan untuk menjawab pertanyaan laki-laki itu.

"Nggak mungkin dia tahu berita terbaru. Yang ada di pikiran Arlen cuma materi pelajaran doang Fer," timpal anak perempuan yang sedang duduk di atas meja sambil memperhatikan wajahnya menggunakan kaca kecil yang sedari tadi di pegangnya.

"Iya sih, pokoknya hati-hati deh Len. Berita terbarunya pembunuh yang beraksi beberapa minggu lalu mulai beraksi lagi, polisi belum bisa baca pola pembunuhnya, kayak pembunuhan acak gitu. Ngeri banget pokoknya," ucap Fernand sambil duduk di kursi sebelah Arlen.

"Bukannya targetnya cewe ya? Korban-korban sebelumnya kan cewe semua," balas Arlen setelah mengangguk mengiyakan Fernand.

"Kali ini cowo Len," jawab Fernand singkat. Ia menajamkan matanya, seolah-olah sedang berusaha merubah suasana pembicaraan menjadi seram.

"Oh gitu," ucap Arlen sambil mengangguk pelan. Ia tidak menunjukkan ekspresi kaget, takut, atau apapun itu. Ekspresi wajah Arlen tetap datar seperti biasanya.

"Ah nggak asik banget, masa nggak ada takut-takutnya sih?" ucap Fernand sambil menatap kesal tuan muda Arlen. Sedangkan Arlen mengacuhkan Fernand dan mulai sibuk dengan buku-buku pelajarannya lagi.

"Arlen nggak mungkin takut cuma karena berita kayak gituan Fer. Emang siapa sih yang berani bunuh tuan muda Arlen? Yang ada malah pembunuhnya yang kebunuh duluan," celetuk Joana, perempuan yang sampai sekarang masih sibuk dengan cermin kecilnya itu.

Arlen tidak bereaksi sedikit pun, sedangkan Fernand hanya tersenyum kecil lalu kembali ke tempat duduknya karena bel tanda istirahat selesai sudah berbunyi.

Tanpa Fernand sadari, sesaat setelah ia berpindah kursi, Arlen melihat ke arah jendela cukup lama. Ia memperhatikan anak-anak yang sedang bermain sepak bola di lapangan dan tiba-tiba saja sebuah senyuman kecil terukir di wajah manis Arlen.

***

Arlen berjalan menyusuri lorong sekolah. Banyak anak yang berlari melaluinya, ada yang berlari ke lapangan, ke kantin dan berbagai tempat lainnya. Walaupun jam pulang sudah berbunyi, kebanyakan anak di sekolah Arlen memang tidak langsung pulang, mereka memiliki kegiatan masing-masing yang dilakukan setiap pulang sekolah.

Sekolah Arlen adalah sekolah yang berisi anak-anak konglomerat dimana mereka semua sudah bisa memprediksi masa depan mereka dengan jelas. Mereka tahu apa yang harus mereka lakukan dan hal apa yang hanya akan membuang waktu mereka. Dengan tujuan yang jelas itu, sekolah dapat menyediakan fasilitas yang sesuai sehingga semua anak dapat memiliki kegiatan di sekolah tanpa memberatkan mereka.

Semua anak di sekolah ini pintar membuat keputusan dan merencanakan sesuatu. Entah itu dalam skala besar maupun skala kecil. Cara berpikir mereka berbeda jauh dengan anak-anak kebanyakan. Dari luar mereka memang terlihat seperti anak remaja lainnya, tapi ketika masuk ke forum diskusi, sifat asli mereka akan keluar.

Arlen adalah salah satu anak konglomerat yang bersekolah di sekolahan bergengsi ini. Sebenarnya Arlen tidak masalah bersekolah dimana pun, tapi dapat bersekolah di sini merupakan sebuah jackpot baginya. Ia mendapatkan relasi yang tidak bisa ia dapatkan di tempat lain.

Sebuah relasi yang hanya bisa didapatkan dengan kekuasaan dan juga kecerdasan. Relasi yang terbentuk dengan tujuan khusus memang tidak bisa sepenuhnya dipercayai, tapi apa salahnya melakukan itu dengan kekuasaan yang ada?

Arlen membuka sebuah pintu ruangan yang berada di ujung gedung sekolah. Ruangan itu dipenuhi dengan perabotan mahal yang didominasi warna hitam, terlihat mewah tapi suasananya mencekam.

Tidak semua orang diperbolehkan masuk ke ruangan itu, bahkan tidak semua orang di sekolah tahu akan keberadaan ruangan itu. Ruangan yang muncul karena relasi dan kekuasaan.

"Pasti itu ulah suruhanmu kan?" ucap Fernand sambil menggerak-gerakkan sebuah gelas berisi anggur. Ia memperhatikan pantulan yang ada di cairan berwarna keunguan itu sambil menunggu jawaban dari Arlen yang baru saja memasuki ruangan.

Ada beberapa pria lainnya di sana yang sibuk dengan barang masing-masing. Mereka terlihat saling cuek di dalam ruangan itu, tapi kenyataannya mereka mendengarkan pembicaraan yang ada di dalam ruangan dan menyimpannya bersama.

"Entahlah," jawab Arlen sambil menghempaskan badannya ke atas sebuah sofa.

Fernand melihat ke arah Arlen, "Sandiwaramu memang tidak pernah gagal, tidak ada yang melihat ke arahmu selama investigasi."

Fernand memberikan gelas yang ada di tangannya ke Arlen dan mengambil gelas berisi anggur lainnya.

"Kalau misinya dia penuh celah, nggak mungkin kita mengakuinya sebagai ketua," celetuk Arex yang berjalan mendekat dan menghempaskan badannya di sebelah Arlen.

"Iya sih," ucap Fernand lalu menenggak anggur yang ada di tangannya.

Keadaan ruangan kembali sunyi. Walaupun begitu, tidak ada kecanggungan di antara kesunyian itu. Mereka sudah terbiasa tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Ruangan khusus ini bukanlah ruang diskusi mereka, melainkan ruang untuk menyepakati suatu kerjasama. Tidak ada kewajiban untuk menyepakati semua kerjasama yang terbentuk di dalam ruangan, tapi semua yang dibicarakan di dalam ruangan tidak boleh sampai keluar.

Kesepakatan yang ada di ruangan ini bukanlah kesepakatan biasa, keuntungan yang diperoleh pun tidak main-main. Hukuman yang disepakati jika ada informasi yang bocor adalah penyerahan nyawa dan cara pembunuhannya disepakati bersama oleh semua anggota perkumpulan termasuk orang yang berkhianat.

Sampai sekarang belum ada yang berkhianat di dalam perkumpulan ini, tapi tidak mungkin orang-orang yang haus akan kekayaan dan kekuasaan ini akan terus mendukung satu sama lain kan? Karena mereka datang bukan untuk menyatukan pedang, tapi untuk menajamkan pedang masing-masing.

"Kalian sudah berkomunikasi dengan mereka?" tanya Arlen setelah hening selama hampir sepuluh menit. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan lalu meminum anggur yang ada di tangannya.

Tidak ada jawaban yang keluar dari anak-anak lainnya. Arlen berdiri dari sofa dan berjalan ke arah pintu.

"Sebaiknya sepakati dengan cepat, karena kudengar akan ada event disana," ucap Arlen tepat sebelum membuka pintu. Setelah itu ia keluar ruangan dan kembali ke kelasnya untuk mengambil tas.

Anak-anak lain yang masih ada di ruangan itu juga keluar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Mereka keluar secara bergantian dengan jeda waktu yang lumayan panjang. Sesuai dengan keberadaan perkumpulan mereka yang rahasia, hubungan antar mereka pun dirahasiakan. Kebanyakan dari mereka tidak berinteraksi di luar ruangan. Sedangkan sebagian lainnya berinteraksi senatural mungkin hanya untuk memberikan informasi, seperti Arlen dan Fernand tadi.

Keadaan sekolah masih ramai ketika Arlen berjalan ke luar sekolah sambil membawa tasnya di pundak sebelah kanan. Ia hanya melihat sekilas ke lapangan dan terus berjalan menuju ruang tunggu.

Sesampainya di ruang tunggu, Arlen duduk pada salah satu kursi yang letaknya dekat dinding. Ia menghempaskan tasnya, lalu memperhatikan televisi yang menyala di salah satu sudut ruangan.

Televisi tersebut menampilkan berita hari ini. Berita tentang pembunuh yang dikatakan Fernand sebelumnya. Berita yang sudah ditunggu-tunggu Arlen sejak lama, karena dengan begitu papan permainannya kembali berjalan setelah jeda yang cukup lama.

CheckmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang