SM | Quatre

982 66 1
                                    

•°~Happy Reading~°•

Siswa siswi berlalu lalang memasuki galeri lukisan. Pakaian mereka serba hitam karena tema lukisan malam ini adalah kematian. Mereka sangat antusias menatap lukisan yang terkesan horor, apalagi para pelukisnya yang sedap di mata. Bukan hanya siswa siswi yang di undang, tetapi juga para donatur dan orang-orang yang punya kuasa di sekolah itu.

Nix termasuk salah satu anggota klub seni, malam ini dia tampil berbeda, menggunakan pakaian hitam yang terkesan anggun, berdiri di antara dua gambar yang di pamerkannya malam ini.

Rautnya terlihat datar, matanya yang biasanya diperban kini dibuka dan menampilkan iris merah yang cantik. Kedua iris berbeda, biru dan merah, sangat menarik di mata dan sangat langka. Namun untuk seseorang itu adalah sebuah kutukan.

"Apa tema lukisanmu, Nix?" Nix tersenyum pada wanita yang menjadi guru lukisnya. "Aku belum pernah melihat lukisanmu yang seperti ini sebelumnya," lanjut wanita itu.

"Keputus asaan," jawab Nix masih menapilkan senyuman terbaiknya.

Wanita itu menatik sudut keningnya, matanya menatap dua lukisan karya seorang Nix.

Pada lukisan pertama, seperti di suatu ruangan yang gelap tak berujung, ada sebuah meja berwarna krem yang di atasnya terdapat seorang siswi telentang dengan darah yang keluar bercucuran di pergelangan tangannya.

Lukisan itu terlihat sangat nyata, seperti memang benar-benar melihat langsung di depan mata. Guru wanita itu begitu meresapi lukisan Nix, bahkan dia bisa melihat darah dari pergelangan tangan siswi tersebut bercucuran seperti nyata.

Di lukisan kedua, di latar belakangi warna hitam yang sengaja dibuat tak karuan, terlihat seseorang berdiri di atas gedung dan seorang siswa yang tergeletak di tanah dengan keadaan kepala pecah dan berlumuran darah.

Hawa dingin dapat dirasakan oleh guru wanita tersebut, seseorang yang berada di atas gedung itu seakan sedang mengintainya. Dia dibuat berdigik ngeri.

"Bagaimana pendapat Mrs. Lucy terhadap lukisan ku?" tanya Nix.

Wanita bernama Lucy itu tersedar dari selamannya, dia menoleh pada Nix yang masih menuntut jawaban.

"Aku tidak tau bagaimana mengekspresikan lukisanmu ini, Nix. Rasanya aku bisa melihat dengan langsung di depan mataku," jelas Mrs. Lucy.

Nix tersenyum. "Memang itu tujuan aku membuat lukisan ini Mrs. Lucy," kata Nix.

Mrs. Lucy tersenyum bangga pada anak muridnya itu. Setelah memberikan pujian pada Nix serta kritikan dan saran, Mrs. Lucy segera beranjak dari sana.

. . .

Di bagian galeri lain, Ryder dan Reska berjalan menelusuri lukisan anak klub seni yang lainnya.

"Wah ... ck, lukisan mereka seperti terlihat sangat nyata," decak Reska berbinar.

Di sampingnya, Ryder terlihat sangat malas, kakinya saja di seret agar tetep berjalan. "Ini tempat yang membosankan," celetuk Ryder.

"Hais, kau sangat tidak menghargai usaha Nix yang menaruh undangan itu di loker milikmu," cetus Ryder.

"Aku tidak memintanya," balas Ryder.

"Nix sampai membuang semua hadiah yang ada di lokermu demi undangan ini."

"Aku tidak peduli."

Reska berdecak, dia memilih memisahkan dirinya dari Ryder yang membosankan. Akhirnya Ryder berjalan sendiri di kerumunan orang yang berpakaian serba hitam.

"Aku seperti datang melayat," ujar Ryder.

Matanya menatap lukisan-lukisan yang terpampang di dinding, hingga tak sengaja matanya menangkap lukisan yang terlihat cukup menarik. Kaki Ryder membawa ke arah lukisan itu.

Keningnya mengerut, dari semua lukisan yang ada di sana hanya lukisan ini yang tidak memiliki peminat. "Siapa yang melukis ini?" tanya Ryder pada dirinya sendiri.

Lukisan itu tak memiliki nama pencipta, yang di mana lukisannya berlatar hitam abstrak, ada sebuah bayangan hitam dengan seringai merah lebar yang dikelilingi oleh angka-angka tak berurut.

Ryder berdigik. "Dia seperti menyeringai ke arahku," ujar Ryder dan langsung berlalu dari sana, dia memutuskan untuk mencari keberadaan Reska.

•°~TBC~°•

Sel, 7 Februari 2023

Scorpion MissionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang