Arve terdiam nampak berpikir sesaat sebelum mengangkat tangan kecilnya dari atas buku."Jadi kamu juga penasaran 'kan?" Aeris menarik sudut bibirnya membentuk senyum tertantang untuk kembali membuka lembar demi lembar halaman.
"Kamu bilang portal itu adalah hal terakhir yang ia lakukan, itu artinya catatan itu ada dihalaman terakhir." Aeris menyanggah dagunya, "aku hanya berharap catatan portal itu masih terbaca."
Tangannya membalik buku tua itu dan membuka halaman terakhir dan langsung disuguhi oleh gambar garis sihir yang Aeris yakini itu adalah portal yang Arve maksud. "Gambarnya masih terlihat,"
"Tapi mantranya.." Jemarinya menyapu tulisan tangan yang sudah memudar dalam buku itu.
"Apa yang kau harapkan?" Arve mendudukkan dirinya menatap Aeris.
Sudut bibir Aeris tertarik membentuk lengkungan jahil. "Kita bisa mengarangnya."
"Pemikiran mu gila."
"Ayolah Arve, dari abjad yang masih samar terlihat ini kita bisa menggabungkan dan menerkanya." Aeris berkacak pinggang, "Kamu bilang, dulunya kamu ini pengendali sihir. Dimana semangat mu itu?"
"Itu berbeda. Saat ini aku hanyalah potongan energi dari tubuh ku yang masih tersisa. Aku bahkan bertekad untuk hidup malas-malasan karena aku ini kucing."
"Cobalah pikirkan baik-baik Arve, bisa saja portal itu akan membawa mu ke dunia yang belum pernah kamu lihat!"
"Aku tidak tertarik,"
"Tapi aku tertarik!"
"Jangan paksa aku nak, bagaimana kalau portal itu tidak berhasil dan terjadi sesuatu pada mu? Itu akan merepotkan."
Aeris menggerutu, "kenapa kamu jadi mirip kakak ku?" Ia menarik Arve mendekat. "Aku membiarkan mu ada disini sedari aku kecil karena aku tau kamu di pihak ku."
"Aku disini karena aku memilih mu."
"Bualan macam apa itu? Kamu disini karena hanya aku yang bisa mendengar mu, pak tua."
"Seukuran anak muda, kau kurang ajar sekali." Arve mendengkur lalu turun dari ranjang, menuju sofa.
"Kamu serius nggak mau gabung? Katanya ini buku peninggalan sahabat mu, tapi kamu acuh sekali."
Arve mengerling, tak menghiraukan Aeris yang kini terfokus mempelajari isi buku itu.
"Ini harus dilukis di bawah sinar matahari langsung..?"
"Sayang sekali kau tidak akan bisa mempraktikkannya."
Kening Aeris naik bertanya-tanya, "Apa maksud mu?"
"Larangan Shuanne."
Mendengar hal itu membuat Aeris tertawa remeh, "Larangan apa yang kamu bilang? Itu cuma saran, selama kakak-kakak ku nggak ada di rumah, nggak akan ada masalah. Apakah kejadian hari ini dan sebelumnya nggak cukup membuktikan kemampuan intuisi ku?"
"Kau yakin dengan keputusan mu?"
Tanpa berpikir panjang Aeris langsung mengangguk dengan yakin, "Tentu! kenapa? kamu berubah pikiran? mau bergabung?"
Arve menguap sembari memposisikan dirinya untuk tidur. "Kau tau, kau tak bisa apa-apa tanpa bantuan ku, Nak."
📜📜📜
Cahaya mentari menelusup pada celah-celah jendela kamar Aeris. Embun pagi mulai samar berganti panas sang mentari.
Aeris melirik Denada dari pantulan cermin, "Denada, bisakah kau membawakan ku kapur berwarna dan cat air?"
Denada mengangguk pelan, "Apakah anda memiliki minat melukis, Nona?"
"Aku cuma bosan. Di kurung dalam kediaman membuat ku mual, kau tau?"
Senyum simpul terbit menghias ekspresi Denada, "Itu karena Marchioness mengkhawatirkan Nona, beliau pasti tidak memiliki niat buruk lainnya."
"Aku tau." Aeris mengangkat telapak tangannya untuk menghentikan kegiatan para dayang. "Sudah cukup, pekerjaan kalian pasti masih banyak. Sudahi saja ini, bawakan peralatan yang ku minta bersama sarapan ku dan Arve ke kamar. Setelah itu jalani aktivitas masing-masing."
"Baik, saya akan segera mengurusnya."
Setelah beberapa saat Denada kembali dengan membawa apa yang Aeris butuhkan. semangat Aeris semakin membara tak sabar untuk menjalani misi terbarunya.
"Denada, aku butuh konsentrasi penuh. Jadi dilarang ada yang mengganggu ku selain saat aku memanggil kalian. Mengerti?"
"Jika ada yang nona butuhkan lagi, segera panggil saya." Ucap Denada lalu melangkah keluar kamar.
Aeris berlari kecil kearah ranjangnya lalu menunduk, meraih tas kulit dibawah ranjang lalu tersenyum. "Psst! Arve kemarilah."
"Kau sungguh akan melakukan ini?" Arve menguap, menghampiri Aeris.
"Kamu masih tanya lagi? Semua yang aku ucapkan itu serius!" Aeris beranjak dengan menggulung rambut panjangnya lalu bersiap menyelinap keluar untuk sekian kalinya. "Aku dengar siang nanti akan ada patroli rutin mengitari mansion, jadi Jangan buang waktu lagi."
Arve menggeleng pelan dan hanya pasrah mengikuti jiwa petualang Aeris yang tak pernah bisa dia dihentikan.
Secara hati-hati keduanya menyelinap turun dari balkon menggunakan tali tambang yang selama ini menjadi jalan satu-satunya untuk Aeris pergi ke luar. Lalu setelah berhasil mendarat dengan sempurna, Aeris dengan segera bergegas melangkah menuju danau yang terdapat di belakang paviliun.
"Kita bisa mulai disini."
"Bocah aneh!" Cibir Arve saat melihat sekeliling, "kau tak bisa menggambarkan lingkaran sihir di atas rumput."
Helaan napas panjang terdengar, "siapa bilang aku menggambar diatas rumput? Duduk dan diam, perhatikan saja aku lalu beri aku petunjuk saat menggambar lingkar sihirnya."
Aeris mengangkat gaunnya hingga selutut, dalam hati ia sempat menggerutu karena jika ia mempunyai banyak waktu ia bisa mengganti pakaian yang menyulitkan pergerakan tubuhnya disaat seperti ini. Dengan tampang serius ia meraih bati pipih yang tak jauh dari tempatnya lalu mengeruk rerumputan itu hingga menciptakan sepetak tanah. "Ini 'kan yang kau butuhkan?" Gumamnya menatap Arve sebelum kembali bergerak mengeluarkan segala macam yang telah ia persiapkan.
Jemarinya mulai lihai tergerak untuk menggambarkan rangkaian lingkaran dan pola yang ia pelajari dalam buku dengan menggunakan kapur.
Beberapa saat kemudian, Aeris bangkit dan berkacak pinggang menatap Arve.
"Begini cukup?"
Arve melompat dari dahan pohon lalu mengitari gambaran Aeris, "Pola disini kurang jelas."
"Titik ini seharusnya tepat pada garis lingkaran."
"Ada lagi?" Aeris melirik Arve setelah selesai memperbaiki gambarannya.
"Mantranya," Arve berbalik menjauh dari tempat Aeris berdiri. Ia memanjat pohon lalu menempatkan dirinya kembali pada dahan pohon yang kokoh dan memperhatikan Aeris dari ketinggian. "Rapalkan mantra yang kau pelajari semalam."
To Be Continued

KAMU SEDANG MEMBACA
AERIS
Fantasy"Ini lingkar sihirnya beneran nggak ada koreksi lagi? Kok kita nggak pindah kemana-mana?" Aeris Jiellart namanya, anak bungsu dari keluarga penguasa wilayah Selatan penghasil tambang berlian terbesar di kekaisaran. Ia hanyalah si bungsu yang selalu...