"Kenapa lo ngelihatin gue kayak gitu?" Sera mengernyit, tatapannya mengisyaratkan bahwa kerlingan menyebalkan Riga itu berhasil membuatnya tak nyaman.
"Ra..."
"Apaan?"
"Are you okay?"
Sera mengembuskan napas pasrah. Dia tahu, ke arah mana maksud pertanyaan Riga barusan. "Nggak usah out of topic, deh."
"Gue juga ada di sana malam itu, kalau lo lupa," balas Riga, yang lantas membuat Sera bungkam.
Sera tidak lupa.
Bagaimana mungkin dia melupakan malam mengenaskan itu? Malam di mana Juno dan segala teka-tekinya datang, menghancurkan seluruh sisa perasaan Sera terhadap sang mantan kekasih—yang seharusnya sudah dia lakukan sejak berbulan-bulan lalu.
Sera juga tidak lupa. Bahwa malam itu, tidak hanya ada dirinya dan Juno, tapi juga Riga.
Riga-lah yang pada akhirnya menjadi tempat Sera bersandar. Lelaki itulah yang pada akhirnya memeluk dan meyakinkan Sera, bahkan menjadi bendungan untuk air matanya.
Sera tidak lupa. Bagaimana bisa dia lupa?
"Ah... such a stupid question!" Riga tiba-tiba memukul setir mobilnya dan bergumam kesal. "Gue ganti deh pertanyaannya. Jadi sekarang, lo mau gue ngelakuin apa?"
Sera kembali mengernyit. "Maksudnya?"
"Ya, setelah apa yang si brengsek itu lakuin ke elo, siapa tahu lo mau minta tolong gue buat bantu bikin dia makin panas gitu?"
Sera tertawa, "Gimana caranya? Dibakar?"
"Yang bener-bener aja, Ra..."
"Lagian ide lo tuh nggak abis-abis ya. Gue sama Juno kan bukan anak SMA yang kalau putus harus main panas-panasan. Sekarang gue cuma mau move on aja, Ga. Nggak mudah, gue tahu. Tapi beberapa hari terakhir ini gue sadar, sebenernya gue juga udah nggak segitu cintanya kok sama dia. Cuma kenangannya aja yang masih nempel dan kadang bikin gue nggak terima. Apalagi kalau lagi dengerin lagu..."
"Kenapa lagu?" Riga mengernyit, tak mengerti.
Sera tersenyum tipis, kemudian menyahut. "Buat gue, lagu itu kayak kantong memori. Di setiap lirik, bahkan di setiap nada, selalu ada kenangan yang tersimpan di sana. Mungkin... itu juga yang bikin gue selama ini susah lupain Juno. Dia ada. Bahkan di setiap lagu yang gue denger.
"Apalagi... gue sama Juno kan ketemunya di project musik. Kami juga nggak jarang saling bantu buat karya satu sama lain. Di mini album terakhir Juno yang gagal rilis itu, ada beberapa lagu yang gue tulis liriknya. Di buku terakhir gue yang launching belum lama ini, muse-nya juga dari lagu yang dia ciptain. Sekarang... rasanya aneh aja karena kami harus kerja sendiri-sendiri..." jelas Sera panjang lebar. Entah sejak kapan, tatapannya menerawang ke arah jalan raya di depannya yang terlihat semakin padat.
Riga menganggukkan kepala. "I feel you," tanggapnya. "Mungkin rasanya sama kayak waktu gue habis putus sama Pav. Bukan orangnya, tapi kenangannya yang susah dilupain. Apalagi, kita sama-sama nggak sebentar sama ex-pasangan kita."
"Exactly...," sahut Sera, berusaha terdengar yakin.
"Terus kalau bukan buat bikin panas Juno, apa dong yang bikin lo nggak mau gue bikin press conference buat ngelurusin rumor yang beredar soal hubungan kita?" Riga mulai mencuri pandang ke arah Sera. Detik berikutnya, dia tersenyum jahil. "Jangan-jangan... lo mulai naksir ya sama gue?"
Pertanyaan Riga yang terkesan 'memancing', tak membuat Sera langsung merespons.
Ada satu hal yang sebenarnya masih menggelayuti hati Sera dan diam-diam enggan ia akui. Jauh di lubuk hatinya yang terdalam, pengakuan Juno malam itu—tentang hatinya yang tak benar-benar Sera miliki selama hampir 5 tahun hubungan mereka, sedikit-banyak berhasil melunturkan rasa percaya diri Sera, terutama soal urusan cinta.
Namun di sisi lain, pengakuan Juno tersebut juga bermuara pada kemarahan. Perlahan, niat 'balas dendam' mulai tumbuh di hatinya, dan Sera... benci mengakui itu.
Entah sejak kapan... Sera pun mulai menikmati perannya sebagai pasangan Riga di mata publik. Riga is totatally the perfect guy when it comes to revenge. Handsome, rich, super-powerfull. Persis seperti yang dikatakan Juno malam itu.
Bersanding dengan Riga yang berkali-kali lipat lebih dari Juno, adalah kemenangan. Di sisi lain, Juno bahkan tak dapat memenangkan hati Rain, sahabatnya yang sudah belasan tahun ia cintai. Artinya... saat ini Sera sudah mengantongi dua kemenangan, dan itu terasa... sangat memuaskan.
Mungkin, itulah yang sebenarnya menjadi alasan kuat, mengapa Sera—secara tersirat, menolak press conference tersebut. Atau mungkin... justru ada alasan lain yang tak ia sadari?
"Kalau ini medan perang, bukannya dengan jadi pacar gue di depan publik bisa bikin lo menang di mata Juno? Gue punya segala hal yang nggak dia punya. Dan kalo lo pernah denger simbiosis mutualisme, mungkin hubungan kita bisa jadi seperti itu kalau lo setuju."
Kalimat negosiasi yang sempat Riga ucapkan di acara launching buku Sera beberapa waktu lalu, tiba-tiba kembali terngiang di telinga gadis itu. Sera tak menyangka, tawaran yang sempat ia tolak mentah-mentah—bahkan dengan keras itu, kini... justru berbalik ia nikmati.
Sera mendecis. Menelusuri pikirannya sendiri membuatnya benar-benar muak. Gadis itu benci menjadi munafik seperti ini.
"Ra... kok malah bengong, sih?" Pertanyaan Riga yang datang tanpa aba-aba, berhasil memecah lamunan Sera. Gadis itu refleks membuang tatapannya dari lalu-lalang jalan raya, ke arah Riga yang entah sejak kapan sudah memandanginya dengan tatap bingung.
"Kalau lo mau bikin press conference, ya silakan aja." Sera menyahut ketus. Mood-nya tiba-tiba berubah buruk. "Gue cuma ngasih tahu, kalau press conference yang bakal lo lakuin itu nggak akan ngefek apa-apa. Almost everyone talks bad about me. There is no way to fix it," lanjutnya, masih tak ingin mengakui alasan yang sebenarnya.
"At least we can make them stop," sahut Riga sembari menginjak pedal gas. Hanya tersisa beberapa tikungan sebelum keduanya sampai di tempat tujuan. "Dan soal Pavlinka, kalaupun press conference itu beneran jadi gue lakuin, gue bakal ambil cara aman dengan nggak bawa-bawa skandal cheating-nya dia."
"But the damage is still there, tho?" Sera kembali menyahut, masih dengan nada yang sama.
Riga menghela napas panjang. Sepertinya, Sera memang mutlak menolak usulannya. Meskipun semua terasa janggal, laki-laki itu mencoba menelannya bulat-bulan. "Kalau gitu, gue nggak perlu muter balik ya."
"Hah?" Sera mengernyit, tak memahami maksud perkataan Riga barusan.
Raut bingung yang membingkai wajah Sera tak lantas membuat Riga memberi penjelasan. Laki-laki itu justru kembali sibuk dengan kemudinya, menyalakan sein, kemudian mengarahkan besi berjalan itu ke depan sebuah gerbang raksasa berwarna hitam.
Riga menekan tombol klakson tiga kali. Seorang laki-laki paruh baya dengan seragam security pun muncul tak lama kemudian.
"Ini rumah siapa?" Kernyitan pada kening Sera bertambah dalam. Apalagi, lelaki di sampingnya itu masih tak menjelaskan, apa maksud dari kalimat terakhirnya tadi. "Hello, Riga?"
"Rumah orang tua gue, Sera."
Kedua bola mata Sera refleks membola. Apa kata Riga tadi? Rumah orang tuanya?!
-With or Without You-
Hai! Seneng banget bisa update lagi xixixi. Beberapa bab menuju ending nih besties. Komen dan vote-nya ditunggu ya~
Btw, selamat liburan dan tahun baru semua!!
Akhir tahun pada liburan ke mana nih?
IG: bluenutcracker
YOU ARE READING
With or Without You
RomanceSetelah hampir lima tahun berpacaran. Juno tiba-tiba memilih untuk mengakhiri hubungannya dengan Sera, tanpa alasan. Sera yang dulu menjadi bagian penting bagi hidup lelaki itu, mendadak menjadi tak ada artinya, sama sekali. Seharusnya Sera membenci...
Turning Page
Start from the beginning
