"Sampai semuanya baik-baik aja, sampai aku bisa maafin perbuatan mama, sampai aku bisa relain kematian Lintang."

"Iya, tapi sampai kapan?!"

"Aku juga nggak tau Na sampai kapan, kamu sendiri tahukan gimana gemetarnya aku ketika udah ketakutan, aku harus sembuhin semua trauma aku dulu." Ada jeda sejenak, Alingga menarik napas. "Aku sama papa punya trauma yang sama, kehilangan Lintang dan mama bukan kejadian yang bisa kita terima dengan mudah, aku harus hilangin semua itu."

Lyana diam-diam mengusap air matanya, menarik napas dalam-dalam. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia sampaikan. Namun akhirnya tertahan dan tidak bisa ia keluarkan.

Perempuan itu mengerti, ia tidak bisa menahan Alingga sekuat apapun yang dia bisa. Mungkin memang Alingga butuh waktu untuk menyembuhkan dirinya, dan Lyana tidak bisa egois menahannya untuk menetap disaat laki-laki itu butuh obatnya sendiri.

Yang ia harapkan sekarang, entah sejauh apa setelah ini Alingga melangkah, Lyana berharap Tuhan mempertemukan mereka dalam keadaan yang lebih baik. Ketika Alingga sudah sembuh dari lukanya dan Lyana yang sudah bisa menerima keadaan Alingga.

Maka dari itu, setelah memastikan air matanya tidak menggenang di pelupuknya lagi. Lyana membalikkan badannya dan menghadap penuh kearah laki-laki itu.

"Tapi janji ya, jangan lama-lama," bisiknya dengan suara serak.

Alingga tersenyum lega, kepalanya perlahan mengangguk. "Iya, Na."

Dan laki-laki itu menarik tubuhnya lagi, memeluknya dengan perasaan ringan. Seolah separuh beratnya beban yang ia pikirkan beberapa hari ini meluruh jatuh begitu saja.

Alingga tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih pada Lyana, perempuan ini benar-benar membuat hidupnya terasa kembali.

"Yaudah kalau maksa! Ayo!"

Bisikan ketus itu tiba-tiba keluar, Lyana menarik dirinya sedikit menjauh. Alingga menunduk melihat wajah Lyana yang langsung membuang pandangannya kearah lain.

"Apa?" Tanya laki-laki itu tidak mengerti.

Perempuan itu mendengus. "Katanya mau buat penerus bangsa," balas Lyana dengan sinis.

Lalu Alingga langsung tersenyum lebar, ia segera duduk bersila dengan mata menyipit menatap Lyana. "Apanih?"

Laki-laki itu menunduk dan langsung mengurung tubuh Lyana dengan kedua tangannya. "Ini ajakan bikin penerus bangsa apa ajakan berantem. Sinis amat nyet?" Tanyanya mengejek.

"Lingga! Jangan panggil gue monyet!" Pekik perempuan itu, marah.

"Emang anak monyet kan?"

"Lingga nyebelin banget sih lo! Tau ah gak jadi-"

"Oh nggak dong sayang," Alingga buru-buru menahan Lyana yang akan memberontak keluar dari kurungannya, ia makin menunduk hingga jarak antara wajahnya dan wajah Lyana hanya sejengkal.

"Gila, kamu cantik banget hari ini."

"Ada lanjutannya gak?" tanya Lyana.

"Ada."

"Apa?"

"Cantolan tikus hahaha."

"Linggaaaa!!"

"Sstt!" Alingga memelototi Lyana sambil menertawakan perempuan itu, jarak wajah mereka yang begitu dekat membuat aroma pasta gigi kodomo yang Alingga pakai tercium.

Lyana menatapnya dengan datar, membiarkan Alingga semakin tertawa keras. Lalu dengan tiba-tiba ia menarik tengkuk laki-laki itu kemudian mengecup bibirnya dengan cepat.

ALINGGA (Completed)Where stories live. Discover now