XXIX

51.9K 5.6K 134
                                    

Happy Reading All!!

🦖

Yang namanya masalah, mau di hindari bagaimanapun, ujung-ujungnya memang harus di hadapi. Seperti sebuah keharusan, entah itu dalam kelapangan hati atau keterpaksaan.

Syila pasrah, ia tak bisa kemana-mana lagi begitu pulang sudah di sambut oleh Mamanya. Mereka berakhir duduk di meja ruang tamu dengan jarak yang begitu membentang. Baik dari posisi duduk, ataupun hubungan mereka.

"Mama minta maaf, Syila." Rindu tertunduk, tangannya bertaut di pangkuannya dengan resah.

Syila hanya diam, ia menatap kosong pada vas bunga di atas meja. Syila bingung, ia tak tahu harus bersikap seperti apa. Ia harus marah pada siapa? Ia harus kecewa pada siapa? Ia harus percaya pada siapa? Atau ia harus berada di pihak siapa?

"Mama tau Mama salah, Mama nggak seharusnya nyembunyiin ini semua dari kamu, Mama nggak seharusnya menempatkan kamu di posisi punya Mama dan Papa tapi kehadiran kami malah nggak ada. Mama salah Nak, Mama minta maaf." Rindu mengusap air matanya yang jatuh dengan punggung tangannya, tatapannya makin sendu, makin luka hatinya saat melihat sang anak sibuk menyembunyikan tangis.

Syila menunduk lama, tangannya sibuk mengusap bagian mata dan pipinya dengan gerakan kasar. Tak lama kemudian, Syila berdiri, ia berlari menuju Mamanya dan menjatuhkan diri dalam pelukan wanita yang sudah melahirkannya.

"Mama..." Syila menangis, menyembunyikan wajah di bahu sang Mama yang juga ikut menangis dengan tangan mendekap erat Syila.

Mau seperti apapun ia menahan, pertahanannya tetap runtuh. Syila sadar, saat kata maaf terucap dari sang Mama, mereka nyatanya sama terluka. Bahkan lukanya tak sebanding dengan sang Mama yang sudah memendam begitu lama.

"Semuanya, semuanya bener, Ma?" Dengan terbata, Syila bertanya. Sedari kemarin, ia terus mencoba menyangkal meskipun semuanya benar-benar terlihat jelas.

Rindu mengangguk, ia makin mempererat dekapannya pada sang putri, "i-iya sayang, semuanya benar, Mama gagal dalam rumah tangga Mama."

Makin pecahlah tangis keduanya saat itu juga, setitik harapan yang masih Syila pertahankan, akhirnya benar-benar sirna menyisakan ruang kosong yang benar-benar di isi kegelapan.

Lama mereka dalam posisi seperti itu, bagai kata yang tak terucap, semua emosi mereka luapkan lewat tangis yang diam-diam di saksikan oleh Oma dan juga Kenzo.

Menguraikan pelukan mereka, Rindu dengan lembut menghapus sisa-sisa air mata di wajah Syila.

"Sekarang tinggal kita berdua, Syila nggak papa, 'kan nak?" Rindu bertanya dengan sendu, setitik air matanya jatuh saat menatap pancaran mata sang putri yang benar-benar redup.

Menggenggam erat tangan Mamanya, Syila berusaha sebaik mungkin menarik nafasnya yang terasa berat.

"Kenapa Mama nggak lakuin ini sejak awal? Kenapa Mama harus nyembunyiin semuanya dan sakit sendirian?" Suara Syila hampir hilang, hanya untuk mengatakannya saja Syila sakit rasanya.

"Gimana mungkin Mama bisa bawa kamu ke rasa sakit yang Mama sendiri nggak bisa tanganin? Mama lari Nak, Mama lari dari semua rasa sakit itu bahkan sampai lupa untuk berhenti dan liat keadaan anak Mama." Rindu membelai wajah putrinya.

Syila menahan tangisnya, "Ma..." Syila bergerak pelan, kembali memluk Mamanya dengan erat untuk kembali saling menguatkan.

Sementara itu, di balik dinding, Kenzo sibuk menenangkan Mamanya yang juga ikut terluka sama sepertinya. Bagaimana bisa ia selengah ini membiarkan ketiga wanita yang ia cintai tersakiti. Kenzo benar-benar merasa gagal menjadi satu-satunya laki-laki yang harus melindungi orang-orang tersayangnya.

Gara My BoyfieWhere stories live. Discover now