Zita geleng-geleng kepala tak habis pikir. “Lo sama Kayla bener-bener cocok, deh. Sumpah!”

Iddar Evandaru, salah satu teman Theo yang terkenal playboy sejak masa SMA. Jumlah mantannya sudah tak terhitung. Mantan di sini, bukan cuma menghitung mantan pacar, tapi juga mantan gebetan bahkan mantan teman tidur. One night stand adalah hal lumrah bagi Iddar yang hobi keluar-masuk klub malam.

Beberapa orang lain setuju jika sebagai seorang pria, Iddar memang wajib dimasukkan daftar hitam saat memilih pasangan, tapi sebaliknya, Iddar justru masuk daftar teratas untuk jadikan seorang teman. Sifatnya yang menyenangkan, ditambah sikap loyalnya, membuat Iddar disenangi banyak orang. Mungkin hal itu pula yang membuat banyak wanita jatuh hati padanya.

“Jangan coba mengalihkan topik.” Iddar menatapnya serius. “Sebenarnya masalah kalian itu apa? Kenapa lo selalu menghindar, sedangkan Reinaldi justru sebaliknya. Emang kalau putus harus jadi musuh?”

“No comment,” jawab Zita dengan memasang senyum datar.

“Eh, ada Abang Iddar.” Suara setengah cempreng datang menginterupsi.

Iddar menoleh lalu tersenyum pada Kayla yang kini duduk di sebelah Zita.  “Hai, Kay!”

“Hai ...,” balas Kayla.

“Kayaknya gue harus pergi, deh,” kata Zita tiba-tiba.

“Yah ... kan belum makan,” rengek Kayla dengan memanyunkan bibirnya.

“Gue kasih kesempatan kalian buat berduaan,” seru Zita. Kayla langsung mengulum senyum sambil mengacungkan ibu jari di bawah meja. Zita yang melihat isyarat itu hanya tersenyum geli tak habis pikir lalu menoleh pada Iddar. “Temenin makan, jangan dimodusin.”

“Kalau Kayla suka gue modusin, gimana?” Iddar menaik-turunkan alisnya seolah menantang.

“Aku suka kok dimodusin,” sahut Kayla yang kontan mendapat delikan tajam dari Zita dan sambutan tawa dari Iddar. Kayla lantas memasang cengiran tak berdosa. “Santai, Ta. No hard feeling, ingat?”

Zita memutar bola mata mendengar filosofi hidup Kayla sebelum beranjak pergi meninggalkan dua sejoli itu. Diliriknya jam di pergelangan tangannya. Masih dua jam lagi sebelum janji temunya dengan psikolog. Zita berpikir untuk berangkat lebih awal agar bisa mampir ke taman di dekat tempat praktek psikolog itu.

Ketika sedang berjalan, ekor matanya menangkap sosok Ridan tengah duduk sambil bermain ponsel di salah satu kursi panjang yang ada di tepi selasar. Theo memang sudah melarangnya, tapi rasa ingin tahunya jauh lebih besar. Jadi, Zita memantapkan hati untuk menghampiri pria itu.

Menyadari kehadiran seseorang di dekatnya, Ridan reflek mendongak, kemudian memasang senyum ramah. “Ada apa?”

Zita menyerahkan liontin bentuk kunci yang dibawanya. “Punya lo?”

Ridan tersenyum tipis. “Wah ... gue pikir ilang. Lo nemu di mana?”

“Jatuh di kantin.”

Ridan mengangguk-angguk mengerti. “Thanks. Ini punya orang soalnya.”

“Punya Mila?” sahut Zita tanpa sadar.

Satu sudut bibir Ridan terangkat. “Dari mana lo tahu nama itu?”

Zita tertegun, sadar ia baru saja melakukan kesalahan. Alasan pun dengan cepat ia buat. “Bukannya lo pernah nyebutin nama itu?”

Ridan mendecih. Senyum miringnya semakin jelas terlihat. “Seinget gue, gue nggak pernah nyebut nama Mila di depan lo.”

Zita tak menjawab. Tangannya mengepal kuat. Degup jantung bertalu semakin cepat.

Ridan tiba-tiba meraih tangan kanan Zita. Dengan cepat ia menyingsingkan lengan panjang gadis itu hingga memperlihatkan bekas luka yang membentang di sana. Senyum Ridan melebar, matanya menatap lurus ke mata Zita.

“Berhenti pura-pura, Mil? Lo nggak mungkin lupa sama orang yang udah buat luka ini di tangan lo, kan?”

Mata Zita melebar. Ia menarik kasar tangannya. Sesuai dugaan, Ridan memang mengenal Mila dan terlibat dengan kejadian setahun yang lalu. “Siapa lo sebenernya?”

Alis Ridan bertaut mendengar pertanyaan Zita. “Mau sampai kapan lo pura-pura, Mil? Kita nggak ada waktu untuk main tebak-tebakan sekarang. Lo dalam bahaya. Ada orang yang sedang ngincar lo.”

Belum sempat Zita menjawab, seseorang menarik tangan Ridan. Spontan saja Ridan memegang balik tangan tersebut. Hampir saja ia membanting tubuh orang itu ke lantai jika saja ia tak mengenali Moza sebagai si pemilik tangan.

Sorry,” kata Ridan sambil melepaskan cekalan tangannya.

Tanpa mengalihkan kuncian matanya dari Ridan, Moza berucap pada Zita. “Sorry, Ta! Gue ada urusan sama cowok satu ini.”

Moza langsung menyeret paksa Ridan dari hadapan Zita. Melihat Ridan menjauh, Zita kemudian menatap telapak tangannya yang gemetar. Bukan hanya karena Ridan—yang memang terlibat dengan apa yang dialaminya tahun lalu, tapi juga kalimat yang Ridan ucapkan setelahnya.

Dirinya dalam bahaya?

...

TBC

...

Sebulan berlalu dan akika baru sempet posting bab baru 🤣

Semoga part ini mudah dipahami ya besti...

Happy reading 😘

Happy reading 😘

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

121122

My True Me (END)Where stories live. Discover now