Kedua sahabat itu tergelak dan mereka melanjutkan perbincangan hingga menjelang sore. Jika tidak teringat menjemput adiknya, Arga bisa seharian menghabiskan waktu. Apalagi hampir enam tahun tidak pernah bertemu sejak lulus kuliah. Ada begitu banyak yang ingin diceritakan.

"Jangan lama-lama. Aku butuh ilmu yang kamu dapatkan dari Inggris. Bekerja di dua perusahaan raksasa besar, tentu pengalamanmu jauh melebihi aku." Adi masih saja merayu begitu di luar cafe. Dia mengikuti Arga yang berjalan menuju mobil Mazda CX-5 berwarna putih.

"Ilmu dari Inggris itu mahal harganya, jadi kamu harus menyiapkan upah yang besar." Ucapan Arga membuat lelaki bermata belo itu tertawa mendengarnya.

"Gampang itu. Kabari secepatnya. Kalaupun kamu sudah mendapatkan kerja di tempat lain, aku masih menyediakan satu slot tempat untukmu jika berubah pikiran, tapi aku akan tetap memaksamu untuk kerja bersamaku."

Arga tertawa mendengarnya. "I appreciate it. Thank's."

Mereka berpisah setelahnya. Arga segera menuju SMA Turi yang berada tak jauh dari rumah. Beruntung saat datang, sekolah belum bubar. Dia takut adiknya bukan pulang, tapi kembali keluyuran.

Beberapa menit menunggu, akhirnya bel pulang sekolah berbunyi. Memarkir mobil tak jauh dari gerbang, matanya awas mencari keberadaan adiknya di antara kerumunan wajah-wajah lelah siswa siswi yang pulang. 

Berulang kali dia menghela napas belum mendapati Aksa keluar. Kegelisahan mulai menjalari pikiran. Apalagi saat sekolah mulai sepi. Siswa yang keluar tinggal satu dua. Tak lagi ada keramaian seperti sebelumnya. Dia tetap berpikir positif. Berharap adiknya masih bermain basket demi teman-temannya.

"Nunggu siapa, Mas?" Satpam yang sedari tadi memperhatikan gerak gerik Arga yang akhirnya keluar mobil, mendekat.

"Aksa, adik saya, Pak."

"Oh, Mas Aksa. Mungkin baru bermain basket. Masuk saja kalau mau memastikan, biar saya temani."

Mendapat tawaran, Arga tak mau menyia-nyiakan kesempatan dan mengikuti langkah lelaki yang memperkenalkan diri dengan nama Nurkholis itu menuju lapangan basket. Melihat para siswa bermain basket di lapangan, dia cukup yakin salah satu dari mereka adalah adiknya.

"Mas Aksa masih main, ya? Dicari nih." Lelaki bertubuh pendek menyapa salah satu teman Aksa yang dilihat Arga kemarin.

Para siswa saling berpandangan. Dengan isyarat mata mereka meminta salah satu menjelaskan di mana keberadaan mantan ketua tim basket. "Memang tadi dia berangkat. Sempat ikut pelajaran, tapi setelah istirahat tidak kembali."

Arga tak menduga dengan jawaban yang keluar. Bukan ini yang dia harapkan. "Kalian tahu ke mana biasanya Aksa pergi?"

Mereka menggeleng sebagai jawaban. Tentu saja tidak akan ada yang tahu, mengingat selama ini Aksa dikenal sebagai pribadi yang ceria, supel, berprestasi dan tidak neko-neko. Sangat jauh berbeda dengan sekarang yang sudah tidak memiliki gairah hidup dan badung

Mendengar hal itu, dia segera mengucapkan terima kasih dan berlalu keluar. Tangannya terkepal kuat menahan emosi yang tiba-tiba meluap. Dia pikir semua sudah berjalan sebagaimana mestinya. Ternyata dugaannya salah. Aksa hanya berpura-pura mengikuti permainan.

Sampai di mobil, dia berusaha menguasai emosi. Berulang kali menghela napas panjang, membuang amarah yang menggerus kesabaran. Pandangannya menerawang jauh dan dia terus bertanya mengapa Aksa bisa seperti sekarang. Ingatan adik kecilnya yang penurut dan ceria telah berubah menjadi lelaki sulit diatur juga mau seenaknya saja.

Setelah lebih tenang, dia menelepon temannya. Menanyakan di mana cafe yang menyediakan alkohol. Hanya itu yang terpikirkan. Apalagi yang akan dilakukan Aksa jika bukan mabuk?

Hal yang dilakukan kali ini adalah menyisir setiap tempat yang bisa menjadi tempat perginya Aksa. Dia mulai dari yang paling dekat dengan sekolah, lalu semakin menjauh mengikuti petunjuk temannya.

Waktu berputar, hari berganti malam. Jam di pergelangan tangan Arga sudah menunjukkan pukul satu malam. Sudah berapa cafe yang didatangi dan hasilnya sama. Tak ada Aksa. Kepalanya sudah sangat sakit. Lapar dan pening dengan kelakuan adiknya yang di luar batas. Sekarang dia tidak tahu harus ke mana mencari kecuali menunggu kepulangan. "Sialan! Kamu sangat menjengkelkan."

Arga menghela napas panjang. Dia masih belum turun dari mobil atau membuka gerbang. Tubuhnya sudah lelah dan ingin tidur sebentar saja. Memikirkan Aksa menguras energinya. Baru saja memejamkan mata, sorot lampu mobil dari belakang menyadarkannya. Tak lama, lelaki yang diyakini sebagai Aksa turun dibantu sang supir.

Arga yang sudah menunggu bergegas turun dari mobil. Dia mendekati Aksa yang tertawa melihatnya. Padahal lelaki itu setengah mati menyembunyikan gejolak emosi. Hanya karena sedang berhadapan dengan sopir yang sudah mengantarkan, senyum palsu terpaksa dia buat saat menyodorkan pembayaran. Begitu taksi berlalu pergi, tatapan tajam segera ditujukan pada Aksa yang tak bisa berdiri tegak. "Kenapa bolos?"

Aksa tertawa. Lelaki yang sudah tak memakai seragam itu menuding Arga. "Buat apa sekolah? Gak ada gunanya! Mati-matian gue belajar untuk melampaui lo, tapi gak ada artinya. Bagi Ibu, gue hanyalah pengganti lo." Tubuhnya bergerak ke kiri dn ke kanan.

Arga kembali mendengar cerita yang sama.

"Gue capek. Selama ini selalu dibandingkan sama lo. Dituntut seperti lo. Sekarang Ibu sudah mati. Jadi gue bisa hidup semau gue. Toh, lo mau gue cepet mati 'kan?"

Aksa yang mengatakan begitu datar, berjalan sempoyongan menuju gerbang. Tubuhnya merosot begitu berpegangan pada pagar. "Ibu menyibukkan diri lalu mati. Kakak gue milih pergi ke luar negeri dan Ayah entah bagaimana kabarnya." Dia tertawa getir. "Semua hanya memikirkan diri sendiri. Egois!"

Arga yang tadinya ingin menghajar seketika mengurungkan niat. Tangannya yang terkepal, seketika terbuka. Dipandangi adiknya yang setengah sadar.

"Setiap hari gue sendiri. Gak ada yang menanyakan apakah gue baik-baik saja. Ibu selalu menangis, menganggap dia yang paling menderita, padahal gue juga sama." Aksa tertawa lalu menangis setelahnya.

"Gue juga bisa seperti elo, Kak." Selesai mengatakannya, Aksa muntah lalu gelap menyapa.

Arga ; Pusaran Sesal (Tamat) Prekuel Arga ; Repihan Rasa) Место, где живут истории. Откройте их для себя