"Beneran lapernya." Ivan melihat isi mangkok kosong milikku.
"Balik ke kelas, yuk," ajakku.
Ivan mengiyakan lalu ikut berjalan di samping. Kami berdua menyusuri koridor menuju kelas sambil berbincang santai.
"Gimana rasanya punya saudara kembar? Pasti seneng gak pernah ngerasa kesepian?" Pertanyaan santai yang terlontar dari Ivan malah membuatku berpikir keras mencari jawaban yang aman. Tidak mungkin aku bilang kalau aku dan Caira kurang akrab, 'kan? Ivan pasti mikirnya jadi aneh kalau mendapat jawaban seperti itu.
"Iya, udah jadi kebiasaan dan kalau gak Caira pasti ngerasa ada yang kurang." Ivan mendengarkan dengan serius. "Kamu berapa bersaudara?" tanyaku balik.
"Aku punya satu kakak perempuan. Sudah berkeluarga dan jarak umur kita lumayan jauh, jadi kurang akrab. Di rumah ngerasa gak punya saudara, kayak anak tunggal yang ngapa-ngapain sendiri." Aku masih menyimak Ivan membahas kakak perempuannya. "Kakak perempuanku juga sudah punya anak perempuan lucu banget."
"Berarti udah jadi om-om, ya? Om Ivan," kataku dengan kekehan diakhir kalimat mengejeknya.
"Om ganteng," balasnya dengan percaya diri.
Kemudian Ivan sibuk memperlihatkan foto keponakan perempuannya yang lucu sambil berjalan. Aku juga ikut terpukau, fokus melihat foto-foto lucu itu, ada yang sambil main air, sedang tidur, makan, menangis, dan foto keponakannya masih bayi juga ada. Benar-benar menggemaskan. Boleh aku karungi untuk dibawa pulang satu yang kayak keponakan Ivan ini tidak, ya?
Suasana langsung berubah serius dan mencekam karena keberadaan Ashlan yang tahu-tahu ada di depan kami berdua, menghalangi jalan saja!
Tatapannya tajam kepada Ivan. "Ke kelas sana, aku ada urusan sama orang satu ini," katanya menyuruhku tanpa menoleh sama sekali.
Memangnya apa hak dia nyuruh-nyuruh begitu? "Gak mau. Ada urusan apa sama Ivan? Cuma mau cari masalah aja kamu, '?"
"Ke kelas," perintahnya dengan nada sedikit keras, tak bisa dibantah.
Aku sudah ingin membantah lagi, tapi Ivan lebih dulu bicara padaku. "Kamu ke kelas aja Haura, biar aku selesai masalahku sama orang ini."
Kutatap Ivan dalam-dalam, mencari jawaban dari balik mata hitam legamnya itu. Memang sih, aku tidak seharusnya ikut campur, tapi kekhawatiran menghilangkan akal sehat ini.
Baiklah, aku mengalah dan berjalan lebih dulu ke kelas walaupun sebenarnya tidak benar-benar begitu. Aku terus mundar-mandir tidak jelas di depan kelas menunggu Ivan kembali dengan keadaan baik-baik saja. Haduh, aku jadi cemas karena mengetahui dua-duanya sama tempramental.
Wajah Ashlan menyeramkan sekali tadi, ada urusan apa dia sama Ivan? Tampangnya kayak murka banget dan tidak bersahabat sekali. Aku jadi semakin kepikiran dan tidak bisa tenang kalau begini caranya. Mana lama banget, bahas apa, 'sih? Mengurusi masalah negara apa debat soal konspirasi elite global?
Balik-balik kalau sampai anak orang bonyok apalagi luka-luka, Ashlan bakalan aku adukan nanti.
Ashlan melewatiku begitu saja lalu Ivan di mana?
"Lan, Ivan mana?"
"Ngapain nyari tuh anak? Naksir?"
Tampangnya si Ashlan ini memang selalu seperti orang yang lagi cari masalahkah? Tanganku gatel banget pingin mukul, liat muka songongnya itu.
"Apa, sih! Kan tadi dia sama kamu, sekarang dia di mana?"
Ashlan mendekat satu langsung lebih maju. Aku berusaha tidak terintimidasi dengan tatapan tajamnya meski semakin mendekat. Aku yakin dia tidak akan berani macam-macam juga, ini di sekolah.
"Kuperingatkan, ya. Jangan dekat-dekat sama cowok brengsek kayak dia."
"Justru kamu lebih keliatan kayak cowok brengsek. Punya masalah pribadi apa sama Ivan sampai bicara gak baik soal dia?"
"Tanggung sendiri akibatnya nanti kalau gak nurut." Itu kata-kata terakhir yang dia bilang sebelum pergi gitu saja tanpa memberitaku di mana Ivan.
*****
Sepanjang perjalan pulang, ada perasaan mengganjal yang tidak enak. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri kenapa, apa karena masalah Ivan dan Ashlan? Tapi aku liat sendiri Ivan baik-baik saja, bahkan dia yang bilang sendiri seperti itu.
"Woi, ngelamun aja. Mikirin cowok, ya? Hayooo mikirin siapa?"
Kepalaku berdenyut, dibuat tambah pusing dengan pertanyaan dari Caira. Kalau sedang banyak pikiran dan merasa tidak nyaman begini memang bikin aku bisa lebih sensitif dari biasanya.
"Bukan," jawabku singkat, tidak peduli dengan tampang Caira yang menginginkan jawaban yang memuaskan. Emang dia mikir aku akan menjawab apa? Ah, bikin tambah pusing saja.
Sepanjang perjalanan ke rumah, aku hanya diam saja sambil berusaha mengontrol perasaan mengganjal yang berubah menjadi cemas. Caira juga tidak usil atau merecoki, dia sibuk sendiri tanpa aku pedulikan, setidaknya itu sudah cukup bikin suasana lebih tenang.
Sesampainya di rumah, aku menyalami mama yang duduk di ruang depan. Caira lebih dulu pergi meninggalkan aku dalam suasana tidak mengenakkan karena sedari kami berdua datang tadi mama memperlihatkan aura yang menakutkan. Apa ada yang salah? Perasaanku memang tidak enak dari pulang sekolah tadi.
"Duduk Haura." Mama berbicara dengan tegas. Aku tidak melihat mama yang biasanya selalu berbicara lembut kepadaku, saat ini mama memperlihatkan hal yang berbeda.
"Mama mau bicara apa?" Suasana tidak mengenakkan apa ini? Susah sekali menetralkan pikiranku sekarang.
Mama mengambil smartphone-nya. "Jelasin ini apa!" Mama menunjukkan gambar yang tampak diambil diam-diam. Mataku sedikit menyimpit untuk melihat lebih jelas. Itu aku dan Ivan? Tapi kenapa? Semakin kulihat, semakin jelas yang di foto itu memang benar aku dan Ivan.
"Itu Haura, Ma. Ada apa? Itu cuma foto Haura sama Ivan, temen aku," jelasku apa adanya.
Meski begitu, tampang mama masih sama tak enaknya. Perjelasanku tidak berpengaruh. "Mama tidak suka kamu dekat apalagi sampai main-main dengan cowok yang bisa bikin kamu salah pergaulan."
"Ivan bukan cowok yang seperti itu, Ma. Lagi pun, Haura cuma temenan dan gak sedeket yang mama pikirkan. Jangan langsung menyimpulkan yang tidak benar, Ma."
"Kamu ini makin bisa ngelawan mama, ya. Bener kalau kamu sudah terpengaruh pergaulan yang salah."
"Mama ...."
"Jangan membantah lagi, mama tidak mau melihat kamu sampai jadi salah pergaulan seperti Caira. Kamu harus jadi contoh yang baik untuk adikmu itu, bukannya ikut-ikutan terpengaruh." Emosiku yang membuncah mati-matian aku tahan agar tidak membuat semakin panjang. "Jangan diulangi lagi, kali ini kamu dimaafkan."
Aku bangkit dan berjalan ke kamar. Rasa sesak masih memenuhi dada karena terlalu menahan emosi. Entah sejak kapan mataku berkabut lalu meneteskan air, dari tadi wajahku memang sudah panas dan ditahan-tahan.
*****
Semalaman aku tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan siapa pelaku yang dengan teganya mengirim fotoku ke mama sehingga membuat kesalahpahaman.
"Oi, ngelamun aja. Udah sampe depan kelas, kamu mau masuk ke kelas sebelah?"
"Eh, aduh gak fokus aku." Ciara

KAMU SEDANG MEMBACA
Haura & Caira
Teen FictionIni adalah cerita kolaborasi bersama kakakku @Sky_Hill yang dipublis di kedua akun kita. Akan ada beberapa chapter spesial dan berbeda yang akan di publis di akun masih-masih. Jadi, silakan mampir ke akun @Sky_Hill untuk membaca chapter spesialnya...