2. Home

18 3 5
                                    

Hujan deras di luar sana.

Sebelum tidur aku buka lagi hape. Ngeliat status orang lain. Ada satu yang up status kayak gini "kalau boleh milih kalian lahir di keluarga kaya raya tapi nggak bahagia atau lahir di keluarga biasa menjurus miskin tapi bahagia? Kalian bakal milih yang mana?"

Ngebuat aku kepikiran selesai bacanya. Bahkan saat aku udah cas hape dan mencoba tutup mata.

Aku mikir gini diotak aku yang nggak seberapa ini.

Kalau aku sih bakal jawab, nggak usah dilahirin aja. Atau minimal nggak usah punya keluarga. Biar nggak tau rasanya kecewa sama orang tua. Biar selalu berpikir keluarga itu bakalan bikin aku bahagia. Kayak misalnya lagi capek ada yang semangati. Lagi sedih ada yang meluk. Lagi sakit ada yang jagain. Sebaliknya, aku juga bisa lakuin itu semua ke mereka. Pokoknya di saat aku butuh, mereka ada buat aku. Aku juga bakalan ada untuk mereka. Walau langit terbelah, ujan meteor, banjir lava panas. Atau gempa bumi sekalipun. Aku akan lari sekenceng-kencengnya untuk meluk mereka. Bilang semua sakit ini bakalan berlalu dan akan ada hari esok yang lebih indah.

Tapi itu dulu.

Dulu pas aku masih polos, lugu dan nggak tau apa-apa. Aku yang bodoh percaya kalau semua orang baik. Karena mereka punya hati. Bukan cuma otak.

Tapi, kadang emang otak yang disampingnya ada kuping lebih bisa menang dari hati yang ketumpuk sama organ dalam lainnya.

Contohnya mama aku.

Emang yah. Patah hati paling menyakitkan itu bukan karena orang asing yang deket sama kita sampe kita anggap separuh nafas. Tapi, datangnya sakit yang beneran sakit itu dari orang tua sendiri.

Jangan sebutkan papa tiri yang baik. Mungkin dia selama ini baik ke aku jugak karena aku anak dari istri tercintanya. Papa tiri aku itu tega ninggalin istri sahnya dulu buat sama mama aku. Punya kakak cewe kembar pun sok baik yang berlagak suci. Bagi aku dia bermuka dua. Caper dan ngeselin.

Aku nggak akan dan nggak pernah lagi bisa percaya sama orang-orang. Terima kasih sebanyak-banyaknya kepada mama aku yang telah menciptakan aku yang sekarang ini. Si anak bandel, ngeselin, nyusahin, dan keras kepala.

Bagi aku pasti ada di setiap keluarga di seluruh dunia ini. Anak yang nggak diperhatiin, anak yang dianggap nggak berguna, dan kalau bisa nggak usah ada. Didiskriminasi sama mama sendiri. Karena nggak pinter atau baik kayak anaknya yang lain. Dibeda-bedain. Di banding-bandingin. Yah pokoknya bagi si mama nih anak nggak guna.

Sumpah. Kalau yang ngelakuin itu orang lain dan bukan mama aku sendiri. Aku bakalan ngelawan tuh orang. Entah aku patahin lehernya atau aku jahit mulutnya.

Tapi yang ngelakuin ini mama aku sendiri. So, yang bisa aku lakuin adalah menjadi anak yang bener-bener dia nggak suka. Lagian aku udah pernah mencoba jadi anak impiannya. Tapi masih kalah sama anaknya yang lain.

Ok. Jadi sekarang aku dikenal di rumah sebagai anak bandel. Di sekolah sebagai murid pembully dan nyusahin. Kalau bukan anak dari yang paling banyak nyumbang ke sekolah. Palingan aku udah lama di usir dari sekolah. Hahahha ada untungnya juga punya papa tiri kaya raya.

Jujur dari dalam hati aku yang paling dalam. Aku ngelakuin semua itu biar mama lebih peduli dan perhatian sama aku. Tapi karena aku nggak bisa dapet semua itu.

Aku terima takdir aja.

Lagian aku percaya kalau manusia yang sekarang ada di kehidupan aku itu cuman pemeran pendamping dalam drama kehidupan aku. Nggak perlu lah aku peduli sama mereka.

Ah. Rasa ngantuk ngebuat aku usap mata sebelum tertidur pulas.

_______________

Aku ngedusel ke selimut tebel dan hangat serta lembut. Berusaha mengabaikan suara Haura yang berusaha bangunin aku. Beberapa saat suaranya nggak kedengeran lagi. Diganti suara guyuran air dari kamar mandi. Nggak tau kapan dia keluar dan berpakaian dia mulai narik tangan aku. Dan aku bagaikan paku tertancap di kayu. Masih telungkup di atas kasur.

Haura & CairaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang