Haura menggeleng. "Gak tahu. Aku gak tahu di mana dan bagaimana sama wanita itu."
Dokter Bianca tersenyum, mengerti. "It's okay. Everything gonna be alright. I'm beside you, Haura." Dokter Bianca menenangkannya dengan usapan lembut di punggung tangan Haura. Sedikit ketenangan yang Haura rasakan. Setidaknya dia bisa bernafas lega untuk itu.
Sekarang, memikirkan bagaimana agar Hamka mau mendengarkannya? Toh, selama ini dia gak pernah didengarkan oleh sang Kakak. Tak peduli mau Haura bagaimana.
Gapapa kalau hubungan kita gak baikan, asal dia mau dengerin gue. Demi kesehatannya sendiri. Haura membatin.
***
Haura berjalan gontai masuk ke dalam rumah kostnya. Semua orang ada di rumah. Mereka lagi pada leha-leha di ruang televisi. Kayaknya pada habis pulang ngampus. Juna tiduran di sofa, Enggar duduk beralaskan karpet, sambil bermain PlayStation miliknya bersama Sonya yang tiduran di pahanya Selfa yang juga tengah bermain PlayStation.
"Eh, Ra? Semalam lo di tempat Javier ya?" Tanya Juna. Semua orang menoleh ke arahnya. Haura ikut merebahkan diri di paha Enggar. "Iya," jawabnya singkat. Hari ini dia lelah sekali.
Haura menutup matanya dengan satu lengan. Terdengar helaan nafas panjang dari cewek itu. Enggar menyadarinya, "Kenapa, Ra?" Tanya Enggar.
"Lo gak diapa-apain kan sama Kak Javier?" Tanya Sonya. Haura cuma bergumam sambil menggeleng.
"Beneran kan? Lo bisa cerita kalo mau, Ra." Imbuh Selfa.
"Lo lagi ada pikiran ya, Ra?" Tanya Enggar. "Bentar, jangan nanya dulu. Biarin gue nafas."
"Okey, sori ya." Enggar merasa gak enak setelah mendapat jawaban dari Haura. "You don't have to apologize, bukan salah lo." Kata Haura. Nadanya terkesan dingin. Enggar lebih memilih mengangguk dan melanjutkan permainannya.
Beberapa saat mereka terdiam. Hanya suara dari televisi dan ocehan kecil dari Selfa dan Enggar. Sonya sibuk dengan ponselnya, begitu juga dengan Juna. Mereka mengerti suasananya, membiarkan Haura menghirup oksigen dulu.
"Mas Hamka kanker." Ujar Haura tiba-tiba. Posisinya masih sama sejak tadi. Semua yang ada di ruangan itu tampak terkejut bukan main. Bahkan Enggar menghentikan game-nya. Selfa juga reflek menjatuhkan stick PS-nya.
Juna dan Sonya beringsut duduk dan memperhatikan Haura. Haura kelihatan lelah sekali. Beban yang dia pikul juga berat. Jadi wajar kalau Haura gak bersemangat.
"... Serius?" Tanya Juna. Haura mengangguk.
"Udah stadium berapa?" Kini yang bertanya Sonya.
Haura mengubah posisinya menjadi duduk, berhadapan dengan keempat temannya. "Stadium lanjut. Gue dapat kabar dari Dokter keluarga gue dulu."
"Terus gimana sama Mas Hamka?" Tanya Juna. "Lagi proses kemoterapi, Ra?"
Haura menggeleng, "Dia nolak kemoterapi. Kankernya udah ada sejak dia kecil, kalau kata Dokter Bianca. Tapi, baru ketahuan tiga tahun lalu. Keberuntungan dia masih tetap bisa hidup tanpa obat dan kemoterapi. Gue gak tahu dia manusia apa bukan." Ujar Haura sambil terkekeh.
"Gue harus bujuk dia buat kemoterapi. Jujur, gue trauma kalau ketemu dia. Terakhir kali gue ditampar. Gue harus ke Bandung."
"Kapan, Ra? Mau kita temenin?" Tanya Selfa. "Kalau mau kita bisa pake mobil gue. Mau?"
"Makasih banget tawarannya, Sel. Gapapa kok, gue bareng Dokternya. Gue gak mau repotin kalian.."
"Bener? Gapapa kok kalau kita temenin lo. Biar lo ada temen juga di sana." Kata Juna.
YOU ARE READING
Earned It ; Jake Shim ✔️ (On Revision)
Teen Fiction[end] ❝loving people who don't even love themselves.❞ ©2022, asaheerin.༉‧₊˚✧ Warn: 18+, harsh words, talk about mental illness All pictures credit by, Pinterest
026. what happened?
Start from the beginning
