1. In Our House

28 3 0
                                    

Pagi menyapa perkotaan dengan sisa-sisa dinginnya hujan malam tadi, sekarang juga masih sedikit gerimis. Jalan-jalan dan dedaunan basah diguyur gerimis. Walaupun gerimis, seakan itu tidak menjadi penghalang orang-orang beraktivitas, deru motor dan mobil tetap terdengar satu dua dari jalan di depan.

Aku bangun dan lebih dulu ke kamar mandi meninggalkan Caira yang masih nyenyak tertidur bergelut dengan alam mimpinya.

Hampir setengah jam, aku pun sudah siap dengan seragam lengkap. Ternyata Caira masih nyenyak tidurnya, padahal matahari sudah mulai muncul dan gerimis tidak turun lagi. Masih nyaman saja itu anak bergelut dengan selimut.

Cahaya matahari yang masuk mengusik tidur Caira, membuat manusia yang bergulung selimut di atas kasus itu menggeliat lalu kembali mencari posisi nyaman untuk tidur lagi. Selimutnya semakin dirapatkan membentang menutupi tubuh. Tak menyerah, aku tarik paksa selimutnya. Ternyata tidak mempan juga, sekarang dia malah tengkurap menyembunyikan wajah dengan bantal.

"Bangun, udah jam berapa ini." Kutarik lengannya agar cepat bangun, tapi tubuh beratnya tidak bergerak juga, seperti menempel kuat dengan kasur. "Kutinggal, nih," ancamku sudah hampir kehilangan kesabaran.

"Iya iya, ini bangun. Bawel." Caira menjawab dengan mata masih setengah terpejam. Nyawanya pasti belum sepenuhnya ngumpul.

Setelah penuh paksaan akhirnya Caira bangun juga dan pergi ke kamar mandi.

Sudah selesai bersiap-siap dan memakai seragam dengan lengkap, kami berdua pun turun menuju ruang makan.

Chaira menghentikan langkahnya, seperti teringat sesuatu, aku hanya menatap menunggu apa yang ingin dia katakan. "Makanan Shiro," katanya teringat apa yang dia lupa. "Udah beli kemarin malah lupa bawa. Balik dulu mau ambil ke kamar." Caira berlari dengan cepat kembali ke kamar.

Tanpa menunggunya, aku lebih dulu mendatangi Shiro. Kucing putih itu menyadari kedatanganku dan langsung ngedusel di kaki. Aku mengangkatnya dan mengajak bermain sebentar sambil menunggu Caira.

"Shiro," panggil Caira dengan membawa makan kucing ditangannya. Yang dipanggil langsung menoleh dan berpindah kegendongan Caira. Aku ikut mengelus bulu-bulu halus putihnya.

Makan kucing itu diletakkan ke wadahnya, aku ikut mengganti air minum Shiro. Kami berdua duduk sebentar di lantai melihat Shiro menyantap makananya.

Setelah Caira selesai mengurus makan Shiro, kami berdua meninggalkannya sendirian menyantap makanan dengan tenang.

Seminggu yang lalu Shiro aku temukan saat berteduh waktu sedang jalan-jalan di taman. Kedatangan Shiro di rumah sedikit mendekatkan ku dengan Caira karena banyak mengurus Shiro bersama-sama dengannya. Bangun tidur saja aku dan Caira sudah saling emosi, kadang juga suka bertengkar di pagi hari karena hal-hal sepele. Dengan adanya Shiro sedikit membantu mengurangi intensitas kegaduhan kami.

Caira memanggilku dengan sedikit berbisik. Memperlihatkan hasil karyanya, semangkuk sup dengan tiga sendok sambal cabai pedas. Dari seberapa merah dan banyak biji cabai di sambal itu saja sudah bisa dibayangkan pedasnya. Kasih sesendok penuh lagi, mungkin orang yang memakannya akan masuk ke rumah sakit karena masalah lambung. Jatuhnya lebih keracun mematikan memang.

"Buat si Es," katanya melanjutkan.

Belum sempat aku menegur, mama dan Papa Alam sudah masuk ke ruang makan.

"Caira, kamu ngapain?" tanya Mama.

"Enggak, Ma. Cuma ngerapiin." Caira kembali duduk dengan benar. Bersembunyi dari tatapan curiga mama dengan tersenyum.

"Awas kamu bikin masalah!" Mama memperingatkan, sedangkan yang diperingati tetap duduk tenang seakan tak mendengarkan.

"Ma, masih pagi jangan marah-marah. Kasian Caira dimarahi terus," kata Papa Alam lembut.

Haura & CairaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang