"Robin? kamu dengar suara aku nggak? Robin!"

Karena tak mendengar suara Robin lagi, Zahin memutuskan untuk berdiri dan melompat di kasurnya. Berpikir jika sinyalnya jelek maka harus mencari tempat yang lebih tinggi, Ben sering berkata jika di daerah ini memang sinyalnya tidak kuat.

"Robin! Robinnn!" teriaknya.

Ponselnya sedang mode loadspeaker jadi walaupun ponselnya jauh dari telinga. Ia tetap mendengar kebisingan di tempat Robin.

Tin! tin! tin! tin!

Klakson mobil kini mendominasi. Entah berapa kali berbunyi, hingga akhirnya terhenti dan digantikan dengan suara banyak benturan.

Zahin berhenti melompat, perasaan aneh menghampirinya. Dia terdiam, mematung. Mencoba melempar jauh-jauh imajinasi liar di otaknya.

Robin baik-baik aja, batin Zahin.

Hingga akhirnya tersadar saat ada suara benda jatuh, lalu smartphone yang tadinya terhubung dengan Robin terputus.

Belum genap satu menit, ponselnya kembali menyala. Tentu saja Zahin berharap Robin menghubunginya lagi. Namun nihil, ternyata Ben yang menelepon. Dengan bibir yang ditekuk ke bawah Zahin menjawab panggilannya.

"Halo?"

"Tunggu di situ. Jangan matiin telponnya. Jangan pikir macem-macem. Robin nggak papa."

Jantungnya berpacu lebih cepat. Kenapa Ben tiba-tiba membahas Robin, padahal ia tak mengatakan apa-apa. Kenapa dia menyuruhnya untuk tidak berpikir macam-macam, apa pikiran negatifnya benar?

Ponselnya terjatuh, meluncur begitu saja dari samping telinga ke lantai. Matanya melamun menatap layar benda persegi panjang itu. Tadinya ia sedang bertukar cerita dengan Robin, namun sekarang berganti dengan ucapan khawatir Ben.

"Robin baik-baik aja," katanya bagai mantra, diucapkan berkali-kali bagaikan panjatan doa.

Tubuhnya diam, membeku. Namun otaknya berkeliaran ke arah yang tak seharusnya, sekeras apapun ia mencoba untuk berpikir positif nyatanya itu hanyalah bualan lidah saja.

Bibirnya berkata Robin baik-baik saja. Namun otak dan hatinya berbeda.

"Kamu beneran pulang kan?" tanya nya entah pada siapa.

~|•|~

Sekarang Ben sedang bersama Zahin di mobil. Ia ingin pergi ke rumah Zina untuk memastikan sendiri jika Robin tidak kenapa-kenapa.

Menurut Zahin jika terjadi sesuatu pada Robin, Hazel pasti akan mengabari Zina. Bahkan jika ia tidak mengabari teman Robin itu, setidaknya Zahin bisa meminta nomornya.

Ben dengan senang hati menemani Zahin. Justru akan menjadi masalah jika Ben tidak menemani temannya itu. Apalagi dia berurusan dengan Zina.

Zahin terus-terusan menelepon Robin. Berharap kekasihnya itu mengangkat panggilannya, lalu mengatakan jika dia baik-baik saja.

Jadi seperti ini rasanya menelepon berkai-kali namun seseorang yang di ingin didengar suaranya mematikan ponselnya. Pantas saja Robin ngomel, ia merindukan omelan panjang itu.

"Apa jangan-jangan Robin juga mau ponselnya banyak pesan kaya aku?"

Tiba-tiba saja otaknya memiliki celah untuk berpikir positif, namun opini itu tak bertahan lama. Dia segera menggeleng-gelengkan kepala.

"Tapi nggak mungkin Robin mau buat aku khawatir berjam-jam."

Ponsel Ben tiba-tiba saja mengeluarkan notifikasi telepon dari Rivan. Ben melihat Zahin sebentar, gadis itu kini hanya menatap gadget-nya setelah tadi mengoceh sendiri.

Ben menaruh earpiece di telinganya. Lalu menjawab panggilan itu.

"Lu lagi sama Zahin?" katanya terburu-buru. Sebenarnya Rivan ingin mengabari Zahin, namun ia takut salah bicara. Akhirnya memutuskan untuk memberi tau Ben dulu. Toh mereka sering bersama.

"Iya."

"Nggak di loadspeaker kan?"

"Ga."

Helaan nafas Rivan terdengar jelas. Dia seperti sedang meredakan tangisannya, tak lupa menghela nafas untuk merileksasikan diri. Sedangkan Ben hanya menunggu Rivan mengutarakan apa yang ingin disampaikannya.

"Ben, Robin... Ro-bin, Robin udah..."

Perasaan buruk yang mengacu pada Robin ternyata seburuk itu. Lebih buruknya lagi dia tak bisa memberi tau Robin untuk lebih hati-hati, rasa penyesalan memang selalu datang di akhir. Sekarang Ben tak tau bagaimana menghadapi Zahin.

Ben menatap Zahin, posisi gadis itu masih sama. Diam, menunduk menunggu kabar. Sedangkan Rivan masih berkata banyak hal, bahkan isak tangisannya sekarang terdengar.

Ben meminggirkan mobilnya, di luar dugaan Zahin langsung tersadar dari lamunan panjangnya. Dia menatap Ben penuh tanda tanya.

"Kenapa berhenti? buruan jalan kita mau tau kabar Robin kan? entar kalo Zina udah keluar kita susah carinya."

Ben terdiam tak tau harus berkata apa. Secepat apapun mereka jalan, kabar dari Robin tak akan berubah. Justru jika dipercepat, Zahin yang akan terluka.

Ben tak tau cara menyampaikannya mulai darimana, ia tak bisa berbasa-basi. Tapi tak mungkin juga dia langsung to the point. Zahin tak akan siap, baik fisik maupun mental. Saat ini ia hanya menatap Zahin dengan tatapan sendu.

Zahin memperhatikan tatapan Ben. Entah kenapa matanya ingin menangis, sudut bibirnya turun, begitu pula dengan pundaknya. Firasatnya mengatakan Ben akan mengatakan hal buruk yang terus mengganti otaknya, sekeras apapun dia mencoba tidak berpikir itu, tetap tak bisa.

Ben memejamkan matanya cukup lama, air matanya jatuh. Detik itu pula Zahin cukup tau dengan kondisi Robin saat ini.

"Ben kenapa nangis?... " tanya Zahin sambil memegang pundaknya. Melihat Ben meneteskan air mata membuatnya ingin mengikutinya. Kepalanya terasa berat hingga tertunduk di depan dada temannya itu.

Sebelum air matanya turun, Zahin langsung menghapus paksa. Dia menegakan tumbuhnya secara tiba-tiba. Zahin menggelengkan kepalanya berkali-kali lalu menatap Ben tajam.

"Ben kenapa diam aja?! Robin ga akan kenapa-napa. JALAN!" teriaknya tak mau percaya dengan otak liarnya. Dia bahkan mencoba memegang kemudi mobil, namun dengan sigap Ben memeluknya.

"BEN AYO JALAN! ROBIN NUNGGUIN AKU!!" ucapnya sambil memukul dada Ben berkali-kali. Dari yang awalnya keras, hingga pukulannya melemah begitu pula dengan kicauan suaranya. Sedangkan Ben mencoba memeluknya lebih erat, tak mau tangan Zahin terluka karena memukulnya.

Ben baru pertama kali melihat Zahin berteriak seperti ini. Dari sini ia tau seberapa pentingnya Robin di hidup Zahin, padahal bisa dikatakan Zahin belum lama mengenal Robin.

Isak tangisnya memang tak terdengar karena dia hanya mengatakan kalimat itu tanpa henti, bagaikan radio rusak.

"Dia bilang mau pulang..." katanya pelan. Tubuhnya bahkan melemah, jika Ben tak memeluknya mungkin dia akan terjatuh.

"Iya... dia udah pulang," tutur Ben dengan berat hati.

"NGGAK! ROBIN NGGAK AKAN TINGGALIN AKU!" Zahin mencoba memberontak lagi, namun pelukan Ben lebih kuat.

Hingga akhirnya hanya tangisan yang terdengar. Tangisan itu bercampur dengan kata-kata tak jelas. Zahin memegang dadanya yang mulai sesak.

Ben melonggarkan dekapannya. Selain untuk mengurangi rasa sesak, dia juga tau Zahin tak akan memberontak lagi. Gadis itu sudah tidak memiliki tenaga lebih.

Tepat di hari ini, adalah hari dimana Zahin paling jatuh, sejatuh-jatuhnya. Entah dia bisa bangkit atau tidak, entah dia punya tenaga lagi untuk hidup seperti sebelumnya atau tidak.

"Ro-bin... Ro... bin ng-gak akan ting-ga...lin aku..."

"Nggak, Ro-bin... nggak..."

"Robin... "

Tangan yang tadinya ada di dadanya terjatuh begitu saja. Matanya terpejam, kepalanya meringkuk di dada Ben.

"Zahin?"

Zahin to Robin | IIIKde žijí příběhy. Začni objevovat