Sudiro menatap curiga Jodi yang tampak bersemangat. Ia dengan geram meraih ponselnya dan menelpon seseorang.

Terdengar sangat serius. Istri Sudiro yang tak sengaja mendengar percakapan itu mendekat, tapi Sudiro langsung memutus sambungan telpon saat wanita itu mendekat.

"Nelpon siapa, Pak? kok bisik-bisik? selingkuhanmu, ya?" tanyanya curiga.

Sudiro menatap tajam istrinya. "Jangan sembarangan ngomong, Bu. Ini urusan bisnis," tukasnya.

"Halah, urusan bisnis tapi bisik-bisik. Bisnis apa? jual beli narkoba atau wanita?" tudingnya yang membuat mata Sudiro melotot seketika.

"Udahlah, Bu. Yang jelas Bapak nelpon cowok. Bapak mau istirahat," Sudiro acuh dan membelakangi istrinya. Ia malas berdebat pada istrinya itu.

***

Sementara Jodi, sedang mencari waktu yang tepat untuk mengungkapkan kembali perasaannya.

Saat suasana sepi, Jodi mendekat ke arah Indah. Sempat gadis itu menghindar, tapi Jodi dengan sigap meraih pergelangan tangan Indah.

"Kak Jodi... Indah mohon...,"

"Indah, Kakak tau Kamu punya rasa yang sama. Kenapa Kamu harus berpura-pura?"

Indah menghela napas dalam dan melepas tangan Jodi begitu saja.

"Kalau Kakak terus memaksa, Indah pulang sekarang juga!"

Indah lalu pergi begitu saja meninggalkan Jodi yang termenung dengan sikap Indah.

Ia ingin mengejar Indah, tapi tokonya tak ada yang menjaga. Jodi hanya mampu menarik napas dalam saat melihat kepergian Indah yang tergesa. Sesal kian menyelusup hatinya.

"Indah ... maafkan Kakak," lirihnya.

***

Indah menyeka air matanya yang merembes di ujung pipinya. Sesak kian merajai dadanya.

Berada di dua persimpangan membuatnya bingung untuk memutuskan.

Antara cinta dan keluarga, itu bukan hal mudah. Ia harus mampu memilih. Dan ... pilihannya jatuh pada keluarga.

Indah melewati jalan sepi seorang diri. Matahari terik tepat diatas kepalanya. Menyengat dan membuatnya pusing.

Namun, saat melewati rumpunan bambu. Perasaannya mulai tak enak. Seperti ada yang mengikuti dirinya.

Sesekali Ia menoleh ke belakang, di mana ada dua motor yang berjalan lambat.

Indah semakin mempercepat langkahnya, tapi kedua motor itu menghadangnya.

Empat orang laki-laki itu turun dari motor serentak dan menutup mulut Indah dengan sapu tangan.

Indah sempat berontak, tapi tenaganya tak cukup besar untuk melawan empat orang bertubuh kekar dan besar.

Indah yang sudah tak berdaya, mereka bawa dengan motor ke suatu tempat. Suasana sepi seolah mendukung aksi penculikan gadis itu.

Ia di bawa ke suatu tempat yang jauh dari pemukiman warga. Sebuah pondok kayu yang masih kokoh tapi di tumbuhi dengan tanaman rambat.

Sekitaran semak yang ilalangnya tumbuh memanjang. Indah yang pingsan karena obat bius yang diletakan di sapu tangan mereka letakkan di dalam pondok dengan posisi tangan terikat.

Ia dibiarkan begitu saja oleh keempat orang itu. Indah sendirian hingga malam menjelang.

Gadis itu tersadar ketika sayup-sayup terdengar bunyi Azan  berkumandang.

Ia menggerakkan tubuhnya, tersentak saat menyadari kini Ia dalam posisi terikat.

"Tolong ...," pekiknya, tapi berulang kali Ia mencoba,tak ada satupun orang yang datang.

Indah hanya pasrah saat tubuhnya  semakin lemah dan kesadarannya mulai menurun.

Saat harapannya tak lagi ada, Indah merasakan getaran saat pintu di dobrak keras.

Mata Indah membulat.tepat di hadapannya berdiri wanita yang amat Ia sayangi,"

"Ibu ...,"

Wanita itu hanya diam, tapi dengan sigap melepaskan ikatan di tangan Indah.

"Ayo, kita pulang sekarang,"ujarnya. Indah mengangguk. Ia mengikuti langkah Ibu.

Ada yang berbeda dari glagatnya, tapi Indah tetap bersyukur ibunya hadir disaat Ia membutuhkan.

Indah di papah Ibu keluar dari pondok itu. Hari sudah semakin gelap.

Tangan Ibu melambai, mencari bantuan agar Indah bisa pulang secepatnya.

Sebuah mobil berisikan pasangan suami istri yang kebetulan lewat akhirnya menepi dan membawa Indah juga ibunya bersama.

Di sepanjang jalan, hanya Indah yang menjawab. Ibu hanya diam seribu  bahasa hingga mereka sampai di rumah.

Tepat di depan rumah, Indah disuruh mengetuk pintu. Gadis itu menunggu beberapa saat dan tak lama pintu pun terbuka.

Indah menatap heran. " Ibu?"

***

Dendam Arwah BapakWhere stories live. Discover now