Lima; Perasaan Manusia

Start from the beginning
                                    

"Kenan bebas dari sanksi apa pun."

Adam menatapku saat mengumumkan keputusan itu. Binar iba terpancar di iris laki-laki itu, entah karena merasa bersalah tidak memberiku kesempatan untuk berbicara, atau justru mengasihani dirinya sendiri.

Menurutku, sudah sepantasnya Adam mengasihani dirinya yang menyedihkan itu. Sebagai ketua, Adam tidak bisa melaksanakan peraturannya sendiri. Padahal, selain memberi contoh yang baik, tugas ketua adalah menunjukan sikap konsisten; ucapan maupun tindakan. Dan Adam telah gagal di keduanya.

Akan tetapi, saat mendengar klarifikasi yang disampaikan oleh Hendric, aku menyadari alasan Adam lebih berpihak pada Felicia bukan karena ingin, melainkan terpaksa.

"Manager Greatest Day semalam kontak gue, katanya mereka lagi ada masalah internal, jadi memutuskan hiatus dulu sementara waktu," Hendric menjelaskan. "Otomatis mereka gagal tampil di acara kita nanti."

Ruangan langsung berubah riuh. Hela napas kecewa dan umpatan kasar terdengar di mana-mana. Namun, daripada marah maupun kecewa, perasaan yang paling mendominasi seluruh anggota BEM adalah panik. Bagaimana tidak?

Acara puncak inisiasi tinggal beberapa hari lagi, dan mereka kehilangan salah satu bintang utama untuk memeriahkan acara tersebut. Padahal, sudah menjadi tradisi turun-temurun puncak inisiasi ditutup dengan penampilan epic dari band indie yang sedang marak di kalangan mahasiswa—kebetulan tahun ini Band Greatest Day sedang hangat diperbincangkan. Menghilangkannya sama saja dengan menyimpang tradisi.

"Aku udah coba kontak band indie lain, tapi semuanya full. Kalaupun ada, budget kita yang nggak cukup. Soalnya kebanyakan pada minta harga tinggi karena kita booking mendadak," Adam menghela napas berat. "Satu-satunya harapan kita cuma Band We Are Number Four."

Demi Tuhan, aku ingin sekali menjambak rambut Piter—yang duduk di bangku depanku—saking frustrasinya mendengar nama band itu. Aku benar-benar kesal mendapati banyak sekali yang berpihak pada Kenan. Bahkan, sekarang bukan hanya Felicia, Bella, dan Selena yang turun tangan, tetapi takdir!

Jika bukan karena takdir, mustahil kebetulan seperti ini terjadi bertubi-tubi; Band Greatest Day berhalangan tampil, tidak ada band indie lain yang bisa tampil di hari itu, dan satu-satunya harapan terakhir hanyalah Band We Are Number Four, band Kenan.

"Tadi gue udah bicara sama Kenan soal ini, dan dia dengan senang hati mau bantu kita," Felicia tersenyum bangga. Ekspresi perempuan itu mengingatkan aku pada sekelompok ibu-ibu yang sedang bersaing sengit menceritakan pencapaian anak-anaknya. "Secara cuma-cuma lagi."

Aku tanpa sadar mengepalkan telapak tangan saat tatapan Felicia berpaling padaku.

"Karena nggak mau dibayar pakai uang, mendingan kita balas budi dengan cara lain. Hitung-hitung sebagai bentuk itikad baik,"  bibir Felicia melengkung ke atas, membentuk seulas senyuman yang disukai oleh semua orang, tetapi memuakkan di mataku. "Mengulang kata Adam tadi. Jadi, mulai hari ini semua sanksi Kenan resmi dicabut."

Aku ingin membantah. Namun, saat menyaksikan pemilik suara yang semula berada di pihakku serempak berpindah haluan, lidahku seketika kelu. Sepertinya, sebanyak apa pun aku mencoba menyuarakan pendapatku sekarang, tidak akan ada yang berubah.

Akhirnya aku memilih diam, dengan lapang dada menerima kenyataan bahwa di dalam perdebatan ini, aku memang sudah kalah.

***

Jatuh Cinta Itu Sia-SiaWhere stories live. Discover now