"Pak RT?"

"Ehm, ya, benar. Saya juga sudah merasakan sisi gelap kampung Kita," Pak RT menghela napas dalam.

Seketika suasana menjadi hening. Mereka yang berada di belakang Pak RT saling berpandangan.

"Maksud Bapak, Bapak juga pernah melihatnya? pocong?"

Pak RT mengangguk pelan. Sedang tiga orang dibelakang hanya mampu menatap nanar Pak RT.

Seketika keadaan kembali sepi dan sunyi. Mereka larut dalam pikiran masing-masing, hingga mobil menepi di sebuah Rumah Sakit.

Pak RT berlari ke dalam Rumah Sakit beserta bapaknya Sintia untuk meminta bantuan.

Tak lama, beberapa orang perawat ikut dengan mendorong brankar. Lorong sunyi rumah sakit mendadak berisik, penuh dengan derap langkah kaki dan gesekan roda yang berderit-derit.

Mereka melangkah memburu waktu secepat mungkin untuk bisa segera menolong Karno yang sejak tadi tak sadarkan diri.

Mata Sintia mengawas ke arah luar, menunggu kedatangan bala bantuan untuk menyelamatkan suaminya.

Ia pun bernapas lega saat segerombolan orang datang sembari membawa brankar.

"Bu, itu Bapak dan Pak RT," ujarnya senang seraya menatap wajah ibunya.

"Alhamdulillah, semoga suamimu bisa segera sadar ya, Nak," sahut Ibunya dengan elusan di pundak Sintia.

Sintia mengulas senyum getir dan mengangguk pelan. Ia kembali mengalihkan pandangannya ke arah luar.

Tak lama beberapa orang itu tiba tepat di samping mobil Pak RT. Karno dipindahkan dengan sangat hati-hati ke atas brankar.

Ia pun kemudian di bawa masuk ke Rumah Sakit. Sedangkan Sintia dan ibunya mengikuti dari belakang.

Cukup lama Karno di periksa, hingga akhirnya Dokter yang memeriksa keluar dari ruangan.

Sintia segera mendekat. Ia begitu khawatir dengan nasib suaminya.

"Bagaimana Dokter? apa yang terjadi dengan suami Saya?"

"Maaf, Bu. Mari kita bicarakan di ruangan Saya," ajak Pak Dokter.

Sintia menurut dan mengikuti langkah Pak Dokter masuk ke ruangannya.

"Silahkan duduk, Bu," tawarnya. Sintia lalu menggeser kursi lipat stainless dan mendaratkan bokongnya di sana.

Sintia menatap nanar Pak Dokter yang memperlihatkan wajah tak biasa.

Perasaan Sintia mulai tak enak. Seolah akan terjadi sesuatu pada suaminya.

Apalagi mengingat suaminya itu tak sadar sedari tadi. Ia benar-benar takut sesuatu terjadi pada orang yang sangat ia cintai itu.

"Pak Karno mengalami koma. Ada gumpalan darah dalam otaknya akibat benturan, dan itu harus segera dilakukan tindakan,"

Bagai disambar petir siang bolong, tubuh Sintia gemetar hebat. Gumpalan darah? dilakukan tindakan?

"Jadi harus segera operasi, Dokter?" gumam Sintia nyaris tak terdengar.

Pak Dokter mengangguk pelan. "Segera, Bu. Ini urgent,"

"Baik, Pak Dokter. Saya setuju. Yang penting suami Saya bisa segera siuman,"

****

Karno terbangun saat mendengar suara isak tangis tepat disampingnya. Ia menatap heran wanita yang selama ini menemani hidupnya.

Ia pun menggeser tubuhnya dan bergerak mendekati istrinya. Pandangannya tak lepas dari wanita yang saat ini wajahnyamenunduk ke arah lantai.

"Dik ... Adik ...," panggilnya pelan pada Si Istri, tapi tak ada sahutan. Wanita berjilbab merah itu terdiam dan terus menangis tanpa jeda.

Merasa ada yang aneh, Karno mendekat dan berniat membelai pucuk kepala itu seperti yang biasa Ia lakukan.

Namun, tumbuhnya seperti melayang dan sulit untuk melangkah mendekat. Oleng, seperti orang mabuk. Ia pun terduduk kembali di ranjang.

"Dik ... tolongin Abang, Dik," ujarnya dengan lambaian, tapi Sintia, istrinya tetap tak bergeming.

'Sejak kapan istriku budek?' pikirnya.

"Dik ... tolongin Abang sini! Abang ga bisa jalan, Dik!"

Masih diam. Kesal melihat tingkah istrinya, Karno lalu bangkit, tapi begitu Ia bangkit, istrinya itu mengangkat kepalanya dan menatap ke arahnya dengan mata yang merah dan basah.

"Abang ...," panggilnya.

Serta merta senyum terbit di bibirnya. "Iya, Dik," ucapnya dengan merentangkan tangan, bersiap menyambut pelukan hangat dari istri tercinta.

Sintia berdiri dan bersiap mendekati Karno, tapi ...

Slapss!

Karno terdiam dan berbalik, menatap nanar istrinya yang menembus tubuhnya begitu saja.

"Te--tembus? bagaimana bi--sa?"

Degh!

Ia tercekat saat melihat istrinya memeluk seseorang diatas brankar, amarahnya tiba-tiba memuncak dan saat Ia mendekat ...

"Hah? Aku? itu ... Aku!"

***

Dendam Arwah BapakWo Geschichten leben. Entdecke jetzt