"Sini, lo anjing! Luka gua dipegang!"

"Lo duluan, bangsat!" Suara pertarungan mereka menciptakan kekacauan di sekitar, sementara aku hanya bisa menghela napas dan berharap pertengkaran ini segera berakhir.

Sontak, aksi mereka mengejar satu sama lain dengan kondisi tertatih-tatih membuat anggota lain memandang heran. Bahkan, Naka dan Zaidan sudah tak bisa menahan tawa melihat pemandangan ini. Segera setelah itu, mereka menghampiri aku yang duduk di teras. Ezra duduk di sebelah kanan, ikut memperhatikan tingkah laku dua orang tersebut yang kini saling menendang.

"Mereka kenapa?" tanya Liam, ekspresinya penuh kebingungan.

"Biasa, kucing ama tikus ribut," jawabku sambil tersenyum, mencoba meremehkan tingkah konyol mereka berdua yang masih asyik bermain adu luka.

"Si Alvan kayaknya lagi ketempelan setan, aktif banget," kata Ezra sambil memandangi mereka berdua dengan ekspresi heran.

"Tau, Abyaz, kemarin lo nganterin Alvan lewat mana? Kok bisa dia jadi aktif begitu?" Aku mendongak ke arah Abyaz, meminta penjelasan padanya yang berdiri di sana.

"Lah, gua lewat jalan yang angker kemarin, Va, yang dekat kuburan tuh. Kata Evan itu lebih cepet," jelasnya dengan serius.

"Lah, ya, karena itu jalan yang dekat ke rumah dia."

"Pantes aja, kayanya ketempelan, khodamnya kalah makanya cair," kata Liam sambil tertawa, memberikan sentuhan humor pada situasi yang seharusnya membuat kita was-was.

Kami semua ikut tertawa mendengar penuturan dari Liam. Kemudian, mereka menyarankan untuk membiarkan dua manusia itu bergulat, akhirnya aku dibantu masuk oleh Naka dan Abyaz. Mereka memapahku sampai ke ruang tamu.

"Gua ngeri liat luka Auva, sampe susah jalan begitu," ujar Naka, ekspresinya penuh keprihatinan.

"Lo sih gak tau kejadian aslinya, sibuk mojok mulu," cibir Zaidan.

"Duh, udah gua enggak apa-apa, paling beberapa hari sembuh. Ayah juga udah beliin gua salep buat bekas lukanya," jelasku, mencoba menenangkan mereka yang khawatir.

Mereka semua mengangguk setuju, lalu duduk di sofa. Meskipun kami sudah di dalam rumah, suara ribut Alvan dan Arjun masih terdengar dari luar.

"Itu, bunda tadi udah siapin cemilan di dapur, sama es teh ada di kulkas. Kalau mau, bawa aja ke sini," jelasku pada mereka, mencoba memberikan suasana yang lebih nyaman.

"Gua sama Evan aja yang ambil." Lalu mereka berdua meninggalkan ruangan dan menuju dapur.

"Bunda ke mana, Va?" tanya Ezra, ekspresinya penuh keingintahuan.

"Pergi sama ayah, katanya ada acara bisnis gitu." Aku menjelaskan pada mereka, mencoba memberi informasi agar mereka merasa terupdate.

Lalu, tak lama kemudian, duo A masuk ke dalam rumah. Keadaan mereka tak seceria tadi pagi, bahkan aku sudah menatap mereka dengan heran. Tiba-tiba saja, keduanya duduk di kedua sisiku. Aku dan yang lainnya diam, bahkan Naka dan Evan yang baru kembali dari dapur ikut terdiam.

"Ana ...." Arjun merengek padaku, aku mengamankan lengan kiriku agar tak tersenggol olehnya. Di sisi kanan, Alvan duduk diam, tapi matanya terlihat sedikit berkaca-kaca.

Aku memperhatikan keadaan mereka, rambut acak-acakan, baju yang kusut. Tatapan permusuhan yang begitu kental, sepertinya mereka baru saja mengalami perang besar-besaran.

"Kenapa?" tanyaku pada Arjun, mencoba mencari tahu penyebab kekacauan ini.

Kami semua, anggota Bradiz, sedang menikmati cemilan sambil menatap drama antara dua A. Zaidan dan Evan sudah memasang raut wajah yang super duper menyebalkan.

ABOUT FEELINGS [END]Onde histórias criam vida. Descubra agora