"Hari ini, kamu bakal diantar jemput lagi sama Pak Maman. Mama juga udah atur agenda kamu hari ini. Sepulang sekolah, jangan lupa pergi ke tempat les. Paham?"
Kanaya hanya mengangguk, sambil mengunyah roti di dalam mulutnya dengan tak minat.
"Dan satu lagi," Elsa memandang Kanaya di seberangnya serius. "Jangan dekat dengan anak tetangga yang berandal itu. Apalagi, kembali mengulang kesalahan yang sama seperti kemarin! Kalau kamu berani bantah mama, mama gak akan segan kasih kamu pelajaran yang lebih dari semalam, Kanaya," tekannya, terdengar tidak main-main.
"Iya, Ma." Kalimat singkat itu akhirnya lolos, dari pita suara Kanaya yang terasa tercekat.
Saat tak ada lagi topik pembicaraan, senyap kini mengudara. Membiarkan suara benturan sendok dengan piring yang dihasilkan oleh mama menggema ke udara. Hingga tidak lama, dering ponsel mama membuat wanita itu pergi, tanpa izin dan permisi. Meninggalkan sosok Kanaya kembali sendiri.
Kanaya buru-buru mengambil tisu, dan melepehkan roti yang sudah beberapa menit di kunyahnya.
Sarapan dengan roti, adalah sarapan yang paling Kanaya benci. Apalagi, roti tersebut tersaji oleh tangan mama sendiri.
Kanaya tidak sudi, memakan makanan dari hasil tangan yang sudah menyiksanya semalam tadi.
***
"Pokoknya, Res, papa mau kamu nanti bisa melanjutkan perusahaan papa. Dan papa mau, kamu berhenti jadi pembalap motor."
Praja Adinata, memang sosok laki-laki keras kepala yang bertindak semau dan sesukanya. Ia tidak peduli, dengan hobi Rajares Praja dan cita-citanya.
Bagi Praja Adinata, Rajares harus mengikuti apa katanya. Dan mau mengabulkan semua keinginan dan impiannya.
Praja Adinata punya mimpi, dan Rajares dijadikan bahan pewujud mimpinya.
"Pa, Ares masih kecil. Jangan dikasih tanggung jawab besar kayak gitu dulu, dong. Biarin Rajares nikmati masa mudanya dulu. Biarin dia jadi pembalap. Toh, itu kan hobi dia." Sebagai mama terbaik yang Rajares punya, jelas Siska langsung turun tangan membela.
"Mama itu, terlalu manjain Ares sampai-sampai dia yang udah besar pun, mama anggap anak kecil," balas Praja sedikit kesal dengan istrinya.
Di meja bundar yang menjadi sekat antara dirinya dan papa, Rajares memilih untuk berusaha menulikan telinga saja.
"Res, kamu denger apa kata papa tadi, kan?" Tatapan Praja menyorot sang putra, serius.
Rajares menghela napas berat, lalu mengangguk. "Dengar, Pa. Ares harus berhenti jadi pembalap, kan?"
"Tidak hanya itu, Res. Kamu juga harus sudah mulai, memikirkan masa depan kamu. Belajar yang bener, supaya bisa masuk universitas terbaik, dan masuk ke jurusan yang nantinya, kamu bisa melanjutkan bisnis perusahaan papa."
"Iya Pa, Ares bakal turutin apa kata Papa."
Senyum lebar penuh senang, terbit di bibir Praja. "Itu baru anaknya papa. Kamu itu sudah besar, harus bisa buka mindset kamu. Masa berhenti jadi pembalap gak bisa, tapi bawa kabur anak perawan tetangga bisa?"
"Pa, Ares gak bawa kabur Naya!" bantah mama tak terima.
Rajares hanya bisa meneguk ludah, lalu bangkit dari duduknya, setelah sebelumnya menyampirkan tas sekolah di pundaknya.
"Ares pamit ke sekolah dulu, Pa, Ma." Bergegas pamit, Rajares langsung undur diri dengan segera. Hingga tubuh jangkungnya, hilang dari pandangan papa dan mama.
***
Kanaya berdecak berkali-kali, di depan kap mobil. Tangannya menyilang di depan dada, matanya tak henti-hentinya menatap rumah di sampingnya—rumah Rajares tentunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAJARES | BAD HUSBAND
Teen Fiction"Dicari, suami dan ayah pengganti untuk Kanaya Tabitha dan calon anaknya."
