A Memory

3.9K 363 1
                                        


“Ayolah, Ken. Lu ikut manggung, ya? Please dah.” Bian memelas sambil terus berpegangan pada kaki Kenan.

Kenan tidak peduli. Pemuda itu tetap berjalan, membiarkan Bian terseret oleh langkah kakinya. Pemandangan yang sangat konyol.

“Woi, kalian ngapain tuh?” teriak Resa yang baru saja datang. Tentunya bersama Eril.

“Lo lagi ngebudak, Bang?” tanya Eril sok polos pada Bian yang masih teguh memegangi kaki kiri Kenan. Bian menoleh kesal ke arah Eril tanpa berniat untuk berdiri, takut Kenan akan  menendangnya dan kabur.

“Ngebudak gundulmu itu!”

Eril dan Resa cengengesan, sedangkan Bian langsung berdiri. Tangannya menarik lengan jaket Kenan dan menggenggamnya erat, antisipasi agar empunya tidak kabur.

“Gue cuma mau ngajakin si es campur ini buat manggung di Kafe Vudbrother tiga hari lagi, tapi dia malah kagak mau. Kalian aja, deh, yang bujuk dia. Capek gue jadi ‘budaknya’ Kenan,” ucap Bian dengan menekankan kata budak untuk menyindir Eril.

“Nyindirnya gitu amat, Bang,” canda Eril yang langsung mendapat “hadiah” kepalan tangan serta tatapan sarat makna dari Bian.

“Lo kenapa kagak mau ikut manggung, Ken? Bayarannya lumayan gede, nih. Lo ada alasan kenapa enggak mau ikut? Atau lo emang nggak mau gabung ama Lucvurios?” tanya Resa.

“Nothing,” jawab Kenan singkat.

“Nah, kan! Gue bakal lakuin apa pun, deh, biar lo mau. Gimana?” tawar Bian, tetapi tetap dijawab gelengan kepala oleh Kenan.

“ARGH! KENAN NYEBELIN!”

“Pagi-pagi udah teriak-teriak aja,” ucap Dior yang tiba-tiba sudah sekitar lima langkah dari mereka berempat.

“Tau dah. Gara-gara si es campur tuh!” sahut Bian kesal seraya pergi begitu saja.

“Brat,” ucap Kenan yang juga langsung pergi.

Resa, Eril, dan Dior saling menatap, lalu sama-sama mengangkat bahu. Sejak bertemu, Bian dan Kenan memang sering ribut. Bian banyak tingkah, sedangkan Kenan cenderung tidak peduli pada banyak hal. Wajar mereka tidak begitu akur.

•••

Bian berjalan gedebak-gedebuk menuju UKS. Saat tiba di depan UKS, ia langsung membuka   pintu dengan cara menendangnya kasar, membuat beberapa siswa dan siswi yang sedang berjaga kaget.

“APA?” bentak Bian kepada siswa dan siswi yang menatapnya. Mereka yang mendapat bentakan gelagapan dan langsung pura-pura sibuk membetulkan peraga tulang manusia. Mereka merasa Bian sangat mengerikan saat marah seperti itu.

Bian kemudian menidurkan dirinya di salah satu ranjang UKS. Kekesalannya benar-benar sudah penuh di ubun-ubun. Ingin rasanya ia mencekik lalu mencabik-cabik wajah Kenan yang menurut Bian patut mendapat cakaran.

“Bian,” panggil Dior yang baru saja memasuki UKS.

“Hem,” jawab Bian, masih menutup matanya dengan lengan.

“Lo dipanggil Kenan ke rooftop,” ucap Dior.

Bian membuka matanya. “Males gue. Cuma mau ngajak ribut lagi kali.”

“Kayaknya enggak, soalnya ekspresi Kenan kayak ... yah, gitu, deh.”

“Gitu gimana?”

“Ya pokoknya gitu. Mending lo temuin, deh.”

Bian berdeham sebelum keluar dari UKS menuju pelataran atap untuk menemui Kenan. Bian penasaran seperti apa ekspresi Kenan yang Dior maksud, mengingat Kenan adalah manusia es bin tripleks yang ekpresinya sering kali monoton.

•••

Bian telah sampai di atap dan melihat Kenan yang sedang duduk sambil merokok, tetapi  ekspresinya kali ini membuat Bian merasa tidak biasa.

“Ken,” panggil Bian.

Kenan tidak menoleh ataupun menjawab.

“Sorry, gue nggak bisa ikut manggung hari ini. Adik gue sakit,” ucap Kenan tanpa menatap Bian sedikit pun. Sejenak lawan bicara Kenan itu terdiam, tidak mengira kawannya akan berkata demikian.

“Kalau lo langsung terus terang kayak gitu, gue nggak bakalan maksa lo, Ken.” Bian merasa tidak enak hati. “Sorry gue udah ngotot. Gue—eh, eh, Ken! Jangan nangis, dong! Oke, gue bener-bener salah. Gue si—”

“Gue nggak nangis karena lo, tapi karena kondisi adik gue,” potong Kenan sebelum ucapan Bian makin melantur.

“O-oh … emang adik lo sakit apa?”

Kenan melirik Bian sekilas sebelum menjawab. “Kanker otak stadium akhir.”

Deg!

Bian mematung mendengar ucapan Kenan. Kata-kata Kenan seakan-akan membawa Bian pada masa lalu, masa saat ia masih menjadi Askala Wahyu Kurniawan.

Air mata Bian menetes dengan sendirinya. Ingatan saat ia berumur lima belas tahun kembali lagi. Setelah sekian lama Bian—ah, bukan. Setelah sekian lama Askala melupakannya, kini seseorang membuatnya mengingat sesuatu yang menyakitkan itu.

“Bang Alaska ....” lirihnya.

Ingatannya sebagai Askala membawa kembali kenangan bersama Alaska Darendra Kurniawan, abangnya yang meninggal saat berumur tujuh belas tahun akibat kanker otak.

Because I'm Askala (END)Where stories live. Discover now